Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Kehebohan Kampus
Suara adzan Maghrib berkumandang lembut dari masjid terdekat saat Arjuna melangkahkan kakinya memasuki gang kos. Langit yang tadinya jingga kini menggelap, dan lampu-lampu di sepanjang lorong kos sudah menyala, menciptakan suasana yang hangat dan tenang.
Ia tiba di teras depan dan mendapati teman-temannya sudah berkumpul seperti biasa. Budi sedang menyetel senar gitarnya, sementara Ucup dan Toni tampak serius bermain gaple, sesekali diiringi tawa atau gerutuan pelan. Suasana terasa santai dan akrab.
"Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu, juragan semen kita pulang!" sapa Budi dengan cengiran khasnya saat melihat Arjuna.
Arjuna tersenyum. "Baru pulang, Mas?"
"Iyalah. Tinggal si Gofar aja yang belum balik," jawab Toni sambil membanting kartu gaplenya. "Katanya ada lemburan deadline lukisan. Paling juga lagi ngejar 'inspirasi' di kafe."
Ucup mendongak dari kartunya, menatap Arjuna. "Gimana, Jun? Muka lo kelihatan capek tapi lebih cerah dari tadi pagi. Dapet kerjaan?"
Pertanyaan itu membuat Budi dan Toni ikut menatapnya dengan penuh harap. Arjuna tidak langsung menjawab. Ia meletakkan tas selempangnya, lalu duduk di antara mereka, meregangkan punggungnya yang terasa pegal. Di dalam sakunya, tiga lembar uang seratus ribuan terasa begitu nyata dan hangat.
"Gimana kalau kita makan malam di luar malam ini?" kata Arjuna tiba-tiba, suaranya terdengar santai. "Di warung sate depan jalan raya itu, kelihatannya enak."
Ketiga temannya terdiam sejenak, saling berpandangan.
"Makan di luar? Tumben banget," kata Budi, menyipitkan matanya. "Lo lagi dapet undian atau gimana?"
Arjuna tertawa kecil, sebuah tawa yang terdengar ringan dan lepas. "Nggak, Mas. Cuma pengen traktir kalian aja." Ia berhenti sejenak, sebelum menambahkan dengan nada bangga yang terselip di antara kerendahan hatinya. "Alhamdulillah, hari ini... saya yang bayar."
Seketika, suasana menjadi heboh.
"SERIUSAN, JUN?!" Budi langsung meletakkan gitarnya dan merangkul Arjuna. "WIIH! Bos baru kita ini! Kesambet jin baik mana lo di jalan?!"
"Traktir?" Ucup bahkan sampai berhenti mengocok kartunya, menatap Arjuna dengan kacamata yang sedikit melorot. "Wah, ini momen langka, harus diabadikan."
Toni tersenyum lebar, menepuk punggung Arjuna dengan keras. "Mantap! Jadi, dapet kerjaan di mana lo?"
Arjuna pun menceritakan pengalamannya hari itu, tentu saja dengan versi yang sudah ia sunting. Ia bercerita tentang bagaimana ia nekat melamar di proyek bangunan dan diterima sebagai kuli angkut semen. Ia tidak menceritakan tentang bagaimana ia mengangkat tiga karung sekaligus atau tentang jumlah total yang ia angkut. Ia hanya berkata bahwa pekerjaannya berat, tapi upahnya lumayan.
"Gila lo, Jun! Kerja jadi kuli bangunan?" Budi menatapnya tak percaya. "Badan kayak lidi gitu, nekat banget!"
"Yang penting halal, Mas," jawab Arjuna sederhana.
"Salut gue sama lo, Jun," kata Toni tulus. "Kerja keras lo luar biasa. Pantesan bisa traktir kita."
Malam itu, mereka berempat berjalan kaki menuju warung sate di jalan raya. Aroma sate ayam dan kambing yang dibakar di atas arang terasa begitu nikmat. Untuk pertama kalinya, Arjuna makan malam di Jakarta tanpa perlu khawatir tentang harganya. Ia memesan sate, nasi, dan es teh manis untuk teman-temannya, merasakan kebahagiaan sederhana dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Melihat tawa dan canda teman-temannya yang menikmati traktiran pertamanya, Arjuna merasa semua lelah dan pegalnya hari itu terbayar lunas. Ini adalah kebahagiaan yang nyata. Kebahagiaan yang ia ciptakan dengan tangannya sendiri, dengan keringatnya sendiri, dan tentu saja, dengan sedikit bantuan dari cincin wasiat kakeknya.
Di warung sate pinggir jalan, tawa riang membahana dari meja yang ditempati Arjuna dan teman-temannya. Asap dari bakaran arang mengepul, membawa aroma sedap yang bercampur dengan hiruk pikuk lalu lintas. Budi sedang dengan semangat bercerita tentang dosennya yang galak, sementara Ucup dan Toni menimpali dengan komentar-komentar lucu.
"Sumpah, Jun! Lo harus liat muka si Budi pas ketahuan main game di kelas!" seru Toni sambil tertawa terbahak-bahak.
Arjuna ikut tertawa. Untuk sesaat, ia lupa akan semua bebannya. Dikelilingi teman-teman, menikmati sate ayam panas dan es teh manis dari hasil jerih payahnya sendiri, ia merasa seperti mahasiswa biasa. Ia merasa normal. Ia tidak tahu, bahwa di saat yang bersamaan, namanya sedang menyebabkan kegemparan di tempat yang paling tidak ia duga.
Sementara itu, puluhan kilometer jauhnya, di dalam sebuah ruangan kantor yang dingin dan megah di lantai atas Gedung Rektorat Universitas Nusantara Global, suasananya jauh dari kata santai. Profesor Budiarto, Dekan Fakultas Teknik yang disegani, memijat pelipisnya sambil menatap layar tablet di hadapannya. Di seberangnya, duduk Ibu Ratna, kepala bagian penerimaan mahasiswa baru, dengan wajah tegang.
"Bagaimana bisa seperti ini, Bu Ratna?" tanya Profesor Budiarto, suaranya yang berat terdengar penuh rasa tak percaya.
"Kami juga tidak mengerti, Pak," jawab Ibu Ratna. "Tim pemeriksa sudah mengeceknya tiga kali. Hasilnya tetap sama. Ini... ini sebuah anomali."
Di layar tablet itu, terpampang hasil ujian saringan masuk beasiswa atas nama Arjuna Wicaksono. Deretan angka yang tercetak di sana sungguh tidak masuk akal.
Matematika & Sains Dasar: 100%
Pengetahuan Umum & Analitik: 99% (Salah 1 nomor)
Bahasa Inggris (Struktur & Pemahaman): 99% (Salah 1 nomor)
"Skor nyaris sempurna," gumam sang Dekan. "Sudah bertahun-tahun kita tidak pernah melihat hasil seperti ini, bahkan dari lulusan sekolah internasional terbaik sekalipun."
"Bukan itu saja yang aneh, Pak," timpal Ibu Ratna. "Tim sudah menganalisis dua nomor yang salah itu. Coba Bapak lihat."
Ia menunjuk layar. "Di bagian Bahasa Inggris, nomor yang salah adalah pertanyaan paling dasar tentang penggunaan 'is' dan 'are'. Sangat tidak mungkin seseorang yang bisa menjawab soal-soal pemahaman bacaan paling rumit melakukan kesalahan sekecil ini. Dan di bagian analitik, nomor yang salah adalah soal logika paling sederhana di seluruh set pertanyaan."
Profesor Budiarto terdiam, matanya yang tajam menatap lekat pada data di hadapannya. Ia menggulir layar, melihat profil pendaftar: Arjuna Wicaksono, lulusan SMA negeri kecil dari sebuah desa di lereng gunung, tanpa catatan prestasi olimpiade nasional maupun internasional. Semuanya terasa kontradiktif.
"Ini bukan kesalahan," desis Profesor Budiarto setelah hening beberapa saat.
Ibu Ratna menatapnya dengan bingung. "Maksud Bapak?"
"Anak ini," kata sang Dekan sambil menunjuk nama Arjuna di layar, "tidak membuat kesalahan. Dia sengaja menjawabnya dengan salah."
Ibu Ratna semakin bingung. "Sengaja? Untuk apa, Pak?"
"Untuk tidak terlihat sempurna," jawab sang Dekan, matanya kini berkilat penuh minat. "Dia tahu skor sempurna akan menarik terlalu banyak perhatian dan mungkin dicurigai sebagai hasil kecurangan. Dengan sengaja membuat dua kesalahan kecil yang acak, ia mencoba terlihat manusiawi. Ini bukan tanda kebodohan, Bu Ratna. Ini adalah tanda kecerdasan tingkat tinggi yang dibalut dengan kesombongan yang sangat halus."
Sang Dekan bersandar di kursinya, senyum tipis tersungging di bibirnya. Misteri ini jauh lebih menarik daripada sekadar menemukan seorang jenius biasa.
"Saya tidak peduli bagaimana caranya," kata Profesor Budiarto dengan nada final. "Anak ini harus kita dapatkan. Cari tahu semua tentang dia. Latar belakangnya, keluarganya, semuanya. Saya mau bertemu langsung dengan anak bernama Arjuna Wicaksono ini."
Di warung sate, Arjuna baru saja menghabiskan tusuk sate terakhirnya. Ia tertawa mendengar lelucon Toni, sama sekali tidak menyadari bahwa namanya baru saja menjadi sebuah prioritas utama di salah satu universitas paling bergengsi di negeri ini, bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi karena sebuah misteri yang tanpa sengaja ia ciptakan sendiri.
biar nulisny makin lancar...💪