Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Tidak Akan Curiga
Segala persiapan menjelang hari pernikahan Revan dan Eliana hampir rampung. Undangan sudah disebar, dekorasi sudah dipilih, baju yang Elain jahit pun sudah selesai. dan hari ini adalah hari, dimana mereka akan mengambil cincin pernikahan yang sudah dipesan Revan sejak jauh hari.
Pagi ini, Revan menghubungi Eliana.
“Assalammu'alaikum, El kamu ada waktu sore ini?” suara Revan terdengar hangat di telepon.
“Wa'alaikumsalam Ada. Ada apa, Re?” tanya Eliana penasaran.
“Kamu lupa? Hari ini kita harus mengambil cincin pernikahan. Setelah Asar aku akan langsung menjemput mu di butik, ya.”
“Oh ia, maaf Re aku lupa. Baiklah aku akan menunggu mu."
Setelah salat Asar, Eliana sudah rapi dengan gamis sederhana berwarna lembut. Rambutnya terselip rapi di balik hijab. Ia menunggu di depan butik ketika sebuah mobil hitam berhenti perlahan.
Revan keluar dan mendekat. “Sudah siap.?”
Eliana mengangguk. “Ayo.”
Revan membukakan pintu mobil, dan mereka pun berangkat menuju toko perhiasan langganan keluarga Surya.
Sesampainya di toko perhiasan, mereka disambut oleh ruangan yang dipenuhi cahaya lampu dan pantulan Kilauan perhiasan.
“Permisi, kami ingin mengambil cincin yang sudah saya pesan,” ucap Revan pada seorang pelayan wanita.
Pelayan itu tersenyum sopan. “Maaf, atas nama siapa, Tuan?”
Revan hendak menjawab, namun seseorang sudah mendekat dengan cepat.
“Maaf, Tuan Revan. Dia pegawai baru, jadi belum mengenali Anda,” ujar manajer toko sambil menunduk hormat.
Revan tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Bagaimana, pesanan saya sudah siap?”
“Tentu saja. Semuanya sudah selesai.” Manajer itu menoleh pada Eliana dan tersenyum. “Tunggu sebentar, saya ambilkan.”
Saat manajer itu pergi, Eliana menoleh pada Revan. “Semuanya…? Apa ada yang lain yang kamu pesan.”
Revan hanya tersenyum kecil. “Nanti kamu lihat sendiri.”
Sambil menunggu, mereka berjalan mendekati etalase perhiasan.
“Cantik, ya,” ucap Revan tanpa memandang perhiasan, justru menatap Eliana.
Eliana tidak menyadari tatapannya. “Semua perhiasan di sini memang cantik-cantik.”
“Ada yang kamu inginkan?” tanya Revan.
“Tidak, Re. Aku cuma lihat-lihat saja,” jawab Eliana cepat.
Revan tersenyum. Eliana tidak pernah meminta apa pun sejak awal mereka dekat. Sungguh berbeda dengan Celin, tanpa perlu ditanya ia sendiri yang langsung meminta. Sungguh jauh berbeda.
Lamunannya terputus ketika manajer kembali. “Maaf menunggu, Tuan. Ini pesanan Anda.”
Kotak beludru biru tua itu dibuka di depan mereka. Di dalamnya terlihat sepasang cincin pernikahan yang elegan, Cincin Revan terbuat dari perak dengan garis tipis berlian kecil melingkar setengah lingkar, sedangkan Cincin Eliana berdesain lebih anggun dengan berlian mungil berbentuk oval di tengah.
Pada bagian dalam masing-masing cincin terukir nama pasangan mereka.
Eliana menahan napas. “Cantik sekali…”
Revan mengambil cincin itu dan memasangnya perlahan di jari manis Eliana. “Bagaimana? Pas?”
Eliana mengangguk, ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. “Sangat pas Bagus sekali, Revan.”
Setelah memastikan semuanya sempurna, cincin itu dikembalikan untuk dibungkus.
Tidak cukup sampai disitu, manajer toko kembali menyodorkan kotak perhiasan kali ini lebih besar. Revan mengambil kotak itu
“El, ada satu lagi,” ucap Revan sambil membuka kotak beludru berbentuk panjang.
Di dalamnya tersusun satu set lengkap perhiasan berlian, kalung elegan dengan bandul berbentuk hati, gelang tipis berpola senada, dan sepasang anting kecil yang tampak mewah namun tetap anggun untuk dipakai wanita berhijab.
Eliana terbelalak. “Re… ini… ini pasti mahal sekali…”
Revan tersenyum lembut. “Ini aku pesan khusus untuk mu. Aku ingin kamu memakainya di hari pernikahan kita nanti. Aku memesannya bersamaan dengan cincin pernikahan kita.”
“Tapi ini terlalu berlebihan…”
“Eliana,” potong Revan lembut, “kamu akan jadi istriku. Tidak ada yang berlebihan untukmu.”
Eliana terdiam. Hatinya hangat, campur haru. Ia tahu betul harga perhiasan itu tidak main-main.
“Kalau kamu tidak suka, aku akan pesan kan perhiasan dengan model yang lain,” ujar Revan lembut.
“Bukan begitu…” Eliana menggeleng pelan. “Aku hanya… terharu. Terima kasih, Re.”
Revan tersenyum puas melihat reaksinya. “Selama kamu suka, semua sudah cukup.”
Manajer yang berdiri di dekat mereka ikut tersenyum melihat interaksi keduanya.
“Baik, Tuan. Jika tidak ada tambahan, saya akan bungkus semuanya.”
Revan mengangguk.
---
“Sebelum pulang, ayo kita jalan-jalan sebentar,” ajak Revan sambil memerhatikan sekeliling.
“Boleh,” jawab Eliana singkat.
Mereka berkeliling pusat perbelanjaan, membeli beberapa camilan, lalu duduk sejenak di bangku dekat air mancur indoor.
“Kapan Nadia pulang?” tanya Revan sambil membuka bungkus roti bakar.
“Mungkin besok atau lusa. Katanya, dia ingin langsung membawa ibunya ke sini supaya bisa hadir di acara pernikahan kita,” jawab Eliana. Ia lalu menatap Revan. “Memangnya kenapa?”
“Aku hanya khawatir kamu sendirian di apartemen.”
"Kamu tidak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja.” Eliana meyakinkannya.
Revan mengangguk, meski sorot matanya tetap mengawasi sekitar.
Saat mereka hendak berdiri dan berjalan Eliana tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Re… itu Celin,” ujar Eliana pelan.
Revan menoleh. “Kamu yakin?”
Celin berjalan bersebelahan dengan seorang pria. Dan jelas keduanya juga melihat Revan dan Eliana.
“Ayo kita dekati mereka,” ucap Aldo tiba-tiba.
“Untuk apa?” Celin mendesis.
“Ayo saja.” Aldo memberi isyarat dengan anggukan kecil yang membuat Celin tidak punya pilihan.
Mereka kini berdiri saling berhadapan. Seperti biasa, Celin tidak mampu menyembunyikan kecemburuannya ketika melihat Revan bersama Eliana.
“Celin,” sapa Eliana sopan.
Revan tetap diam. Sikapnya berubah lebih waspada.
Celin memutar bola matanya malas, sebelum Aldo mencondongkan tubuh dan berbisik, dan sedikit mengernyitkan sebelah matanya.“Kamu tidak ingin memperkenalkan aku dengan mereka?”
Dengan wajah malas, Celin akhirnya menuruti permintaan Aldo. “Aldo… ini Revan dan Eliana.”
Aldo tersenyum ramah dan mengulurkan tangan. Revan menyambutnya sambil mengamati pria itu dengan seksama. Ada sesuatu dari Aldo yang membuat Revan merasa seolah pernah melihatnya, tapi ia tidak segera menemukan jawabannya.
Setelah basa-basi singkat, Celin buru-buru menarik Aldo pergi.
Begitu mereka sudah cukup jauh, Celin memelototi Aldo. “Apa tujuanmu memaksa aku mendekat ke mereka?”
“Agar mereka mengira kamu sudah tidak lagi mengharapkan Revan. Supaya nanti kalau kita melakukan sesuatu, mereka tidak akan curiga bahwa kita pelakunya.”
Celin terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kamu benar juga. Kenapa aku tidak berpikir sampai kesitu?”
Tanpa menunggu lama, Celin mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang.
---
Revan langsung mengantarkan Eliana ke apartemennya. Ia memegang setir dengan rahang mengeras, jelas tidak suka dengan pertemuan tadi.
“El,” ucap Revan ketika mereka tiba di depan lobi. “Mulai sekarang, kamu harus lebih hati-hati. Kalau ada hal yang aneh atau mencurigakan, sekecil apa pun, langsung hubungi aku.”
Eliana mengangguk pelan. “Iya. Kamu juga jangan terlalu khawatir.”
Revan turun lebih dulu, membukakan pintu mobilnya, lalu mengantar Eliana sampai pintu masuk apartemen. Ia baru mundur setelah melihat Eliana benar-benar masuk dengan aman.
Begitu pintu tertutup, Revan mengeluarkan ponselnya. Suaranya rendah dan tegas.
“Jangan sampai lengah. Perkuat pengawasan.”
Revan menatap pintu apartemen Eliana sekali lagi sebelum kembali ke mobilnya