NovelToon NovelToon
Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Pelakor / Selingkuh
Popularitas:157
Nilai: 5
Nama Author: Caracaramel

Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.

Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Pagi itu, Nayla duduk di sofa ruang tamu, menyeruput kopi yang sudah agak dingin.

Kemarin ia sempat merasa lega.

Anton memang check-in di hotel sendirian, bukan bersama Lestari. Setidaknya itu yang dikatakan resepsionis.

“Kalau begitu, mungkin aku terlalu curiga,” gumam Nayla pelan, menatap cangkir kopinya.

Namun lega itu hanya sesaat. Hatinya menegang ketika ia mengingat percakapan dengan Anton waktu itu. Dia mengatakan hanya memesan kamar untuk temannya.

Nayla mengangguk, tapi hatinya tidak bisa diam.“Ada apa sebenarnya, Mas?” pikirnya.

Dia menatap dinding rumah yang cerah terkena sinar pagi.

“Kalau benar dia sendirian, kenapa harus check-in di hotel? Untuk apa?” gumamnya.

Semakin ia berpikir, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.

Setelah sarapan dan mengantar Dea ke sekolah, Nayla kembali ke rumah.

Ia menata ruang tamu sambil berusaha menenangkan diri. Namun ketika membersihkan meja samping sofa, sesuatu menarik perhatiannya, sebuah amplop kecil yang jatuh di antara buku dan majalah.

Ia mengambilnya perlahan. Amplop itu tidak biasa, tertulis nama hotel dan tanggal yang sama dengan bill yang pernah ia temukan di dompet Anton. Hatinya mencelos. Ia membuka amplop itu.

Di dalamnya ada nota tambahan untuk layanan kamar: beberapa botol minuman, cokelat, dan request khusus yang tidak masuk akal jika Anton datang sendirian.

Nayla menatap nota itu lama sekali.

Tangannya gemetar, napasnya tercekat.

“Jadi, selama ini dia bilang sendirian, tapi kenyataannya…” Nayla tidak bisa menyelesaikan kalimat itu.

Hatinya terasa panas, perih, campur aduk antara marah dan sedih.

Dia menatap ponselnya yang tergeletak di samping. Memori percakapan kemarin malam dengan Anton kembali muncul.

“Kenapa aku selalu ditipu?” Nayla bergumam lirih. “Kenapa semua terasa begitu rapi tapi berbohong di depan mataku sendiri?”

Nayla menekankan kepala di kedua tangannya.

Dia berdiri perlahan, menatap ke arah kamar mereka sejenak. Tubuhnya gemetar, tapi ada satu hal yang semakin jelas, suaminya telah berbohong.

Dan kebohongan itu bukan sekadar hal kecil.

Nayla menatap amplop itu lagi.

Hatinya bergejolak, tapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa menutup mata lagi.

Semua teka-teki itu harus terungkap.

“Tidak ada lagi alasan untuk percaya begitu saja,” gumam Nayla.

Ia menaruh amplop itu dengan hati-hati ke tempatnya semula, lalu duduk kembali di sofa. Napasnya berat, tapi matanya tetap menatap kosong. Dia tahu hari-hari ke depan tidak akan sama lagi.

Hatinya tidak tenang, tapi satu keputusan muncul di dalam. “Aku harus tahu seluruh kebenaran.”

Pagi itu, Nayla duduk di sofa ruang tamu, menatap amplop kecil yang baru saja ia temukan di antara buku dan majalah di meja samping sofa.

Rasanya aneh. Mengapa ia tidak melihat amplop itu sebelumnya?

“Apakah aku kurang teliti selama ini… atau memang Anton meninggalkannya tanpa sengaja?” gumamnya lirih.

Hatinya panas, dada terasa sesak.

Ia tahu suaminya berselingkuh, itu sudah jelas di hatinya, tapi siapa perempuan itu… ia belum tahu.

Pertanyaan itu menusuk, tapi ia tidak bisa berhenti memikirkan semua detail yang sebelumnya diabaikan.

Tangannya gemetar saat ia mengambil ponselnya.

Ia mulai mengetik pesan singkat ke Anton, kata-kata yang menunggu untuk dikirim:

"Anton, kita perlu bicara. Aku menemukan sesuatu…"

Tapi sebelum ia sempat menekan tombol kirim, ponselnya berdering.

Nama Anton muncul di layar.

Ia menekan tombol jawaban, suara Anton terdengar dari seberang.

“Halo, Sayang. Aku nggak bisa pulang malam ini. Ada pekerjaan di luar kota Samarinda. Hanya malam ini saja. Besok siang aku sudah pulang.” suara Anton terdengar tenang, bahkan terdengar ringan, seperti tidak ada beban.

Nayla mengangguk, meski Anton tidak bisa melihatnya.

“Oke, aku mengerti. Kamu hati-hati, ya.” jawabnya singkat, tanpa banyak bertanya.

Anton tersenyum di seberang sana, terdengar di suaranya ketenangan yang membuat Nayla semakin gelisah.

Telepon ditutup. Nayla menatap ponsel di tangannya, menghela napas panjang.

Perasaannya runtuh seketika.

Rasa kecewa dan sakit hati yang selama ini ia simpan tiba-tiba menumpuk menjadi satu. Dia tidak tahu harus bagaimana.

Pria yang selama ini ia cintai, yang selalu terlihat hangat dan perhatian, ternyata menyimpan rahasia besar.

Sore harinya, Dea pulang dari sekolah diantar oleh Vina dan ibunya, Bu Lestari.

Seperti biasa, Dea berlari ke lantai atas untuk mengganti baju dan meletakkan tasnya.

Nayla menatap mereka pergi dengan senyum yang dipaksakan.

Di dalam hatinya, ia masih memikirkan amplop dan nota hotel yang ditemukan tadi pagi.

Malamnya, mereka makan malam bersama. Anton tidak hadir. Hanya Nayla, Dea, dan Bu Sari yang menata meja.

Nayla sama sekali tidak nafsu makan. Dia hanya menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya, sambil menatap piring seolah itu bisa menenangkan hatinya.

Setelah makan, Nayla kembali ke kamar.

Ia mondar-mandir, memegang ponsel di tangannya, menunggu telepon dari Anton.

Namun panggilan tidak kunjung datang.

Setiap dering pintu telepon yang kosong hanya menambah ketegangan di dadanya.

Akhirnya, ia mengambil inisiatif.

Ia menekan tombol panggil Anton.

Telepon berdering lama sekali, rasanya setiap detik seperti menambah tekanan di dadanya. Telepon baru diangkat setelah tiga kali ia coba menelpon.

“Halo?” terdengar suara Anton di seberang, terdengar agak terengah-engah.

“Mas? Kamu kenapa terengah-engah gitu?” Nayla menatap ponselnya, khawatir.

“Ah! Aku baru saja sampai di hotel lantai 7. Lift sedang perbaikan, jadi aku harus naik anak tangga,” jawab Anton.

Nayla menelan ludah, tidak percaya.

“Lantai 7? Anak tangga?” gumamnya dalam hati.

Suara Anton terdengar normal, tapi logikanya terasa aneh. Mengapa harus naik anak tangga hingga lantai 7, sementara hotel itu cukup besar untuk terdapat banyak lift?

Nayla menahan diri, tidak bisa melakukan apa pun. Ia hanya menatap ponsel, diam, mencoba menenangkan perasaan yang bergejolak.

“Tidak ada yang bisa kulakukan sekarang,” pikirnya. Tapi rasa curiga, ketidakpercayaan, dan sakit hati terus menghantui.

“Kamu kenapa nelpon, Nay?” tanya Anton masih dengan terengah-engah, sesekali suaranya tertahan.

“Aku khawatir kamu nggak ada kasih kabar. Jadi aku telepon,” ujar Nayla berbohong. Padahal dia hanya ingin memastikan suaminya sedang berada di mana.

“Oh, a-aku baik-baik aja. Ud-ah di hotel jugg-a,” kata Anton dengan kalimat terputus-putus.

“Kamu lagi apa, Mas? Aku mau video call,”

“Jangan, Sayang. Aku mau mandi dulu. Nanti habis mandi, aku video call kamu, ya.”

Nayla kembali curiga. Hatinya mulai gusar. “Oke.” katanya singkat. Dia menutup telepon, menaruh ponsel di samping, dan menunduk.

Hatinya campur aduk, antara marah, kecewa, dan ingin segera menemukan kebenaran. Sampai malam itu, Nayla terus mondar-mandir di kamar, memegang ponsel, menunggu Anton selesai mandi dan menelpon kembali atau dia akan lupa dengan ucapannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!