Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERMINTAAN LAURA
Langit berjalan santai mengitari kap mobil, langkahnya mantap namun ringan. Sesampainya di sisi pintu, ia menundukkan badan sedikit, tangannya terulur untuk membuka pintu bagi Arum. Mata mereka sempat bertemu sesaat, dan senyum tipis terukir di wajah Langit—hangat, penuh perhatian.
"Silahkan ratuku..." Ucap Langit dengan nada candanya.
Arum, yang menatapnya sejenak, merasakan ketenangan aneh di dadanya, seakan kedekatan mereka yang baru saja terjalin malam itu masih bergaung lembut di antara mereka. Pintu mobil kemudian terbuka, memberi ruang bagi Arum, dan aroma hujan pagi yang samar menyelimuti momen itu, membuat langkah mereka seolah terhenti sejenak dalam kesunyian yang penuh makna.
"Makasih ya, Mas."
Langit mendesis. "Makasih buat apa?" Tanyanya. "Ucapan singkat karena aku sekarang udah jadi supir pribadi kamu?"
Arum tertawa kecil dengan gelengan di kepala. "Bukan, Mas." Jawabnya di sela tawa.
Detik berikutnya, Arum tanpa ragu meraih jemari kokoh Langit. Sentuhan itu terasa hangat, kuat, dan penuh kepastian.
"Makasih karena saat ini kamu telah menjadi bagian dari hidup aku." Jelas Arum.
Langit mendesis pelan, langkahnya perlahan mendekat Arum. Dengan hati-hati, ia meraih satu jemari Arum, memegangnya hangat di tangannya. Pandangannya menelusuri wajah Arum, seolah ingin membaca setiap rasa yang tersembunyi di mata itu.
"Aku akan ada untuk kamu." Jawab Langit. "Apapun yang terjadi, aku akan selalu bersama kamu." Tambahnya, sambil mengecup kening Arum. "Sekarang kamu kerja dulu, ya. Nanti aku jemput."
Arum tersenyum dengan sebuah anggukan menurut. "Aku kerja dulu ya, Mas. Kamu juga yang semangat kuliahnya."
Langit mendesis sambil Mengacak-acak helai rambut Arum, lembut. "Pasti, sayang."
Arum menoleh sejenak, matanya bertemu dengan Langit. Senyum tipis tersungging di bibirnya, lalu ia mengangkat tangan, melambaikan salam perpisahan yang lembut. Hatinya berdebar, namun langkahnya tetap mantap saat ia berjalan menuju pintu toko. Suara bel kecil berbunyi saat ia mendorong pintu masuk, meninggalkan Langit di tempatnya, berdiri dengan jemari yang masih terasa hangat setelah disentuhnya.
"Pacar kamu... cakep juga. Terus tajir, lagi!"
Arum tersentak sejenak oleh suara celetukan itu, matanya menatap wanita di depannya dengan sedikit malu-malu tapi tetap hangat. Ia melempar senyum ringan, mencoba menutupi rasa kikuk yang tiba-tiba muncul. Dengan gerakan tenang, ia melepaskan tas dari bahunya dan menaruhnya di loker yang sudah biasa ia gunakan, lalu menguncinya rapat dengan sentuhan cekatan.
Seakan kembali ke ritmenya sendiri, Arum mulai merapikan rak-rak di sekelilingnya. Tangannya bergerak lincah, menyusun barang-barang dengan rapi, sementara pikirannya sesekali melayang kembali ke momen barusan dengan Langit yang ternyata masih berdiam di tempatnya.
"Mas Langit lagi telepon siapa?" Gumam Arum saat matanya terpaku pada lelaki yang kini memegang telepon genggamnya, sesaat sebelum akhirnya sosok itu masuk ke dalam mobilnya.
Sementara itu, mesin mobil mulai berdengung lembut, menandakan mobil siap untuk melaju. Langit menaruh ponselnya rapi di konsol, lalu dengan satu tangan ia memasang earphone.
Jemari sebelahnya menggenggam setir dengan mantap, napasnya tenang namun penuh fokus. Perlahan, mobil pun bergerak seiring dengan roda yang berputar mengikuti irama jalanan meninggalkan area toko. Pandangan Langit tertuju ke depan, seolah setiap gerakan setir dan pedal adalah bagian dari ritme yang sudah ia kuasai.
"Langit udah bilang... kalau Langit udah ga cinta lagi sama Viona, Ma... cukup!" Kata Langit, suaranya tegas di sebrang sana.
"Ya, tapi kamu gak perlu melakukan hal sekasar itu sama Viona, tadi." Suara Laura melengking keras.
Langit mendesis, "Kasar?" Ulangnya. "Dia itu manja, Ma! Apapun... selalu di lebih-lebihkan. Dia itu keras kepala! Aku gak mau buat keributan di rumah Arum, aku suruh dia pergi tapi dia—"
"Oke!"
Langit terhenti saat suara Ibunya menyela.
"Arum, ya! Mama mau ketemu sama Arum... malam ini juga! Mama ingin tahu seperti apa dia sampai kamu tergila-gila sama dia dan menjadi Langit yang gak Mama kenal!"
Tuuuuut.
****