Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: KEPERCAYAAN YANG RAPUH**
# **
Pagi itu dimulai dengan rapat besar di ruang konferensi lantai 28—ruangan megah dengan meja panjang, layar proyektor besar, dan jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan Jakarta dari ketinggian.
Alara duduk di antara rekan-rekan divisi desain—nervous karena ini pertama kalinya ia ikut rapat besar yang dihadiri langsung oleh Nathan dan jajaran direksi. Tangannya gemetar sedikit di pangkuan, mencoba terlihat tenang walau jantungnya berdegup kencang.
Nathan duduk di kepala meja dengan aura yang... berbeda. Di sini, ia bukan Nathan yang hangat, yang tersenyum lembut. Di sini, ia CEO—dingin, tegas, berwibawa. Tapi sesekali matanya melirik ke arah Alara—lirik yang cepat tapi cukup membuat jantung Alara berdetak lebih cepat.
"Baik, kita mulai," kata Nathan dengan suara yang menggema di ruangan. "Proyek kali ini adalah yang terbesar tahun ini—Emerald Heights, kompleks apartemen mewah 40 lantai di kawasan Sudirman. Kliennya Mr. Hartawan, investor dari Singapura yang sangat... perfeksionis."
Semua orang mengangguk—mengerti bahwa ini proyek yang tidak boleh gagal.
"Untuk proyek ini, kita butuh lead designer yang tidak hanya berbakat, tapi juga punya visi yang fresh, yang bisa bikin desain yang... outstanding." Nathan berhenti sejenak, matanya menyapu ruangan.
Lalu berhenti pada Alara.
"Alara Davina."
Jantung Alara berhenti sedetik. Semua mata di ruangan tertuju padanya.
"Kamu aku tunjuk sebagai lead designer untuk proyek ini."
Hening. Hening yang sangat panjang.
Alara membeku—tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. *Aku? Lead designer? Untuk proyek sebesar ini?*
"Tapi... tapi Pak Nathan—" Pak Hendra, kepala divisi desain, mencoba protes. "Alara masih... masih junior. Untuk proyek sebesar ini—"
"Aku sudah lihat portfolionya," potong Nathan tegas. "Desainnya untuk Green Valley exceptional. Dan aku percaya dia bisa handle ini."
Pak Hendra terdiam—tidak berani membantah lebih jauh.
Tapi bisikan mulai terdengar—bisikan yang tidak bisa Alara abaikan.
"Serius? Dia ditunjuk karena dia istri CEO kan?"
"Nepotisme banget sih..."
"Kasian yang lain yang lebih senior..."
Setiap bisikan seperti tusukan kecil di dada Alara. Ia menunduk, tangannya mengepal erat di pangkuan.
*Mereka pikir aku dapat ini karena aku istrinya. Bukan karena kemampuanku.*
"Ada yang mau protes?" tanya Nathan dengan nada yang... berbahaya. Nada yang membuat semua orang diam seketika.
Tidak ada yang berani angkat bicara.
"Bagus. Meeting selesai. Alara, stay. Aku mau bicara."
Semua orang keluar—beberapa melirik Alara dengan tatapan yang... tidak ramah. Alara tetap duduk, jantungnya berdegup sangat keras.
Begitu pintu tertutup, hanya tinggal mereka berdua.
Nathan berdiri, berjalan mendekat ke tempat Alara duduk. Ia menarik kursi di samping Alara, duduk menghadap dia.
"Kenapa kamu kelihatan takut?" tanya Nathan—suaranya berubah lembut.
"Aku... aku tidak siap, Nathan." Suara Alara bergetar. "Ini proyek terlalu besar. Aku... aku takut gagal. Takut mengecewakan kamu—"
"Kamu nggak akan gagal." Nathan menggenggam tangan Alara yang gemetar. "Aku percaya sama kamu. Aku lihat desain-desainmu. Aku tahu kamu bisa."
"Tapi orang-orang..." Alara menunduk, air matanya mulai berkumpul. "Mereka pikir aku dapat ini karena nepotisme. Karena aku istrimu. Bukan karena aku capable—"
"Fuck what they think." Nathan mengumpat—jarang sekali ia kasar begini. "Aku nggak peduli apa kata mereka. Aku tahu kemampuanmu. Dan aku tunjuk kamu karena aku percaya sama kamu. Bukan karena kamu istriku."
Ia mengangkat dagu Alara, memaksa Alara menatapnya.
"Tapi kalau kamu nggak mau, kalau kamu merasa ini terlalu berat, bilang sekarang. Aku bisa cari orang lain. Aku nggak mau kamu stress—"
"Aku mau." Alara memotong cepat. Air matanya jatuh tapi ia tersenyum—senyum yang gemetar tapi penuh tekad. "Aku mau. Aku... aku mau buktiin kalau aku bisa. Kalau aku nggak cuma 'istri CEO'. Kalau aku... kalau aku punya value."
Nathan tersenyum—senyum yang penuh kebanggaan. "Good. Karena aku tahu kamu bisa."
Ia mencium dahi Alara—ciuman yang lembut, yang membuat Alara menutup mata dan merasakan kehangatan yang menenangkan.
"Aku ada di belakangmu," bisik Nathan. "Selalu."
---
**SIANG ITU, DIVISI DESAIN**
Alara kembali ke divisi dengan perasaan campur aduk—excited tapi juga takut. Begitu ia masuk, suasana berubah. Beberapa orang yang biasanya ramah, sekarang hanya melirik sekilas lalu mengalihkan pandangan.
Rian menghampiri dengan wajah khawatir. "Alara... kamu yakin mau terima ini? Orang-orang... mereka nggak senang."
"Aku tahu," jawab Alara pelan sambil duduk di mejanya. "Tapi aku harus buktiin. Aku harus buktiin kalau aku layak."
"Tapi—"
"Rian, kumohon." Alara menatap Rian dengan tatapan yang putus asa. "Kumohon support aku. Aku butuh seseorang yang percaya sama aku."
Rian terdiam—lalu menghela napas panjang dan tersenyum. "Fine. Aku support. Tapi kalau kamu butuh bantuan, bilang ya. Jangan maksain sendirian."
Alara tersenyum—senyum yang lega. "Terima kasih."
Ia membuka laptopnya, mulai browsing referensi untuk desain Emerald Heights. Tangannya bergerak di atas mouse dengan fokus—mencoba mengabaikan bisikan dan tatapan dari sekitar.
Tapi tidak mudah.
Setiap kali ia dengar tawa kecil dari meja sebelah, setiap kali ia lihat orang berbisik sambil meliriknya, dadanya sesak.
*Aku harus buktiin. Aku harus buktiin kalau aku bukan nepotisme. Aku harus buktiin kalau Nathan tidak salah pilih.*
---
**SORE HARI, RUANG MEETING KECIL**
Alara mengadakan meeting pertama dengan tim yang akan membantunya—ada Rian, dua junior designer, dan satu arsitek senior bernama Pak Bambang.
Alara berdiri di depan whiteboard dengan marker di tangan—nervous tapi mencoba terlihat confident.
"Baik, untuk Emerald Heights, konsepnya adalah 'urban luxury with nature touch'. Klien mau sesuatu yang mewah tapi tetap eco-friendly. Jadi kita akan—"
"Maaf, Nona Alara," Pak Bambang memotong—nada bicaranya... meremehkan. "Tapi dengan pengalaman yang masih minim, apa Nona yakin bisa handle konsep se-complex ini?"
Alara terdiam. Tangannya yang memegang marker gemetar sedikit.
"Saya... saya akan belajar. Dan saya harap Bapak bisa bantu—"
"Bantu?" Pak Bambang tertawa kecil—tawa yang sinis. "Nona dapat posisi ini karena Nona istri CEO. Tapi di lapangan, reputasi nggak cukup. Butuh skill."
Kata-kata itu menohok—tepat di tempat yang paling sakit.
Alara menunduk, napasnya mulai berat. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Rian berdiri.
"Pak Bambang, dengan respect, itu nggak fair. Alara dapat posisi ini karena Nathan—maksud saya, Pak Nathan—lihat kemampuannya. Bukan karena nepotisme. Kalau Bapak nggak bisa respect lead designer, mungkin Bapak bisa keluar dari tim ini."
Pak Bambang menatap Rian tajam—tapi akhirnya diam. Ia bersandar di kursi dengan ekspresi tidak senang.
Alara menatap Rian dengan tatapan berterima kasih—hampir menangis.
Meeting berlanjut dengan canggung. Tapi Alara mencoba tetap fokus—menjelaskan visinya, membagi tugas, menetapkan deadline.
Begitu meeting selesai dan semua orang keluar, Alara merosot di kursi. Tangannya menutupi wajahnya—napasnya tersengal.
*Ini berat. Ini sangat berat.*
Pintu meeting terbuka. Nathan masuk—wajahnya khawatir.
"Aku dengar dari Rian. Pak Bambang bilang apa?" tanyanya langsung.
"Tidak apa-apa—"
"Alara, jangan bohong." Nathan berlutut di depan Alara, menggenggam tangannya. "Aku tahu ini berat. Aku tahu orang-orang nggak senang. Tapi kalau ada yang ganggu kamu, bilang. Aku bisa—"
"Jangan." Alara menggeleng cepat. "Jangan bela aku, Nathan. Kalau kamu bela aku, mereka akan makin yakin kalau aku dapat ini karena nepotisme. Aku... aku harus buktiin sendiri."
Nathan menatapnya lama—ada kebanggaan di matanya, tapi juga kekhawatiran.
"Baik," katanya akhirnya. "Tapi kalau terlalu berat, bilang. Aku nggak mau kamu sakit lagi."
Alara tersenyum—senyum yang gemetar tapi tulus. "Aku janji."
Nathan mencium tangannya—ciuman yang lembut, yang memberi kekuatan.
"Aku percaya sama kamu," bisiknya. "Dan aku akan selalu ada."
Kata-kata itu—kata-kata sederhana tapi penuh makna—membuat Alara menangis. Menangis karena lega, karena takut, karena bahagia dan stress sekaligus.
Nathan memeluknya—membiarkan Alara menangis di dadanya.
"Nangis aja," bisik Nathan. "Nangis dulu, terus besok kamu buktiin kalau mereka salah."
Dan Alara menangis—menangis sampai airmatanya habis, sampai napasnya tenang.
Lalu ia mengangkat wajah, menatap Nathan dengan mata merah tapi penuh tekad.
"Aku akan buktiin," bisiknya. "Aku akan buktiin kalau kamu nggak salah percaya sama aku."
Nathan tersenyum—senyum yang penuh cinta. "Aku tahu."
Tapi mereka berdua tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa kepercayaan ini akan segera diuji dengan cara yang paling menyakitkan.
Karena Kiara dan Dimas sudah mulai bergerak.
Dan ketika mereka bergerak, tidak ada yang aman.
Tidak Nathan. Tidak Alara.
Tidak kepercayaan yang baru saja mulai tumbuh di antara mereka.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 20]**