Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 San Long yang tersembunyi.
Napas Swan tercekat di tenggorokannya, udara berdebu di perpustakaan itu seolah menolak masuk ke paru-parunya. Matanya terpaku pada gulungan perkamen di atas meja. Garis-garis tinta yang tajam, catatan-catatan yang ditulis dengan kaligrafi yang rapi namun tergesa-gesa. Itu bukan sekadar peta. Itu adalah otopsi. Otopsi dari malam paling mengerikan dalam hidupnya.
“Ke-kenapa…” Suara Swan keluar seperti bisikan yang serak dan pecah. “Kenapa Anda punya ini?”
San Long menatap wajah Swan yang pucat pasi, lalu kembali menatap peta itu seolah baru menyadari apa yang telah ia bentangkan. Ketenangan dinginnya retak. Ia dengan cepat mencoba menggulung kembali perkamen itu.
“Ini bukan apa-apa,” katanya, suaranya sedikit terlalu cepat. “Hanya arsip lama yang salah tempat.”
“Bohong!” sentak Swan. Tangannya yang gemetar terulur, menunjuk sebuah titik di peta itu. Jari telunjuknya nyaris tidak menyentuh permukaan kertas yang rapuh. “Catatan itu… posisi pemanah… rute patroli pengawal dalam… ini bukan arsip. Ini adalah analisis pembantaian!”
“Jaga bicaramu,” balas San Long dingin, tapi tangannya berhenti bergerak. Matanya tertuju pada jari Swan.
“Aku mengenali setiap sudutnya!” lanjut Swan, suaranya kini bergetar karena amarah yang ditahan. “Aku besar di sana! Dan malam itu… malam itu aku bersembunyi di balik tirai, tepat di sini!” Ia mengetuk sebuah titik di diagram aula utama. “Aku melihat semuanya.”
San Long terdiam, tatapannya kini tertuju lekat pada wajah Swan, seolah baru pertama kali melihatnya. Topeng esnya meleleh, memperlihatkan sesuatu yang lain di baliknya. Sesuatu yang gelap dan intens.
“Kalo begitu, kau pasti tahu,” katanya pelan, suaranya berubah, kehilangan nada arogansinya, digantikan oleh resonansi seorang ahli strategi. “Kau pasti tahu kalau pertahanan Ayahmu malam itu… mustahil bisa ditembus.”
“Apa maksudmu?” desis Swan.
San Long tidak menjawab. Sebaliknya, ia membentangkan kembali peta itu sepenuhnya. Jemarinya yang panjang dan ramping menelusuri sebuah garis. “Lihat ini.” Ia menunjuk barisan titik-titik yang menandai pos jaga di dinding luar. “Formasi Bintang Tujuh. Klasik, defensif, dan nyaris sempurna. Tapi malam itu, ada celah.” Jarinya berhenti di sudut tenggara. “Penjaga di menara ini… seharusnya tidak ada di sana. Dia membelakangi titik buta utama, tepat di mana Jenderal Zen dan unit pembunuhnya menerobos masuk.”
Swan menatap titik itu, ingatannya yang kabur oleh trauma mulai menjadi jernih. Dia benar. Menara itu biasanya kosong saat malam.
“Dan pemanah di atap,” lanjut San Long, suaranya kini dipenuhi gairah intelektual yang aneh, seolah ia sedang memecahkan teka-teki yang paling rumit. “Posisi mereka salah total. Mereka ditempatkan di sayap timur, padahal angin malam selalu berhembus dari barat laut. Anak panah mereka akan melenceng setidaknya dua derajat. Cukup untuk meleset dari target bergerak dalam kegelapan.”
Kepala Swan berputar. Pengetahuan militer yang keluar dari mulut pangeran ini begitu mendalam, begitu presisi. Melebihi apa pun yang pernah diajarkan Guru Wen padanya.
“Bagaimana Anda…”
“Ayahmu bukan jenderal yang bodoh,” potong San Long, mengabaikan pertanyaan Swan. Matanya berkilat-kilat di bawah cahaya bulan yang redup, sama sekali tidak melihat Swan, hanya melihat medan perang di atas kertas. “Dia tidak akan pernah membuat kesalahan-kesalahan dasar seperti ini. Aku sudah mempelajari semua pertempurannya. Setiap manuvernya brilian. Tapi malam itu… seolah-olah seluruh sistem pertahanannya sengaja dilumpuhkan dari dalam.” Ia mengangkat kepalanya, tatapannya menembus Swan. “Seseorang membocorkan cetak biru pertahanannya pada Jenderal Zen. Seseorang di lingkaran terdalamnya.”
Keheningan yang pekat menyelimuti mereka. Untuk pertama kalinya, Swan mendengar seseorang memuji kehebatan Ayahnya sejak hari kematiannya. Dan pujian itu datang dari mulut orang yang paling tidak ia duga, diucapkan dengan rasa hormat yang tak terbantahkan.
“Anda…” bisik Swan, kebingungan mengalahkan amarahnya. “Anda sangat menghormati Ayahku.”
Pertanyaan itu seolah membangunkan San Long dari kesurupannya. Matanya mengerjap. Gairah di wajahnya padam seketika, digantikan oleh topeng es yang dingin dan familier. Ia seolah baru sadar telah mengatakan terlalu banyak. Ia telah membuka dirinya.
“Rasa hormat tidak ada artinya bagi orang mati,” katanya datar. Dengan satu gerakan cepat dan kasar, ia menggulung peta itu.
“Tunggu!” cegah Swan. “Bagaimana Anda bisa tahu semua ini? Detail-detail ini… ini bahkan tidak tercatat di laporan resmi mana pun! Siapa Anda sebenarnya?”
Pertanyaan itu menggantung di antara mereka. San Long menatapnya tajam, perjuangan batin terlihat jelas di matanya sebelum dinding pertahanannya kembali terkunci rapat.
“Kau terlalu banyak ingin tahu,” katanya dingin, nadanya berubah total. Ia memasukkan gulungan itu ke dalam lipatan jubahnya. “Seharusnya aku biarkan saja kau ditangkap penjaga tadi.”
“Anda mengalihkan pembicaraan,” desak Swan, melangkah maju.
“Dan kau melanggar jam malam,” bentaknya tiba-tiba, suaranya tajam dan penuh amarah yang dibuat-buat. Itu adalah sebuah serangan balik, sebuah manuver defensif. “Lagi-lagi kau di sini! Berpakaian seperti tikus selokan, menyelinap di tempat terlarang! Apa kau memang sengaja cari mati?”
Perubahan yang tiba-tiba itu membuat Swan terhuyung. Beberapa saat yang lalu, ia melihat sekilas pria di balik topeng itu—seorang ahli strategi jenius yang terobsesi pada kebenaran. Sekarang, yang di hadapannya hanyalah pangeran dingin dan kejam, bengis dan kasar, sama yang ia temui di hari pertamanya.
“A-Anda yang…”
“Aku Pangeran Kekaisaran!” potongnya, suaranya menggema pelan di antara rak-rak buku. “Aku punya hak untuk berada di mana pun yang aku mau, kapan pun aku mau! Sedangkan Kau... Kau itu siapa? Seorang selir! Pion baru dalam permainan yang bahkan tidak kau mengerti aturannya!” Ia menunjuk ke arah jendela. “Sekarang kembali ke kandangmu sebelum kesabaranku habis.”
“Aku tidak akan pergi sebelum Yang Mulia menjawab pertanyaanku!” tantang Swan, menolak untuk diintimidasi.
“Kalau begitu kau akan membusuk di penjara bawah tanah.” San Long melangkah melewatinya, bahunya sengaja menyenggol bahu Swan dengan kasar. “Aku tidak punya waktu untuk meladeni anak kecil keras kepala sepertimu.”ceplos San Long.
Dia berjalan menuju kegelapan tanpa menoleh ke belakang. Swan berdiri mematung di tengah lorong, hatinya berkecamuk oleh perasaan yang saling bertentangan. Dia hampir mendapatkan jawabannya. Dia hampir berhasil merobohkan dinding itu.
Tepat sebelum sosoknya benar-benar ditelan oleh bayang-bayang di ujung lorong, San Long berhenti. Dia tidak berbalik. Suaranya terdengar dari kegelapan, rendah dan tanpa emosi, tetapi setiap katanya terasa seberat batu nisan.
“Di istana ini, Selir Xin…” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, “Mengetahui terlalu banyak tentang apa yang terjadi di Gerbang Utara adalah cara tercepat untuk menemui takdir yang sama persis seperti Jenderal Xin.”suara dingin menembus jantung....
trmkash thor good job👍❤