NovelToon NovelToon
Perjodohan Masa SMA

Perjodohan Masa SMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Tunangan Sejak Bayi / Dijodohkan Orang Tua / Pihak Ketiga / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Alfiyah Mubarokah

Dijodohkan? Kedengarannya kayak cerita jaman kerajaan dulu. Di tahun yang sudah berbeda ini, masih ada aja orang tua yang mikir jodoh-jodohan itu ide bagus? Bener-bener di luar nalar, apalagi buat dua orang yang bahkan gak saling kenal kayak El dan Alvyna.

Elvario Kael Reynard — cowok paling terkenal di SMA Bintara. Badboy, stylish, dan punya pesona yang bikin cewek-cewek sampai bikin fanbase gak resmi. Tapi hidupnya yang bebas dan santai itu langsung kejungkal waktu orang tuanya nge-drop bomb: dia harus menikah sama cewek pilihan mereka.

Dan cewek itu adalah Alvyna Rae Damaris — siswi cuek yang lebih suka diem di pojokan kelas sambil dengerin musik dari pada ngurusin drama sekolah. Meskipun dingin dan kelihatan jutek, bukan berarti Alvyna gak punya penggemar. Banyak juga cowok yang berani nembak dia, tapi jawabannya? Dingin banget.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 Ciuman

"Jago masak juga loh. Gue kira kerjanya cuma ngabisin duit doang," celetuk El sambil melirik Alvyna yang lagi duduk santai menikmati nasi goreng buatan dia sendiri sebelum berangkat sekolah.

El sempat bengong beberapa detik. Dia gak nyangka rasa masakan Alvyna seenak itu. Dia pikir istri dadakan yang sekarang tinggal seatap dengannya itu gak bisa masak. Tapi ternyata, dugaan dia salah besar. Rasanya? Gak main-main. Kalau dibandingin, ya paling beda tipis sama masakan mamanya sendiri.

Alvyna mendesah kecil, menanggapi ucapan El barusan.

"Gue akuin sih hidup emang butuh duit, tapi gak semua cewek itu matre tau!"

"Omong kosong! Buktinya cewek gue kerjaannya minta duit mulu," balas El sambil terus ngunyah.

Alvyna nyengir miring sinis. "Halah, jangan pernah nyamain gue sama cewek lo. Beda kelas Bro!" ucapnya, sambil memutar bola mata dengan malas.

"Cewek lo tuh dari sananya emang yaa murah. Gak heran sih," lanjutnya dalam hati.

"Lah kenapa emangnya? Sama-sama cewek juga," El masih ngegas.

"Tetep aja beda dan selama gue masih hidup, gue gak akan sudi disamain sama cewek lo yang begituan!" tukas Alvyna mulai kesal.

Udah jadi prinsip hidup Alvyna dibandingin sama pacar El yang terobsesi sama duit itu? Big no!

"Gue berangkat duluan udah telat," kata Alvyna sambil langsung berdiri dan pergi.

"Lo mau ninggalin gue gitu aja?" tanya El sambil menaikkan sebelah alisnya, ekspresinya setengah ngeledek setengah beneran nanya.

"Iya lah. Emangnya kenapa? Kita juga kan emang biasa jalan masing-masing," jawab Alvyna santai, nada suaranya dingin kaya es batu di kulkas rumah tetangga.

El mengangguk-angguk pelan. Ya juga sih gak salah juga. Dia kembali menyuapkan nasi goreng buatan Alvyna ke mulutnya. Rasanya masih enak, gak berubah dari suapan pertama. Sambil ngunyah dia sempat melirik Alvyna yang udah berdiri nenteng tas dan siap berangkat.

"Salim dulu dong, masa pergi gak pamit sama suami?" katanya tiba-tiba dengan gaya sok ustadz. Ini anak emang kadang suka cosplay dadakan.

"Hah? Emang harus banget ya?" Alvyna nyengir kecut, keningnya berkerut, bingung setengah malas.

"Wajib lah! Lo lupa ya status lo sekarang istri gue. Biar selamat sampe sekolah salim dulu." El makin semangat, suaranya malah terdengar seperti komandan upacara.

"Ayo cepetan Ra. Gak baik ninggalin rumah tanpa restu suami," lanjutnya lagi, tangan kanannya udah naik siap disambut.

Alvyna cuma bisa ngelus dada dalam hati. Gak cuma ngeselin, tapi ni cowok juga kadang bisa super ngeselin. Dia gak langsung nurut, malah diem aja sambil ngelihatin El yang masih asik ngunyah. Salim? Seumur hidup itu cuma dia lakuin ke orang tuanya atau ke orang yang dihormati. Sama El? Paling juga waktu akad kemarin. Itu pun antara sadar dan gak sadar saking groginya.

"Lo gak jadi berangkat nih?" tanya El, kali ini sambil nengok ke arahnya. Tatapan matanya serius tapi tetap nyebelin.

"Emangnya harus banget sih gue salim sama lo?" Tanya Alvyna lagi, nada suaranya kali ini malah lebih polos dari biasanya. Entah kenapa tiap bareng El, sifat jutek dan cueknya mendadak hilang entah ke mana. Bukannya galak malah seringnya jadi nurut. Mungkin karena status "suami" itu ya?

"Bukan cuma harus. Tapi wajib." sahut El, tangan kanannya makin mantap melambai di udara, seolah bilang, ayo dong, tunggu apa lagi?

Aneh banget! Ini cowok yang gaya hidupnya gak jauh-jauh dari sembarangan, bisa-bisanya tau beginian. Alvyna cuma bisa mendesah pelan. Meskipun setengah enggan, akhirnya dia juga melangkah mendekat. Pelan satu langkah demi langkah sampai berdiri pas di depan El yang masih duduk santai.

Alvyna memandangi telapak tangan cowok itu cukup lama, seakan berpikir ribuan kali. Tapi akhirnya dia mengangkat tangannya sendiri, lalu pelan-pelan meraih tangan El. Dan iya dia benar-benar nyium punggung tangan suaminya. Mau gak mau.

Sett...

El langsung senyum. Senyum yang gak lebar tapi cukup bikin jantung Alvyna kayak dihentak pelan. Tangan kiri El terangkat, lalu menepuk pelan puncak kepala Alvyna. Gak keras, lembut malah. Dan di situ El makin yakin satu hal kalau Alvyna bisa terus begini, dia bakal makin betah.

"Udah kan? Gue jalan duluan bye!" ucap Alvyna cepat-cepat, buru-buru muter badan dan melangkah keluar. Gak nunggu respons dari El sama sekali.

Gila. Baru nyium tangan doang, tapi kenapa jantungnya langsung berdebar segitunya?! Alvyna bahkan gak berani nengok ke belakang, takut mukanya udah merah sendiri.

Sementara El masih duduk manis, nyengir geli, menatap punggung Alvyna yang menghilang di balik pintu. Dia balik ke piringnya, nyelesain suapan terakhir dari sarapan tadi.

"Duh ni orang mukanya bikin gemes banget sih. Parah!" gumam El pelan sambil nyengir sendiri, ngunyah makanan terakhirnya dengan hati yang entah kenapa mendadak hangat.

Mungkin hanya berselisih lima menit saja dengan Alvyna, El sudah berdiri dari kursinya, menyambar tasnya, dan langsung melangkah keluar dari rumah. Gerakannya cepat dan tegas. Ia sempat menengok sebentar, memastikan pintu sudah terkunci rapat sebelum mengarah ke garasi. Di sana, motor sport kesayangannya sudah menunggu.

Biasanya, waktu tempuh dari rumah ke sekolah memakan waktu sekitar setengah jam. Tapi hari ini, El melibas jalanan hanya dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Namanya juga cowok, kalau di jalan bawaannya pasti ngebut, apalagi kalau pikirannya lagi gak karuan.

SMA Bintara seperti biasa sudah ramai begitu El tiba. Ia memang hampir selalu datang mepet waktu masuk. Pandangannya langsung menyisir area parkiran, mencari-cari keberadaan motor Alvyna. Dan benar saja, motor istrinya itu sudah terparkir di sana, tak jauh dari tempat El berdiri saat ini.

"Baru datang juga El? Lama banget sih!" Suara Lyra terdengar tiba-tiba, membuat El menoleh pelan. Cewek itu menghampiri dengan wajah merengut seolah ingin menunjukkan kekesalannya. Entah kesal karena apa, El juga malas menebak-nebak.

Tanpa membuang waktu, El langsung menatap Lyra dan bertanya, "Semalem abis dari mana?" Nada suaranya datar, tapi cukup tajam. Seperti biasa, El memang bukan tipe cowok yang suka basa-basi.

Wajah Lyra seketika berubah. Ia tampak gugup, bahkan suara bicaranya jadi terbata-bata. "D-dari mana maksudnya? Aku... aku di rumah kok semalem, gak kemana-mana. Kenapa emangnya, El?"

Tak menjawab, El memasukkan tangannya ke saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Ia membuka galeri, lalu menunjukkan layar ponsel ke hadapan Lyra.

Matanya melebar saat melihat foto yang tertera di sana. Itu adalah foto dirinya sedang duduk di kursi bar bersama seorang pria. Ia terlihat menyenderkan kepalanya ke bahu pria itu dengan manja. Foto itu jelas-jelas memancing emosi El sejak pagi. Ya, foto itu dikirim Darian malam tadi, dan sukses membuat El mendidih.

"E-El… i-itu dari mana kamu dapetnya? Sungguh, itu gak seperti yang kamu kira. Aku bisa jelasin, sungguh!"

"Lo gak perlu tau gue dapet dari mana. Yang gue tanya itu lo kan?" tanya El datar sambil turun dari motor. Suaranya tenang, tapi jelas terdengar kecewa. Terlalu kecewa.

Lyra mulai panik, mulutnya sibuk merangkai kata demi kata untuk membela diri. "Itu beneran gak seperti yang kamu pikir El. Aku ketemu dia gak sengaja. Semalem aku pusing banget makanya gak sadar nyender. Aku hampir pingsan, dan dia kebetulan ada di situ buat bantuin. Aku mau hubungin kamu, tapi baterai aku habis. Aku gak maksud kayak gitu, El. Plis percaya..."

El masih melangkah pergi, tapi langkahnya tertahan ketika Lyra menarik lengannya. Tangis Lyra pecah, entah tangisan tulus atau sekadar manipulatif, tapi suaranya terdengar sesenggukan penuh air mata.

"Hiks... aku gak mungkin nyakitin kamu, El. Aku sayang banget sama kamu. Kamu segalanya buat aku."

El mendadak terdiam. Ia memejamkan matanya sesaat, mencoba menenangkan amarah yang masih membara di dalam dada. Ia tau seharusnya ia marah besar. Tapi melihat Lyra menangis seperti itu, hatinya mulai goyah.

Sejak dulu, El memang tidak pernah bisa tahan melihat perempuan menangis. Dan sekarang pun, ia seperti terjebak lagi di situasi yang sama. Perlahan, tangannya terangkat dan membelai lembut puncak kepala Lyra. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya penuh pertanyaan yang tidak punya jawaban.

Rasanya ingin pergi dan tidak peduli lagi. Tapi rasa sayang yang masih tersisa dalam hati terus berbisik untuk bertahan.

Kringgg…

Kringgg…

Kringgg…

"Udah bel tuh, mendingan lo masuk kelas sekarang," celetuk El sambil perlahan melepaskan pelukan Lyra.

El memang bukan tipe yang bisa tegas apalagi marah saat melihat perempuan menangis. Bukan karena gak punya keberanian, tapi karena hatinya sering kali lebih condong pada rasa gak tega dibanding amarah. Ya, hal itu perlu digaris bawahi El terlalu gampang luluh kalau sudah berhadapan dengan air mata.

"Kamu percaya sama aku, kan, El? Aku beneran...."

"Kita bahas nanti, sekarang masuk kelas dulu." El memotong perkataan Lyra tanpa menatap wajah gadis itu sedikit pun.

Bahkan ketika bukti sudah terpampang jelas di depan matanya, El masih berusaha menyangkal. Sebagian dari dirinya menolak untuk percaya, terutama setelah melihat air mata Lyra yang terus mengalir. Hatinya terombang-ambing, tak tau harus mempercayai siapa Lyra pacarnya, atau Darian sahabatnya sendiri?

"Masuk gih, gue gak bisa nganter. Mau ke toilet dulu beneran kebelet," ujar El sembari mengusap ringan bahu Lyra sebelum akhirnya melangkah pergi dari tempat itu.

Lyra menatap punggung El yang menjauh perlahan, matanya masih berkaca-kaca. Ia mengusap air matanya yang belum sepenuhnya kering, lalu tersenyum miring.

"Gue gak bakal lepasin lo, El. Selama lo masih bisa gue manfaatin, lo tetap jadi ATM berjalan buat gue," gumam Lyra pelan, senyumnya berubah sinis.

Suasana sekolah pun berubah riuh, semua murid bergegas menuju kelas masing-masing, termasuk Alvyna yang baru keluar dari toilet. Gadis itu berniat langsung masuk kelas, tapi langkahnya terhenti saat matanya tak sengaja menangkap sosok laki-laki bertopi yang sedang menyedot rokok di tangan.

Alvyna memicingkan mata, mencoba mengenali siapa. Dan benar saja itu El. Suami dadakannya sendiri.

Melihat El yang santai berjalan menjauh di saat semua murid sudah harus masuk kelas, membuat Alvyna spontan berbalik arah dan mempercepat langkah untuk mengejar cowok itu.

"Mau kemana lo?" tegur Alvyna sambil mencengkeram pergelangan tangan El, membuat langkah cowok itu otomatis terhenti.

El menoleh pelan, sempat terkejut. Ia pikir itu guru atau siapa gitu yang mau nyemprot dirinya lagi karena kedapatan kabur dari pelajaran.

"Ra? Lo ngapain gak masuk kelas?" balas El malah balik bertanya sambil menaikkan sebelah alis.

"Pertanyaan itu harusnya gue yang ajukan! Ngapain lo malah ada di sini? Bukannya arah kelas itu ke sana?" Alvyna bersedekap, menatap El dengan alis terangkat.

Perlu dicatat, ini kali pertama Alvyna peduli dengan urusan pribadi orang lain. Untungnya, ‘orang lain’ ini kebetulan adalah suaminya sendiri.

"Mau ke rooftop lo mau ikut?" tanya El santai, sambil mengisap rokok di tangannya seolah dia bukan murid SMA yang bisa kena hukuman kapan aja.

Sungguh terlalu santai. Seakan dia sedang bersantai di rumah sendiri, bukan di sekolah yang jelas-jelas punya aturan ketat.

"Ke rooftop ngapain? Masuk kelas El Jangan-jangan lo mau bolos lagi ya?" Alvyna mencibir, setengah kesal dan setengah menahan cemas.

"Pusing, pengen refreshing dikit. Kepala gue penuh," jawab El sambil membuang asap rokoknya ke udara.

"Masuk, El! Udah mau mulai pelajaran. Buruan!" sahut Alvyna dengan nada lebih keras, tangannya menarik lengan El agar kembali ke arah kelas.

"Gak bisa! Kepala gue cenat-cenut pengen tidur, bukan belajar," elak El sambil menepis tangan Alvyna.

Otak El benar-benar penuh. Disuruh mikir di kelas sekarang rasanya kayak disuruh menyusun puzzle ribuan keping tanpa gambar panduan. Mustahil!

“Gue laporin ke mama ya kalo bolos terus!" ancam Alvyna sambil kembali menarik tangannya, tapi El tetap bergeming. Cowok itu beneran keras kepala.

Dan seperti sudah bisa ditebak, mereka pun malah sibuk tarik-tarikan di koridor. Serius, pemandangan yang cukup konyol di jam pelajaran.

Namun tiba-tiba, sorot mata El berubah. Ia melirik tajam ke arah ujung koridor, tempat seorang guru paruh baya tengah berjalan mendekat sambil menenteng rotan kecil. Guru itu sepertinya sedang patroli mencari siswa yang belum masuk kelas.

"Anjir! Bisa-bisa lo juga kena masalah nih kalo masih di sini. Buruan minggat dari sini sebelum kita ketahuan!" bisik El cepat, matanya membelalak saat melihat sosok guru itu semakin dekat.

Mendengar itu, refleks Alvyna langsung mengikuti arah pandangan El. Matanya membesar, refleks terkejut, tapi sebelum sempat satu kata pun meluncur dari mulutnya, El sudah lebih dulu bertindak. Dengan cepat, tangannya menutup mulut Alvyna dan menyeret gadis itu masuk ke ruangan perpustakaan yang kebetulan pintunya terbuka sedikit.

Begitu mereka berada di dalam, El menutup pintu perlahan, lalu memojokkan Alvyna ke dinding, tepat di samping jendela kaca. Gorden yang sedikit tersibak membuat mereka bisa mengintip ke luar, memperhatikan sosok guru pria paruh baya yang masih berjalan mondar-mandir di koridor, matanya celingak-celinguk seperti sedang memburu murid nakal.

Tak ada yang bicara. Alvyna dan El sama-sama diam, membeku dalam posisi canggung. Tangan El masih betah berada di depan mulut Alvyna, dan jantung keduanya berpacu cepat. Suara langkah kaki guru itu terasa seperti genderang kematian.

Baru setelah suara langkah itu lenyap dan sosok sang guru hilang dari pandangan, keduanya kompak menghela napas panjang, seolah baru saja lolos dari sergapan polisi.

"Ck, lepasin tangan lo El! Bau rokok banget tau gak!" gerutu Alvyna sambil menepis tangan El dari wajahnya dengan ekspresi jijik.

"Bau nikmat itu, Ra. Lo aja gak ngerti seni," goda El santai, malah mengangkat kembali tangannya mendekat ke wajah Alvyna.

"Jijik ih! Lo tuh sadar gak sih ini sekolah? Bukan tongkrongan lo buat ngerokok sesuka hati!"

El hanya mengangkat bahu, tetap cuek. "Lah, gue sih santai. Yang ribet siapa?"

Alvyna mengerang kesal, memutar bola matanya. "Ini jam pelajaran, El! Harusnya lo di kelas, bukannya berkeliaran sambil ngelakuin hal terlarang begini!"

El tak menanggapi langsung, malah balik menyerang, "Terus lo ngapain di sini? Harusnya juga udah di kelas kan?"

Seketika Alvyna tercekat. Lidahnya seolah menelan kembali kata-kata yang ingin ia lontarkan. Benar juga. Kenapa dia sampai nyasar ke tempat ini? Bahkan secara tidak langsung, sekarang dia juga ikut bolos!

"A-a... awalnya gue cuma mau nyuruh lo balik ke kelas! Tapi malah lo yang nyeret gue kemari!" serangnya, mencoba menyelamatkan harga diri yang tersisa.

"Hmm terus kenapa? Gue bolos kek, tidur kek, itu urusan gue. Gak ada urusannya sama lo, Bu Guru." El menyentil kening Alvyna pelan, membuat gadis itu makin kesal.

Yang menyebalkan, Lyra yang pacar El saja gak pernah sejauh ini peduli dengan kelakuan cowok itu. Tapi Alvyna, yang cuma istri ‘kecelakaan’, malah ribut sendiri urusannya.

"Aduh El! Lo tuh lupa ya kita udah nikah? Kalo sampe mama papa tau kelakuan lo kek gini, siapa yang bakal kena semprot duluan? GUE!" omel Alvyna sambil mengusap kening yang tadi disentil.

Sudut bibir El terangkat membentuk senyum miring. "Baru kali ini lo ngakuin status kita. Akhirnya sadar juga kalo gue suami lo?"

"Ck!" Alvyna hanya mencibir sambil menyilangkan tangan di dada, memalingkan wajah dengan kesal.

"Ayo buruan balik kelas!" desisnya sambil melirik El dengan tatapan tajam. "Buang tuh rokoknya! Gak bisa gitu sehari aja gak ngerokok?"

"Tergantung..." jawab El santai. "Asal lo siap bibir lo jadi gantinya."

Alvyna mematung. Matanya menyipit bingung, keningnya berkerut. "Hah? Maksud lo apa?"

El hanya tersenyum semakin lebar, wajahnya dipenuhi ekspresi jail. "Perlu gue praktekin biar lo ngerti?"

El mendekat. Perlahan, sisa batang rokoknya dia buang ke tempat sampah di sudut ruangan. Lalu tubuhnya condong ke depan, menunduk sejajar dengan Alvyna. Wajah mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Nafas mereka nyaris bertabrakan.

Sett...

Cup...

Tanpa aba-aba, El mengecup bibir Alvyna lagi. Untuk kedua kalinya. Tak lebih dari beberapa detik, namun cukup lama untuk membuat gadis itu membeku di tempat. Sama seperti kejadian pertama, tak ada perlawanan dari Alvyna hanya tubuh kaku dan jantung yang berdetak tak karuan. Suhu wajahnya naik drastis, dan entah kenapa, kakinya terasa lemas.

Setelah itu, El perlahan menjauh, matanya masih menatap wajah Alvyna yang kini merah padam.

"Gue takut khilaf kalo lebih dari ini. Mending kita lanjutin di rumah nanti aja ya?" celetuk El dengan nada menggoda. "Dan sebagai istri yang baik, lo kudu izinin gue bolos hari ini. Setuju kan?"

Alvyna masih terdiam. Mulutnya setengah terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar. El tertawa kecil, gemas, lalu membungkuk sedikit dan mengecup pipi gadis itu sebelum berbalik meninggalkan perpustakaan.

Cup...

Langkah El perlahan menghilang dari pandangan.

Sementara itu, Alvyna masih berdiri di tempat. Matanya mengerjap pelan, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Salah satu tangannya refleks memegang bibir, sementara tangan lainnya menekan dadanya yang berdetak seakan habis dikejar setan.

"Astaga! El sialan! Kalau kayak gini terus, gue bisa kena serangan jantung!" batinnya panik.

"Kenapa juga harus dapet suami yang kelakuannya kayak bocah kekurangan perhatian gini sih?! Tuhan, gue dosa apa sampe dikasih cowok sereceh, senakal, dan senekat ini?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!