“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 19
“Opo iki, yo, omahe?” (Apa ini, ya, rumahnya?) gumam Dasim sambil mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya.
Sepulang dari pasar, pemuda itu nekat pamit dari rumah juragannya, ia bertekad mencari Sulastri. Menempuh perjalanan berkilo-kilo dengan berjalan kaki, sampai akhirnya ia tiba di depan rumah megah bergaya campuran klasik belanda.
Dasim mengintip dari balik tembok, matanya menyusuri dengan awas tiap sudut rumah, berharap menemukan keberadaan Sulastri. Namun, usahanya tertahan saat dua orang centeng berbadan kekar memergokinya.
“Hey, Bajul! Cari apa koe celingak-celinguk di situ?!”
Dasim membeku seketika, wajahnya pucat, badannya gemetaran. “A-anu … itu … saya—”
“Mau maling koe?!” bentak centeng itu.
“T-tidak … s-saya mau mencari Den ayu!” jawab Dasim terbata.
Parli—si centeng menatap penuh selidik, dahinya mengerut dalam. “Di sini tidak ada yang namanya Den Ayu!”
“M-maksud sa—”
“Halah alasan, Bajul sepertimu ini selalu pintar berkilah tiap ketangkap basah!” sergah Parli galak. “Bawa dia, lumayan sekali buat olahraga sore-sore begini.” Parli menyeringai seram.
Dua centeng yang lain pun memiting tubuh Dasim, menyeret paksa ke belakang gardu yang ada di bagian kiri rumah itu.
“T-tung—”
BUGH!
Di waktu yang sama, Sulastri sedang memperhatikan dengan saksama tumpukan tembakau di belakang rumah, tangan lentiknya mengambil beberapa lembar untuk melihat kualitas daunnya.
Belajar dari sedikit pengalaman, wanita ayu itu mencoba membedakan dua tumpukan daun tembakau. Wajahnya tampak serius saat mengunyah satu lembaran kecil tembakau yang disobeknya, sampai suara dalam Petter mengejutkannya.
“Bagaimana rasanya?”
Sulastri tersentak kecil, ia kemudian menunjuk daun yang masih dikunyahnya. “Ini ... rasanya sedikit manis, tidak getir, tapi … ada sedikit rasa pedas.”
Petter tersenyum samar, berjalan mendekat kemudian turut mengambil satu lembar daun. “Apa kau bisa membedakan varietas tembakau apa yang sedang kau cicipi?” tanya Petter, matanya menelisik, penasaran.
Sulastri berpikir sejenak, lalu kembali mengunyah pelan tembakau yang ada di mulutnya. Tangannya mengambil satu lembaran daun utuh, lalu meremasnya kuat.
“Ini daunnya cukup tebal tapi seratnya tidak kaku, aromanya juga cukup khas dan sedikit manis …,”
Sulastri berjalan ke sisi belakang, melepeh daun tembakau di mulutnya. Raut wajahnya kembali serius menelisik tiap bagian daun, membuat Petter semakin penasaran dengan jawaban wanita itu.
“Lalu varietas ap—”
“Virginia jenis voor-oogst,” sela Sulastri cepat. “Tembakau jenis ini banyak di gunakan untuk rajangan, bahan baku rokok terutama sigaret, kalau campurannya pas rasanya bisa sedikit pedas dan khas,” lanjut wanita ayu itu sembari mengambil satu lembar daun tembakau yang bebeda.
Petter mengangguk pelan, senyum tipis terulas dari wajah tampannya. “Ternyata kau cukup pintar juga.”
“Saya sering membantu para pengrajang sambil sesekali bertanya saat tinggal di punjer,” sahut Sulastri pelan.
“Rumah itu ada manfaatnya juga, aku kira …,”
Sulastri melirik tajam, sudut bibirnya bergetar—sinis.
Petter seketika bergidik, matanya menatap sekitar, tangannya bergerak—salah tingkah. ‘Wanita ini kalau melirik menyeramkan juga ternyata,’ batinnya.
Laki-laki itu kemudian mengambil satu lembar daun tembakau yang lebih lebar. “Kalau yang ini?” tanyanya mencoba kembali mencairkan suasana.
Sulastri menoleh ke arah Petter, bibirnya tersungging samar. “Besuki Na-Oogst.”
“Bagaimana kau bisa langsung tau?”
“Terlihat dari daunnya yang hijau tua, dan lagi … varietas itu paling sering di tanam oleh bapak, tapi selalu gagal panen,” jelas Sulastri sembari tertawa sumbang.
Petter menatap datar, sebelah alisnya terangkat tipis. “Jadi bapakmu itu juga petani tembakau?”
“Hanya menanam beberapa kedok kebun peninggalan kakek." Sulastri kembali terdiam, sudut matanya memicing. "Tapi saya sedikit penasaran dengan tembakau kering yang ada di depan, sepertinya itu varietas yang berbeda?”
“Itu tembakau Deli, tembakau terbaik untuk bahan wrapper(pembungkus cerutu) kiriman dari Sumatera bagian timur, kau mau mencobanya?” tawar Petter.
Sulastri mengangguk pelan, mereka kemudian berpindah ke teras depan, tempat tumpukan karung tembakau kering tersimpan.
“Tunggu sebentar,” ujar Petter, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu kembali dengan membawa sebatang cerutu di jarinya.
Petter kemudian menyodorkan cerutu yang belum disulut ke arah Sulastri, membuat wanita itu membelalak seketika.
“Kau bilang mau mencobanya? Tembakau Deli hanya bisa dirasakan saat sudah berbentuk cerutu,” jelas Petter sembari memantikkan korek api.
“Tapi saya belum pernah merokok,” sahut Sulastri.
Petter tergelak, jari telunjuknya mengusap hidung mancungnya pelan. “Cobalah menghisapnya sedikit.”
Sulastri mengerjap singkat, ia mengangkat cerutu di jarinya pelan—sedikit ragu. Namun, tatapan serta senyum tenang Petter seolah mendorongnya untuk tetap mencoba, sembari setengah terpejam Sulastri menghisap cerutu di jarinya, merasakan asap hangat di dalam rongga mulutnya. Wanita itu terbatuk kecil saat mencoba menghisap lebih dalam asap cerutu ke paru-parunya.
“Aku hanya menyuruhmu merasakan, bukan memasukkan ke paru-parumu,” sindir Petter sembari terkekeh kecil.
Laki-laki itu kemudian mengambil cerutu di jari Sulastri. “Aku akan mengajarimu dulu biar kau tau bagaimana cara menikmatinya.”
Sulastri mengerutkan kedua alisnya, matanya memicing heran. “Saya ini seorang wanita, apa pantas jika merokok?” tanyanya polos.
Petter terkekeh seketika. “Kau itu mau jadi tengkulak, Nyonya, bagaimana kau bisa tau kualitas barang jika tidak mencobanya dulu. Tidak hanya tembakau tapi semua komoditas.”
Sulastri mencebik kecil sambil memungut selembar daun kering yang jatuh di lantai. “Tapi kenapa tembakau-tembakau ini dikirim dari Pulau Sumatera? Kenapa tidak menanamnya sendiri?”
Petter membuang sisa putung cerutunya ke halaman, kakinya melangkah pelan, lalu menggeser satu karung goni ke dekat jendela.
“Kondisi tanah dan iklim di Jawa berbeda dengan Sumatera, tembakau Deli sangat bergantung dengan dua hal itu. Tanah aluvial Sumatera bagian timur, lembab porous, kaya akan bahan organik, iklimnya pun basah-kering pola yang pas untuk pembentukan daun,” jelas Petter.
“Itu artinya tembakau ini tidak bisa di tanam di Pulau Jawa?” tanya Sulastri semakin ingin tau.
“Bisa, tapi tidak akan jadi tembakau Deli karena kualitas dan karakternya tidak akan sama.”
Sulastri manggut-manggut pelan, matanya fokus mengikuti tiap kata yang diucapkan Petter.
“Aku sendiri pernah beberapa kali mencoba menanam di sini, tapi hasilnya tetap tidak sesuai. Serat daun, elastisidas dan warnanya jauh dari standar Deli, berakhir merugi,” lanjut Petter.
Sulastri mengernyit tipis, lalu menghirup pelan daun kering di tangannya. “Tapi saya heran, kenapa tembakau yang ditanam bapak selalu gagal? Saya perhatikan, baik pupuk maupun pestisidanya sama dengan yang digunakan di kebun sampean, apa benar karena menanam tembakau itu tangan-tanganan?”(sebutan untuk kecocokan tangan dalam bertani—lebih ke mitos)
Petter tertawa kecil, ia bersandar santai pada pilar teras, satu tangannya terselip di kantong celana.
“Tembakau itu tanaman sensitif, iklim dan cuaca bisa jadi faktor, tapi yang lebih utama pengelolaannya. Kapan masa tanam, kapan waktunya memberi pupuk dan pestisida, begitu pula masa panen, semua harus sesuai dan tepat waktu,” ujarnya sembari berpindah membelakangi Sulastri.
“Itulah alasannya kenapa aku begitu cerewet dengan para petani, aku hanya ingin hasil mereka bagus dan maksimal, tapi bangsamu malah salah paham dan menganggap aku ini Londo kejam,” sindir Petter pelan namun menusuk.
Sulastri menunduk pelan, ada sedikit rasa bersalah bercampur malu di hatinya, karena pernah berpikir sama dengan yang dikatakan Petter. Di tengah obrolan santai itu, tiba-tiba terdengar keributan dari depan gardu.
Petter yang juga mendengar, bertanya pada salah seorang penarik gerobak yang baru saja tiba.
“Ada apa itu rame-rame di depan?”
“Anu, Meneer, ada begajul yang di hajar Kang Parli. Katanya penyusup—maling,” sahut si pekerja.
Petter kemudian berjalan menuju gardu depan, diikuti Sulastri yang mengekor di belakangnya.
Sulastri seketika terbelalak. “Dasim!” pekiknya, ia lekas menghampiri sembari berteriak meminta Parli berhenti menendang tubuh Dasim yang sudah babak-belur— tersungkur di tanah.
“Kau mengenalnya?” tanya Petter penuh selidik.
“Dia Dasim, kusir dokar yang saya ceritakan di kantor Tuan Rudolf tempo hari,” sahut Sulastri.
Sulastri kemudian membantu pemuda itu berdiri dan langsung membawanya masuk ke halaman rumah, meninggalkan Petter yang masih menatap tajam sambil memberi peringatan para centengnya.
“Kau tunggu di sini dulu, Sim. Saya ambilkan air hangat dan batu es,” ujar Sulastri setelah mendudukan Dasim di teras rumah.
Tak berapa lama wanita itu kembali dengan segelas air hangat dan bundelan es di tangan. “Minum dulu.”
Dasim langsung menenggak habis air hangat yang dibawa Sulastri.
“Kenapa bisa sampai seperti ini, Sim?” tanyanya sembari mulai mengompres wajah Dasim yang bonyok.
“Saya sudah bilang sedang mencari Den ayu, tapi mereka mengira saya mau maling, Den,” jelas Dasim.
Sulastri mendengus kecil. “Heh, kenapa tidak menyebut namaku saja?!”
Dasim menunduk sembari meringis kesakitan saat kompresan batu es menyentuh wajahnya.
“Tahan sedikit ini memang sedikit perih,” ujar Sulastri, pelan.
Sulastri yang sedang serius mengobati luka di wajah Dasim, sedikit tersentak saat suara dingin Petter menyahut.
“Apa dia tidak punya tangan untuk mengobati lukanya sendiri?!”
Bersambung.
Likeeee pleaseee likeeeeee biar makin berkobarrr-kobarrr ....🔥🔥🔥