Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Langkah Anna terasa berat, seolah setiap jengkal tanah yang ia pijak berubah menjadi lumpur yang mengisapnya. Aroma parfum Leo masih tertinggal di pakaiannya, memicu mual yang hebat. Ia terus berjalan hingga sampai di sebuah pancuran air umum di pinggir desa. Di sana, Anna membasuh tangannya berkali-kali dengan air dingin, menggosok kulitnya seolah-olah bisa menghapus memori tentang pelukan paksa tadi.
"Aku Anna," bisiknya pada bayangan dirinya di air. "Raya sudah mati. Dia sudah mati tujuh tahun lalu."
Ia harus kuat. Lili membutuhkannya. Jika identitasnya terbongkar, jika masa lalu mengejarnya, ketenangan yang ia bangun dengan darah dan air mata akan hancur.
Setelah mencuci tangan hingga kulitnya memerah, Anna menarik napas dalam-dalam, menelan bulat-bulat semua gejolak di dadanya. Ia tidak boleh tumbuh menjadi lemah sekarang. Masih ada beberapa kotak kue yang harus sampai ke tangan pelanggan. Dengan langkah yang dipaksakan tegak, ia menyelesaikan sisa pesanannya satu demi satu, hingga keranjangnya benar-benar kosong.
Waktu menunjukkan pukul 11:30 siang. Matahari yang tadinya terik tiba-tiba bersembunyi di balik gumpalan awan abu-abu yang tebal. Angin dingin mulai menusuk pori-pori, membawa aroma tanah basah yang menyengat.
"Sebentar lagi hujan turun..." gumamnya cemas sambil menatap langit.
Benar saja, baru separuh jalan menuju sekolah Lili, langit seolah tumpah. Hujan deras mengguyur seketika, membuat pandangan Anna kabur oleh tirai air yang tebal. Ia berlari kecil, menerobos genangan air hingga sampai di gerbang sekolah dengan napas tersengal dan baju yang mulai lembap.
Tak lama, sosok kecil dengan tas ransel kebesaran muncul dari balik pintu kelas. Lili langsung berlari, menerjang hujan menuju perlindungan ibunya.
"Ibu! Lili lapar..." ucap bocah itu pelan sambil memegangi perutnya. Wajahnya sedikit pucat, mungkin karena hawa dingin yang tiba-tiba.
Anna menatap putrinya dengan hati yang teriris. "Sabar ya, Sayang. Hujannya terlalu deras kalau kita jalan sekarang. Kita berteduh dulu di sana, ya? Sambil makan kue sisa jualan Ibu," ucap Anna menunjuk sebuah teras rumah warga yang cukup luas.
Lili mengangguk patuh, tangannya menggenggam erat ujung baju ibunya yang basah.
Begitu sampai di teras, mereka duduk bersila di atas lantai semen yang dingin. Anna dengan penuh semangat membuka penutup kain di keranjangnya, berniat memberikan sepotong kue bolu favorit Lili. Namun, gerakannya tiba-tiba membeku.
Keranjang itu kosong melompong. Hanya ada beberapa remah kecil yang tertinggal di sana.
Anna baru teringat, karena pesanan kuenya tadi sangat banyak, ia tidak menyisakan satu pun untuk dijual eceran atau dibawa pulang. Semuanya sudah ludes.
"Lili... maafkan Ibu, ya," suara Anna bergetar, "Ibu lupa kalau kuenya sudah habis. Semuanya dibeli orang tadi."
Lili menatap keranjang kosong itu sesaat, lalu mendongak menatap ibunya. Bukannya menangis, bocah itu justru tersenyum manis, meski bibirnya sedikit bergetar karena kedinginan.
"Nggak apa-apa, Bu. Lili makannya nanti di rumah aja kalau hujannya sudah reda. Lili masih kuat, kok!" ucapnya berusaha menghibur sang ibu.
Melihat ketegaran putrinya, Anna merasa dadanya sesak luar biasa. Rasa bersalah karena membiarkan Lili kelaparan bercampur dengan ketakutan akan kondisi fisik Lili yang rentan jika kedinginan terlalu lama. Ia tahu, menunggu hujan reda bisa memakan waktu berjam-jam, sementara tubuh Lili butuh segera diistirahatkan.
Anna melihat sekeliling, matanya tertuju pada selembar plastik besar berwarna merah yang tadi ia gunakan untuk membungkus keranjang dagangannya.
"Lili, sini dekat Ibu," panggil Anna.
Ia membentangkan plastik merah itu, lalu membungkus tubuh kecil Lili dengan hati-hati, memastikan hanya wajahnya yang menyembul keluar agar tidak sesak. Plastik itu menjadi jubah darurat yang melindungi Lili dari terpaan angin dan air.
"Pegangan yang kuat di leher Ibu, ya?"
Anna menggendong Lili di punggungnya. Keranjang kosong ia kaitkan di lengan, dan dengan sisa tenaga yang ada, ia menerobos hujan yang kian menggila. Di bawah guyuran air langit, Anna berjalan cepat menuju rumah mereka yang sederhana, memeluk erat "harta" satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.
Di punggung ibunya, Lili berbisik pelan, "Ibu, nanti kalau Lili sudah besar, Lili mau belikan Ibu payung yang sangat besar supaya Ibu nggak basah lagi."
Anna hanya bisa tersenyum getir di tengah deru hujan. Baginya, asalkan Lili tetap bernapas dan berada di pelukannya, badai apa pun akan ia terjang.
* * *
Leo berdiri mematung di balkon, membiarkan uap air hujan membasahi wajahnya. Matanya menatap kosong ke arah jalan setapak tempat Anna menghilang tadi.
Ucapan Kevin tentang kematian Raya ada benarnya. Secara logika, tidak mungkin seseorang bisa selamat setelah hanyut di sungai dengan arus sederas itu tujuh tahun lalu. Namun, melihat wajah perempuan tadi, mendengar getaran suaranya, dan merasakan penolakan yang dingin itu, membuat Leo gelisah setengah mati.
Leo berbalik, menatap Kevin yang sedang asyik dengan ponselnya di sofa. "Gadis bernama Anna itu... di mana dia tinggal?" tanya Leo pelan.
Kevin menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di atas meja. "Apa yang mau kau lakukan, Leo? Berhenti mengganggu orang. Meskipun wajah mereka mirip, Anna tetaplah Anna. Dia bukan hantu dari masa lalumu," ucap Kevin dengan nada datar, mencoba tetap rasional.
"Aku hanya ingin tahu di mana dia tinggal, Kevin. Hanya ingin memastikan. Jika aku melihatnya sekali lagi, mungkin kegilaan di kepalaku ini bisa tenang," balas Leo, jemarinya mencengkeram pagar balkon hingga memutih.
Kevin bangkit berdiri, menghampiri sahabatnya itu. Ia menepuk bahu Leo dengan keras, mencoba menyadarkannya. "Aku tahu mentalmu sedang kacau karena rasa bersalah yang kau pendam bertahun-tahun. Tapi tolong, pakai logikamu. Raya sudah tiada. Berhentilah bicara omong kosong dan mulailah belajar mengikhlaskan dia. Jangan sampai obsesimu ini malah menyakiti orang yang tidak bersalah."
Leo terdiam. Ia memejamkan mata, namun yang muncul justru bayangan tatapan dingin Anna tadi. Tatapan itu bukan tatapan orang asing. Ada luka yang sangat dalam di sana, luka yang rasanya ia kenal betul siapa pelakunya.
"Tatapan matanya..." bisik Leo lirih. "Dia menatapku seolah aku adalah monster."
"Memang begitu, kan?" potong Kevin telak. "Kau tiba-tiba memeluknya seperti orang gila. Siapa pun akan menatapmu seperti itu."