NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Bab 19

Malam harinya, Aryo bersama Gaston menuju lokasi yang disebut Heaven Club.

“Ini tempatnya?” tanya Aryo, menatap gedung megah berlantai lima itu. Lampu-lampu neon memantul di kaca, memberi kesan eksklusif dan sedikit menakutkan.

“Ya, ini tempatnya. Eksklusif, bang. Tidak sembarangan orang bisa masuk ke sini,” jawab Gaston sambil menoleh ke gedung.

“Hmm, kita jelas bukan orang sembarangan,” Aryo menyahut, menyelipkan senyum tipis.

“Setuju,” kata Gaston, menyusul Aryo masuk ke lobby.

Di pintu masuk, mereka disambut oleh seorang wanita berparas menawan. “Selamat datang di Heaven Club,” sapanya ramah.

Aryo dan Gaston tak memedulikannya. Lobby penuh dengan orang-orang yang sedang bermain arcade game, musik berdentum dari atas speaker. Aryo memperhatikan tangga menuju lantai atas.

“Info terakhir, Roxil biasanya ada di lantai lima. Lantai sauna,” kata Gaston, mengamati sekeliling.

Mereka menaiki tangga ke lantai dua, kemudian ke lantai tiga. Namun di atas anak tangga lantai tiga, mereka dicegat oleh penjaga.

“Tunjukkan VIP-nya,” perintah penjaga dengan nada tegas.

“VIP? Ke sini perlu VIP? Kau tidak kenal kami?” Gaston menjawab dengan nada menantang.

Orang itu mengernyit, menatap mereka curiga. “Aku baru lihat kalian di sini.”

“Ah, rupanya kau amnesia. Baiklah, ini kartu VIP,” kata Aryo sambil menunjukkan kepalan tangan. Sekejap, Aryo menyerang. Penjaga itu langsung tersungkur. Penjaga lain segera mendekat, namun Aryo dan Gaston dengan mudah melumpuhkan mereka. Mereka melucuti pistol para penjaga dan memukul titik-titik lemah tubuh mereka sampai tak berdaya.

Mereka terus bergerak ke lantai empat. Di sana, tantangan serupa muncul—lebih banyak penjaga dan dimintai kartu VIP. Aryo dan Gaston tak ragu. Gaston melancarkan tendangan maut dengan berlari di dinding, sementara Aryo merebut senjata dan menyimpannya di balik jas.

Sejak lantai tiga, logo Nagajaya sudah terlihat jelas di karpet. Aryo menatap sekeliling, menyadari bahwa gedung ini milik mafia Nagajaya.

Saat mereka sampai di lantai lima, sekitar tiga puluh penjaga menghadang. Lantai itu penuh bilik sauna, aroma uap dan kayu memenuhi udara. Para penjaga mengacungkan pisau lipat mereka, siap menyerang.

Aryo mengamati situasi. Dia merencanakan serangan dari sisi kanan, namun sebelum ia bergerak, tembakan terdengar—Gaston menembaki mereka.

“Gaston!” Aryo berseru.

“Biar cepat, bang,” jawab Gaston singkat.

Gaston mencoba memberikan satu pistol kepada Aryo, tapi ditolak. “Aku tidak butuh pistol,” Aryo menegaskan.

“Percayalah, Bang. Kau akan membutuhkannya,” Gaston bersikeras.

Aryo meluncurkan serangan, merebut pisau para penjaga dan menyimpannya di balik jas. Mereka menembus bilik sauna besar, namun sudah menghadapi pria-pria berbadan besar hanya memakai handuk, membawa pisau dan pedang samurai.

Roxil, target mereka, sedang berendam di kolam air panas bersama tiga perempuan tanpa busana. Ia tampak santai, bahkan menikmati hiburan yang ada di sekelilingnya. “Tak kusangka aku mendapat kehormatan dikunjungi Aryo sendiri,” katanya sambil tepuk tangan.

Roxil memerintahkan anak buahnya menyerang Aryo dan Gaston, sementara perempuan yang bersamanya terus mengikuti kemauannya.

Aryo melempar beberapa pisau, menancap di tempat duduk Roxil, lalu merebut pedang samurai untuk menebas tangan dan kaki para penjaga. Gaston menembaki mereka dengan senapan. Mayat-mayat berjatuhan ke dalam kolam, yang kini berubah menjadi merah karena darah.

Tiga perempuan ketakutan, mencoba melarikan diri, namun peluru Gaston melukai mereka tanpa sengaja.

Aryo menodongkan samurai ke muka Roxil.

“Kau Roxil?” tanya Aryo dengan tegas.

“Tebakan tepat. Apa yang membawa Aryo ke sini? Aku penasaran,” jawab Roxil sambil menekan tombol bantuan diam-diam, memanggil anak buah tambahan dari lantai bawah.

Gaston menyiagakan senapannya di pintu bilik, mendengar langkah kaki mendekat.

“Aryo, kita kedatangan tamu,” kata Gaston.

“Atasi, Ton. Aku ada urusan dengan orang ini,” Aryo perintah singkat.

Roxil, sekarang bangkit dari kolam, menutupi kemaluannya dengan handuk berdarah dan duduk. “Apa yang ingin kau ketahui?” tanyanya.

“Keluarga Zola. Apakah mereka yang menyewamu untuk menghabisiku?” Aryo menuntut jawaban.

“Keluarga konglomerat itu? Tidak ada hubungannya! Roxil Nagajaya bertindak sendiri,” jawab Roxil tegas.

“Ada masalah apa denganku?” Aryo mendesak.

“Tidak ada. Aku hanya ingin bersenang-senang,” jawab Roxil.

“Tidak bisa dipercaya!” Aryo melempar pisau, tepat di bawah selangkangan Roxil.

Roxil terkejut, tapi tetap mencoba tenang. Anak buah tambahan mulai muncul, namun Gaston segera menembaki mereka.

“Sekarang kau sendirian,” kata Aryo.

“Ya, aku bisa lihat,” jawab Roxil, nada takut terdengar jelas.

Gaston menatap Roxil yang penuh darah, melepaskan senapannya dan maju untuk menyerang langsung. “Jawab Aryo dengan benar!”

Pertarungan sengit terjadi. Setelah beberapa jurus, Roxil jatuh ke tanah, ketakutan. Aryo dan Gaston mengancamnya secara fisik, memastikan ia jujur.

“Siapa yang menyuruhmu?” Aryo menuntut dengan suara berat, matanya menatap lurus ke Roxil, menandakan bahwa tidak ada tempat bagi kebohongan. Tubuh Roxil gemetar hebat, napasnya tersengal, dan keringat dingin membasahi dahinya.

Awalnya Roxil mencoba mengelak, menunduk, seolah-olah menenangkan diri, tapi tatapan Aryo yang tajam membuatnya tak bisa berkata-kata. Detik-detik terasa seperti jam yang lambat. Akhirnya, suaranya pecah, gemetar hampir menangis.

“Baik! Baik! Keluarga Zola… mereka… menyewa Nagajaya… untuk mengganggu kalian. Khususnya… khususnya Aryo!” Roxil mengaku, suaranya serak dan hampir tak terdengar di tengah riuh darah dan aroma uap sauna yang bercampur dengan ketegangan.

Aryo mencondongkan tubuh sedikit, matanya menajam, menunggu penjelasan lebih jauh. “Kenapa begitu?” tanyanya singkat, tegas, tapi nada suaranya menyimpan rasa ingin tahu sekaligus amarah yang terkontrol.

Roxil menunduk, hampir menangis. “Mereka ingin… membalas dendam atas kematian putra mahkota, Jerry Zola… mereka… mereka pikir Aryo yang membunuhnya.”

Aryo menghela napas panjang, menahan emosi. “Aku bukan yang membunuhnya,” tegasnya, matanya tetap fokus pada Roxil, tapi hatinya juga menekan rasa frustrasi. “Kau dengar baik-baik, Roxil. Ini fakta.”

Roxil menatap Aryo dengan mata melebar, ketakutan dan bingung. “Katakan… katakan pada mereka… bukan Aryo yang membunuh Jerry Zola!” suaranya bergetar.

Aryo menatap Roxil dalam-dalam, menundukkan sedikit pedangnya agar ujungnya berhenti tepat di atas lantai. “Dengarkan baik-baik. Kau bilang kepada mereka: jika mereka masih macam-macam, jika mereka mencoba lagi mengganggu kami… Keluarga Zola hanya akan tinggal nama. Tidak ada ampun.” Nada Aryo tegas, dingin, dan penuh ancaman, namun setiap kata diucapkan dengan kendali yang sempurna.

Gaston melepaskan cengkeramannya dari Roxil, menatap Aryo dengan kagum. Dalam hatinya, ia tersenyum tipis, menyadari bahwa komandannya, yang dulunya hilang arah, kini telah kembali—bengis, disiplin, dan tanpa ampun. “Kau kembali, Bang. Komandan yang sesungguhnya,” bisik Gaston dalam hati.

Aryo menarik napas dalam, menenangkan Roxil yang masih ketakutan, kemudian mereka berdua bergerak menuju lift. Suasana mencekam seketika berubah menjadi penuh kewaspadaan saat lift menuruni lantai. Tubuh Aryo tegang, matanya terus mengamati setiap pergerakan dari kamera pengawas di gedung.

“Aku akan pantau mereka, Bang. Nagajaya bosnya bukan hanya Roxil. Harus hati-hati,” kata Gaston, menatap Aryo serius, memegang senapannya erat.

Aryo mengepalkan tangan, menatap gelap malam Kota J yang terlihat melalui jendela lift. Roxil hanyalah bos kecil. Bos-bos di atasnya pasti tidak senang dengan apa yang baru terjadi. Balas dendam pasti datang, itu hanyalah soal waktu. Dalam benaknya, strategi untuk menghadapi kemungkinan serangan berikutnya mulai tersusun.

“Kalau begitu… kita habisi mereka sekalian,” ujar Aryo pelan, matanya tajam, dan tubuhnya mengeluarkan aura ancaman yang membuat siapa pun yang melihatnya takut.

“Kita berdua, Bang?” tanya Gaston, setengah tersenyum namun siap menghadapi apa pun.

Aryo mengangguk pelan, wajahnya serius, tegang, namun penuh kendali—persis seperti dirinya dulu, saat masih aktif di tim elit militer. Tidak ada ruang untuk ragu.

Mereka berpisah di luar gedung. Aryo berjalan menuju mobilnya yang diparkir di pinggir jalan, menahan napas, menyesuaikan diri dengan dingin malam Kota J. Suasana tenang itu hanya tipuan; di pikirannya, setiap detik mungkin bisa menjadi awal serangan berikutnya.

Gaston berdiri di sisi jalan, menatap Aryo dengan penuh kekaguman. “Sang Dewa Pembunuh telah kembali,” bisiknya pelan, matanya berbinar, hampir seakan menghormati aura mematikan yang terpancar dari Aryo.

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!