"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Kisah Kita di Sekolah
Tahun pertama di SMA ....
"Eh, kalian gimana?" tanya Talia saat kami meletakkan kotak makan di meja dan duduk.
Aku melirik ke arah Ernest, yang sedang mengobrol serius dengan Krisna tentang perlombaan hari jadi kota kami, mereka fokus ke pertandingan Sepak Bola. Pikirannya hanya fokus mengalahkan rival abadi kami, yaitu SMA Seven Hills.
"Tadi malam aku cek semua heroes," kata Talia sambil membuka soda dan menyesapnya sedikit.
"Terus kamu pilih yang mana?"
Dia mengangkat bahu. "Aku pingin banget bawain ‘Prison School’, tapi kalau sampai dikeluarkan dari sekolah, gagal juga rencanaku buat kabur dari kota ini."
Talia memang sudah lama ingin pergi dari Palomino, sejak pertama kali aku mengenalnya. Nilainya bagus, dia ketua OSIS, dan juga anggota tim sepak bola putri. Masa depannya sudah tergambar cerah. Tapi kalau membayangkan dia pergi, rasanya sedih. Soalnya aku justru cinta banget sama kota kecil ini dan semua orang di dalamnya.
"Kalau enggak, ‘One Piece’ juga boleh, sih!" Dia tertawa, dan aku senang sekali mendengarnya. Tawanya itu ajaib, bisa menular ke siapa pun di sekitarnya. Makanya dia bisa jadi ketua kelas.
"Kamu bisa aja pakai ‘Naruto’. Kayaknya aman, enggak terlalu seksi, ya, kan?" Aku mengunyah kentang goreng sambil menyandarkan badan dan sedikit melirik Ernest yang sedang mencoret-coret strategi di buku catatan untuk Krisna dan anak-anak tim yang berkumpul di sekelilingnya.
"Iya juga sih. Seenggaknya aku enggak harus pakai setelan yang terlalu terbuka," kata Talia sambil menyikutku. "Eh, Ernest bilang apa soal ini?"
"Dia sih cuek banget sama dancenya. Tadi malam aku tanya, tapi yang dia bahas malah gimana caranya supaya timnya bisa menang."
"Kasih dia waktu lah. Tekanannya berat banget. Kakaknya aja dapet beasiswa ke universitas top tahun lalu."
Talia benar. Kakaknya Ernest, Ansaldo, mendapat beasiswa ke University of Melbourne tahun lalu. Satu kota merayakan kepergiannya, berharap dia kembali sebagai pemain bola International. Sekarang, Ernest menggantikan posisi Ansaldo sebagai Center Back utama, padahal dia baru kelas satu. Tapi ya begitu, dia merasa harus meneruskan prestasi kakaknya.
"Aku cuma pingin dia bisa bagi waktu," kataku sambil memandangi Ernest yang sedang sibuk memimpin anak-anak timnya. Semua mendengarkan dia berbicara, seakan mereka sedang mendengarkan Ansaldo.
Talia menyikutku lagi. Kita sudah sahabatan sejak lama, dia tahu betul kapan aku perlu diingatkan agar enggak tenggelam dalam pikiran sendiri. "Ngomong dong, kamu pingin jadi siapa?"
Aku duduk lebih tegak, bersemangat menceritakan ideku. Cuma Talia yang pasti mengerti kenapa aku pilih tokoh ini di perlombaan Costplay Dancer.
"Sakura," bisikku, takut ideku dicuri orang. Talia menatapku kosong. "Naruto," imbuhku menjelaskan.
Dia mengangguk, lalu senyum merekah di wajahnya. Aku tahu dia pasti paham.
"Ini cuma alasan kamu buat bisa ngecat rambut jadi pink, kan?"
Aku mengangguk lagi.
"Mamamu enggak bakal ngizinin, Lavinia!"
"Bilang aja buat peran. Kan, kata dia, kalau kita mau ngelakuin sesuatu, ya lakuin yang terbaik." Aku tersenyum bangga sambil mengunyah kentang.
"Dia bakal ngurung kamu di kamar," kata Talia.
Dan dia benar. Mamaku tuh super protektif. Sudah sebulan ini aku lobi supaya boleh beli cat rambut pink. Tapi jawabannya selalu, “Enggak!”
"Hey." Ernest mencium pipiku sambil melempar tas ke atas meja. "Ngobrolin apa, nih?" Dia mengambil kentangku dan langsung mengunyahnya.
Tatapan matanya yang lembut dan senyum jahilnya selalu berhasil bikin hatiku ribut, padahal kami sudah pacaran hampir setahun.
"Kamu bakal jadi Sasuke," kata Talia sambil tertawa.
"Sasuke?" tanya Ernest, bingung.
Krisna datang, meletakkan tas, lalu bersandar ke meja. "Kalau kamu bakal jadi siapa, Nenek Ciyo?" tanyanya ke Talia.
"Urus aja hidupmu sendiri," ketus Talia.
Mereka berdua memang sudah musuhan sejak zaman purba.
"Dengar-dengar kamu bakal datang sama Rio?"
Talia tersenyum dan mengangguk. Rio itu wakil ketua OSIS. Anaknya baik, sih, tapi menurutku kurang cocok buat Talia. Dia terlalu nurut.
"Iya, benar. Aku sama dia. Aku juga dengar kalau kamu sama Kinan?"
"Yup," jawab Krisna sambil mengambil kentang dari piring Talia. Talia langsung menyipitkan mata, kesal.
"Ernest, kamu seharusnya cari teman yang lebih waras," kata Talia sambil menggeser kotak makannya menjauh. Tapi kami semua tahu, Krisna pasti akan mecomotnya lagi sebelum pergi.
"Kita bakal jadi apa, nih?" tanya Ernest padaku. Ia duduk menyamping agar bisa lebih dekat, tangannya menyusur lembut di punggungku.
"Udah aku bilang, kan, kamu itu Sasuke," kata Talia sambil tertawa keras.
"Apa sih maksudnya, Lavinia?" tanya Ernest, sambil mengambil nuggetku dan langsung menelannya.
"Jadi, aku kepikiran kita bisa cosplay jadi karakter dari Naruto," jawabku santai.
"Bukannya itu Anime? Tema Dancenya, kan, kenegaraan?" tanya Krisna.
"Gila, pantes aja kalau orang bilang kamu cuma ngandelin otot doang," dengus Talia memutar matanya. "Aslinya itu juga nyeritain negara, Krisna. Negara Konoha, sama ribetnya kayak negaramu ini!"
"Terima kasih banget buat info yang enggak penting," sahut Krisna dengan nada menyebalkan.
"Kamu seharusnya baca buku, jangan cuma bola mulu," balas Talia.
Ernest merangkul pinggangku dan menarikku makin dekat.
Aku senang karena dia enggak malu menunjukkan perasaannya di depan umum. Meskipun orang-orang di keluarga kami mengira hubungan ini cuma sekedar cinta-cintaan anak SMA, buatku, perasaanku ke Ernest benar-benar nyata.
"Apa sih yang mereka omongin?" bisiknya sambil mencium pelan di dekat telingaku.
"Hiih, kalau kamu terusin, kita bisa dihukum karena ketahuan pacaran di sini," ujarku sambil menyeringai, meski dalam hati agak waswas juga.
Dia malah tertawa. "Mereka enggak bakal menghukum pemain inti."
Sialnya, dia benar.
"Aku pingin jadi Sakura."
"Sakura? Sakura itu siapa, sih?" tanya Ernest sambil mengambil kotak makanku. Ya, biasanya dia juga menghabiskan separuh porsiku.
"Dia karakter di Naruto," jawabku santai.
"Oh, kenapa enggak Hinata aja?"
Aku agak kaget karena dia ingat. Dulu waktu nonton bareng, kupikir dia cuma sibuk mengelus-elus pahaku yang ada di bawah selimut. Tapi ternyata dia bisa multitasking juga.
"Aku enggak suka dia."
Dia mengunyah nugget ayamku seperti belum makan dari pagi, padahal makanannya sudah habis.
"Sakura itu yang rambutnya pink, kan?"
Aku mengangguk, dia juga ikut mengangguk.
"Lavinia, kita itu Naruto dan Hinata, bukan Sakura sama ... Sama siapa ya? "
"Sama Sasuke!"
"Yah, itulah pokoknya. Tapi kalau kamu jadi Hinata, kamu bisa poni rambut hitammu itu."
Dia menaik-naikkan alis sambil senyum nakal.
Aku hanya memutar mata. "Tapi kalau gitu, aku enggak bisa ngecat rambut, dong?"
Ernest tahu betul aku ingin banget mengecat rambut. Soalnya beberapa cewek di sekolah sudah mencobanya, dan kelihatan keren. Tapi aku harus bleaching dulu, dan Mama jelas anti banget sama ide itu.
"Aku suka, sih, dan itu bakal bikin Mama kamu makin kesel," katanya. Dan dia benar banget.
Mama memang enggak suka aku pacaran sama Ernest. Tiap hari dia mengomel, bilang kami masih kecil, cinta monyet doang, dan buang-buang waktu saja. Tapi aku yakin hubungan ini beda.
"Jadi ... boleh dong?" cengirku penuh harap.
Ernest melirik ke arah Krisna, yang entah bagaimana sudah merebut kotak makan siang Talia.
"Boleh banget, kok Sayang!!!" celetuk Krisna. Aku angkat tangan, menyuruh dia diam.
Ernest menatapku lagi. Aku menggigit bibir, kasih dia tatapan memohon.
Dia menghela napas. "Oke deh."
Aku langsung melompat ke lehernya dan mencium wajahnya. "Makasih! Makasih! Makasih!"
"Kamu utang sama aku," bisiknya di telingaku.
"Nyonya Lavinia ... Tuan Ernest ... PISAAAAHHH!"
Pak guru tiba-tiba muncul di ujung meja. Kami pun langsung mundur dan minta maaf.
Bel pun berbunyi. Ernest bawa kotak makanku, Krisna ambil punya Talia. Aku ada di kelas IPA bersama Krisna, sedangkan Ernest ke Matematika.
Di koridor dekat loker, Ernest celingukan ke kanan-kiri. "Sampai ketemu lagi, Sakura."
Lalu dia mencuri ciuman denganku, sampai lidahnya masuk. Setelah itu dia berkedip-kedip, jalan santai di koridor, dan langsung dikerubungi murid yang ngefans sama si bintang sepak bola.
Aku peluk buku di dada dan tarik napas.
Dia itu milikku.
"Kamu benaran bisa pegang dia sampai ke bola-bolanya, ya?" kata Krisna santai di sebelahku.
Aku dorong pintu kantin dan jalan bareng dia ke kelas IPA. "Namanya juga cinta. Kamu harus coba!"
Dia cekikikan sampai semua orang memperhatikan. "Kalian tuh hidup di dunia halu."
Krisna memang salah satu dari banyak orang yang yakin hubungan kami enggak bakal tahan lama. Tapi aku yakin banget, kami akan buktikan kalau mereka semua salah.
Kami bukan pasangan biasa, dan semua bakal lihat saat reuni SMA sepuluh tahun nanti. Saat aku dan Ernest sudah punya rumah, anak-anak, dan masih saling jatuh cinta seperti sekarang.
Atau ... mungkin ... aku yang salah.
lanjut kak