NovelToon NovelToon
JAGAT ROBOHERO INDONESIA

JAGAT ROBOHERO INDONESIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Balas Dendam
Popularitas:432
Nilai: 5
Nama Author: morro games

Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.

Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.

Tapi malam itu, dia melawan.

Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.

Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

rutinitas

Parkiran kampus sudah mulai ramai ketika Jagat sampai. Udara siang itu bercampur bau knalpot motor tua dan aroma gorengan dari kantin belakang. Jagat mendorong motor tuanya pelan, memasang kunci pengaman, lalu meraih tas ransel. Dari jauh terdengar suara khas yang sudah familiar.

“Gat! Sini dulu, Gat!”

Bimo, sahabatnya yang badannya agak tambun, melambai lebar sambil menenteng plastik kresek. Senyumnya lebar, matanya berbinar.

Jagat mengangkat alis. “Bawa apa, Mo? Kok kayak habis belanja sebulan.”

Bimo mendekat, membuka kresek dengan bangga. “Harta karun dari ibuku, bro. Jengkol goreng! Spesial buat kita makan bareng.”

Jagat menahan tawa. “Jengkol? Serius kamu? Ini kampus, bukan warung pecel lele.”

“Ah, kamu nggak tahu nikmatnya. Nih, coba dulu. Ibuku goreng kering, rasanya kayak keripik. Dijamin nggak bau.” Bimo nyodorin sebungkus kecil.

Jagat akhirnya menerima, menggigit sedikit. Renyah, asin gurih, dengan aroma khas yang langsung menusuk hidung. Ia terbatuk kecil. “Edan, Mo. Kalau bau satu kelas tahu.”

“Biarin! Yang penting enak.” Bimo ngakak puas.

Mereka berjalan bareng menuju gedung fakultas. Di tikungan, seorang sosok jangkung menyusul. Ardi, yang terkenal santai dan sering pakai jaket lusuh, menepuk bahu Jagat.

“Eh, rombongan jengkol lewat! Woi, kasih gue juga.”

Bimo langsung nyodorin. “Nih, tapi jangan banyak-banyak. Ini buat acara sakral di kantin nanti.”

Ardi tertawa. “Acara sakral apaan? Kayak mau pengajian aja.”

Mereka bertiga melangkah sambil ngobrol ngalor-ngidul, bahas dosen killer yang hobi kasih tugas mendadak, sampai rencana praktikum minggu depan. Jagat, meski ikut tertawa, pikirannya sesekali melayang ke hal lain—Nova yang diam di telinga, dan Celine yang terus melaporkan analisa situasi sekitar. Tapi ia berusaha menampilkan wajah biasa.

Kantin kampus riuh seperti biasa. Suara sendok garpu, obrolan mahasiswa, musik dari speaker tua. Jagat, Bimo, dan Ardi duduk di meja kosong, memesan es teh.

Tak lama, Satria datang. Rambutnya rapi, gaya sedikit necis. “Weh, lengkap nih pasukan.” Ia menepuk meja, duduk dengan gaya sok cool.

Yudha menyusul, dengan kemeja kusut dan ransel besar. “Sorry telat, tadi kepergok dosen. Untung nggak disuruh presentasi mendadak.”

Rani datang terakhir, membawa minuman sendiri. “Aku kira kalian udah berangkat kelas. Ternyata nongkrong di sini.”

Akhirnya genaplah mereka berenam. Obrolan langsung pecah. Bimo buka bungkus jengkol, semua berebut.

“Serius, Mo. Ini baunya bisa bikin satu fakultas pingsan,” kata Rani sambil menutup hidung.

“Tapi enak, Ran. Coba deh.” Satria sudah gigit satu, mengunyah dengan puas.

Jagat tertawa kecil, merasa suasana ini seperti oase setelah hari-hari penuh rahasia dan ancaman.

Lalu topik beralih ke berita kampus. Ada layar TV kecil di pojokan kantin yang menayangkan berita lokal.

“Insiden misterius di pelabuhan lama, semalam. Terjadi kontak senjata antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata tak dikenal…”

Obrolan langsung berhenti sebentar. Mata-mata sahabat Jagat melirik ke layar.

“Eh, bukannya itu deket sama rumahmu, Gat?” Ardi nyeletuk.

Jagat terdiam sepersekian detik. Senyumnya tipis. “Aku juga baru dengar. Palingan bentrok preman lagi. Namanya juga pelabuhan.”

Satria mengangguk. “Ya bisa jadi. Tapi kok ada unit TNI juga ya? Pasti gede kasusnya.”

Jagat hanya mengangkat bahu, mencoba terlihat tidak peduli. Padahal di dalam, Nova sudah menyalakan peringatan kecil: “Jagat, jangan sampai ekspresimu bocor. Mereka tidak boleh tahu.”

Tiba-tiba bayangan seseorang menghampiri meja mereka. Seorang cewek, tinggi semampai, rambut hitam panjang tergerai. Wajahnya cantik dengan mata tajam, mengenakan seragam mahasiswa baru yang rapi.

“Permisi,” katanya dengan suara lembut namun tegas. “Apakah boleh saya duduk di sini? Semua meja lain penuh.”

Bimo hampir menyemburkan minumannya. “Eh… silakan, silakan!” Ia langsung geser kursi.

Cewek itu duduk dengan anggun. “Perkenalkan, nama saya Li Meiyun. Saya mahasiswa pertukaran dari Cina. Baru seminggu di sini. Senang bisa kenal kalian.”

Sahabat cowok Jagat langsung terperangah. Ardi berbisik ke Satria, “Bro, ini kayak drama Korea, tiba-tiba ada transfer student cakep nongol.”

Jagat tersenyum sopan. “Saya Jagat, ini Bimo, Ardi, Satria, Yudha, dan Rani. Selamat datang di kampus kami.”

Meiyun tersenyum balik, menatap Jagat sedikit lebih lama. “Kamu… Jagat, ya? Menarik sekali namamu. Apa kamu anak Profesor Baskara?”

Jagat menahan napas sepersekian detik. Sahabat-sahabatnya langsung menoleh.

“Eh, Gat, serius? Kamu anak profesor terkenal itu?” Yudha nyengir lebar.

Jagat buru-buru menggeleng. “Banyak Baskara di negeri ini. Jangan salah orang.”

Tapi Meiyun tidak berhenti. “Profesor Baskara terkenal dengan penelitiannya di bidang teknologi. Aku sempat baca makalahnya. Sangat… revolusioner.”

Bimo, mencoba mencairkan suasana, nyeletuk: “Waduh, Gat. Baru juga kenal udah ditanya soal keluarga. Jangan-jangan kamu calon menantu Profesor Baskara, Yun.”

Semua tertawa. Rani mendengus, menatap Meiyun dengan tatapan kurang suka.

Ardi menimpali, “Gat, jackpot bener. Baru kenalan, langsung jadi pusat perhatian cewek cantik. Giliran kita? Paling cuma jadi tukang bayarin minum.”

Suasana ramai, penuh canda. Jagat menanggapi dengan senyum tenang.

Peringatan Nova

Di dalam kepalanya, Nova berbicara dengan suara datar:

“Jagat, hati-hati. Gadis ini tidak sepenuhnya jujur. Sinyal lemah terdeteksi dari gelang di tangannya. Frekuensi mirip alat komunikasi terenkripsi milik MSS.”

Celine menambahkan, suaranya lebih tegas: “Analisa wajahnya cocok dengan database intelijen. Nama asli kemungkinan berbeda. Dia bukan sekadar mahasiswa pertukaran.”

Jagat meneguk minuman, berusaha tetap terlihat santai. “Terima kasih, Nova. Aku akan hati-hati.”

Jagat lalu menatap Meiyun dengan senyum tipis. Dari luar ia tampak ramah, tapi di balik matanya, ia sudah bersiap.

Kalau benar kau agen, mari kita lihat siapa yang lebih dulu membuka kedok.

Suasana kantin tetap riuh. Sahabat-sahabatnya sibuk bercanda soal jengkol dan cewek baru. Tapi hanya Jagat yang tahu: percakapan sederhana ini mungkin awal dari badai besar.

Rapat negsra

Gedung Putih Nusantara, ruang rapat kepresidenan. Lampu kristal menggantung megah, namun suasananya sama sekali tidak teduh. Para pejabat tinggi negeri sudah duduk di kursi masing-masing, wajah-wajah serius menandai pentingnya agenda malam itu.

Presiden Bowo Subianto duduk di kursi utama. Tubuhnya tegak, kedua tangannya bertaut di atas meja. Di sampingnya, Menteri Pertahanan Jenderal (Purn.) Wiratmaja, Kepala BIN Suryo Wibisono, Panglima TNI Jenderal Arif Santosa, Kapolri Komjen Rendra Mahardika, dan Menteri Luar Negeri Ratih Suryaningrum sudah siap dengan berkas laporan.

Suasana hening, hingga Kepala BIN mengawali laporan.

“Pak Presiden, sesuai instruksi, Tim Angsa melaporkan hasil operasi di dermaga dua malam lalu. Target operasi awalnya adalah pengintaian terhadap aktivitas organisasi Bara Hitam. Namun di lapangan, kami menemukan kehadiran agen asing—CIA dari Amerika dan MSS dari Cina. Mereka terlibat negosiasi dengan Bara Hitam untuk menarik Jagat Baskara, putra mendiang Profesor Baskara.”

Ruangan bergemuruh pelan. Nama itu, Jagat Baskara, lagi-lagi jadi pusat perhatian.

Kapolri mengangguk tegas, menambahkan,

“Unit Brimob bersama unsur TNI berhasil menghalau kontak senjata. Tidak ada korban sipil. Namun indikasi jelas, target mereka memang Jagat. Sinyal komunikasi mereka menyebut nama sandi ‘Subject Baskara’.”

Presiden mengetukkan jarinya di meja, suaranya berat.

“Artinya, bukan hanya Bara Hitam yang kita hadapi. Tapi juga kekuatan asing yang sudah berani melanggar kedaulatan kita.”

Menhan Wiratmaja maju dengan suara lantang.

“Bapak Presiden, izinkan saya bicara langsung. Kita tidak bisa lagi membiarkan anak itu bebas tanpa pengawalan resmi. Taruhannya bukan hanya dirinya, tapi rahasia teknologi yang diwariskan Prof. Baskara. Saya usulkan Jagat ditempatkan di fasilitas militer khusus, di bawah perlindungan penuh TNI. Itu jalan paling aman.”

Panglima TNI mendukung.

“Saya setuju, Pak. Dengan kemampuan negara lain yang sudah mengembangkan Robo 1.0, jika Jagat jatuh ke tangan mereka, kita kehilangan keunggulan strategis. Bawa dia ke markas, jaga dengan batalion lengkap.”

Namun Kepala BIN Suryo mengangkat tangan, wajahnya tegang.

“Dengan segala hormat, langkah itu berbahaya. Jagat masih mahasiswa, masih menjalani kehidupan sipil. Menyeretnya ke barak akan membuatnya trauma, bahkan mungkin berbalik menolak kita. Ingat, almarhum Prof. Baskara merahasiakan penelitiannya justru karena trauma tekanan politik. Kalau kita ulang cara yang sama, Jagat bisa menutup diri. Saya usulkan cara halus: kirim agen personal, mendekat sebagai sahabat atau pembimbing. Dengan begitu, Jagat tetap merasa normal, namun terlindungi.”

Kapolri menimpali dengan nada waspada.

“Tapi ancaman nyata sudah di depan mata. CIA dan MSS tidak akan tinggal diam. Kalau agen personal gagal?”

Menteri Luar Negeri ikut masuk.

“Kita harus hati-hati. Jangan sampai perlakuan kita terhadap Jagat dianggap publik internasional sebagai ‘penahanan paksa’. Itu bisa jadi isu HAM. Pendekatan lunak lebih aman. Biarkan dunia lihat bahwa kita melindungi warganya, bukan memenjarakan.”

Perdebatan mengeras. Menhan dan Panglima TNI ingin pengamanan ketat dengan pasukan. Kepala BIN dan Menlu bersikeras dengan pendekatan lunak. Suara meninggi, meja bergetar akibat ketukan tangan beberapa pejabat.

Presiden akhirnya mengangkat tangan, menghentikan semua. Ruangan langsung sunyi.

“Cukup. Saya sudah dengar semua argumen.”

Tatapan Presiden Bowo tajam menyapu ruangan.

“Kita tidak boleh mengulangi kesalahan terhadap almarhum Profesor Baskara. Negara ini pernah gagal melindungi jasanya. Putranya tidak boleh mengalami nasib yang sama. Tapi, saya juga tidak akan membiarkan Jagat menjadi rebutan asing.”

Beliau menarik napas panjang, lalu memutuskan.

“Mulai hari ini, kita bentuk Pengawalan Khusus. Satu agen akan ditugaskan mendekati Jagat secara personal. Dia akan jadi sahabat, pembimbing, sekaligus pelindung. Tim Angsa tetap beroperasi dari bayangan. Brimob dan TNI hanya turun jika situasi genting. Ini pendekatan ganda—Jagat merasa bebas, tapi sebenarnya kita melindunginya penuh.”

Menhan terlihat hendak protes, namun Presiden menatapnya tajam.

“Jenderal, ini keputusan saya. Tidak ada perdebatan lagi. Kita melindungi Jagat, sekaligus merangkulnya ke pihak kita. Bukan memaksa.”

Kepala BIN tersenyum tipis, menunduk hormat.

“Baik, Pak Presiden. Saya akan siapkan agen terbaik untuk tugas ini.”

Kapolri menambahkan,

“Kami juga akan koordinasi, pastikan keamanan keluarga Jagat tetap prioritas.”

Presiden mengetuk meja sekali lagi, menutup rapat.

“Laksanakan. Demi negara, dan demi anak itu. Jangan sampai kita kehilangan masa depan dua kali.”

Ruangan hening. Para pejabat berdiri, memberi hormat, lalu keluar satu per satu. Di wajah mereka tersisa ketegangan: keputusan sudah diambil, tapi pertarungan sebenarnya baru saja dimulai.

Suasana Kantin Makin Panas

Kantin kampus sore itu biasanya hanya dipenuhi riuh obrolan mahasiswa tentang tugas, organisasi, atau gosip dosen. Tapi kali ini, semua itu tenggelam di bawah satu pemandangan: Jagat, si mahasiswa yang biasanya low profile, tiba-tiba jadi pusat perhatian meja paling rame.

Meiyun, gadis cantik asal Cina, sudah duduk manis di samping Jagat. Wajah oriental dengan mata teduh, kulit pucat, dan rambut hitam panjangnya membuat beberapa mahasiswa cowok di meja lain curi-curi pandang iri. Senyumannya diarahkan khusus untuk Jagat, tatapan matanya lembut tapi penuh rahasia.

Jagat sendiri… wajahnya sudah memerah. Bukan karena malu, tapi lebih ke grogi. Ia jarang berhadapan langsung dengan cewek secantik itu. Apalagi Nova sempat memperingatkan kalau gelang di tangan Meiyun mirip alat komunikasi MSS.

“Sial… ini jebakan atau keberuntungan?” batinnya.

Bimo yang duduk di seberang, menatap sambil ngakak kecil. “Wah, Gat… mukamu merah kayak kepedesan jengkol. Jangan bilang kamu jatuh cinta pada pandangan pertama?”

“Diam, Bo,” Jagat menendang kaki sahabatnya di bawah meja.

---

Kedatangan Melissa

Belum sempat suasana mereda, pintu kantin terbuka. Masuklah seorang cewek lain—berbeda total dari Meiyun. Rambut pirang kecoklatan bergelombang, kulit eksotis, wajahnya blasteran. Tubuhnya tinggi semampai, langkahnya penuh percaya diri. Seluruh kantin seolah terdiam sesaat melihatnya lewat.

Melissa. Nama samaran, agen CIA yang menyamar sebagai dosen muda sekaligus mahasiswi pascasarjana. Gayanya lebih agresif, aura karismatiknya bikin banyak mahasiswa terpesona. Dan tentu saja, targetnya langsung tertuju ke Jagat.

“Hei,” sapanya sambil menaruh nampan minum di meja Jagat. “Boleh gabung? Aku bosen sendirian.”

Bimo hampir tersedak. “APAA lagi ini?! Gat, kamu pake pelet apa sih?”

Melissa duduk tanpa menunggu jawaban. Senyumnya menawan, sengaja mendekatkan wajah ke Jagat. “Kamu Jagat, kan? Aku sering dengar namamu. Katanya jenius di bidang teknik? Hmm, aku suka cowok pintar.”

Jagat semakin bingung. “Err… makasih?”

Meiyun menatap Melissa tajam, lalu menyahut dengan nada halus tapi menusuk. “Lucu sekali. Aku juga baru dengar kabar tentang Jagat. Sepertinya… banyak orang tertarik padanya, ya?”

Melissa balik menatap dengan senyum sinis. “Tertarik? Tentu saja. Anak Profesor Baskara pasti menarik perhatian siapa pun.”

Jagat spontan terbatuk, sementara sahabat-sahabatnya nyaris salto dari kursi. Ardi menepuk jidat. “Bro… ini udah kayak sinetron prime time.”

---

Gadis Ketiga: Ayunda Sarasvati

Belum cukup sampai di situ, seorang mahasiswi lain datang menghampiri. Cantik khas Indonesia, kulit sawo matang, rambut hitam lurus sebahu, dengan senyum menenangkan. Pakaian rapi, aura elegan tapi sederhana. Ia menunduk sopan pada Jagat dan sahabat-sahabatnya.

“Permisi. Kalian Jagat dan teman-temannya, kan? Aku Ayunda Sarasvati. Baru pindahan dari Jakarta. Boleh gabung?”

Jagat tertegun. Nova langsung memberi peringatan di telinganya:

“Identifikasi cocok dengan database BIN. Dia agen pemerintah. Jagat, tenang. Dia di pihak kita.”

Jagat mengangguk tipis, lalu menyilakan Ayunda duduk. “Silakan. Selamat datang di kampus ini.”

Ayunda tersenyum, duduk anggun. “Aku sering dengar nama kamu, Gat. Katanya jago matematika dan teknik. Boleh ya, nanti aku belajar bareng? Aku agak kesulitan di kelas kalkulus.”

Sahabat cowok Jagat langsung panik. Satria menepuk meja. “WOI! Gat, ini apaan sih? Baru sehari kamu berubah jadi magnet cewek? Ada apa dengan dunia?!”

Bimo melotot. “Fix. Gat ini bukan manusia biasa. Pasti ada jimatnya.”

Ardi menambahkan, “Atau jangan-jangan… Gat udah kaya raya? Cewek biasanya ke situ arahnya, kan?”

Semua tertawa, kecuali Jagat yang udah keringetan. Meja itu sekarang dikelilingi tiga cewek cantik dari tiga kubu berbeda, semua duduk di dekatnya. Situasi makin panas, tapi dengan cara yang… berbahaya.

---

Persaingan Halus

Percakapan jadi makin absurd.

Meiyun: “Jagat, kamu suka baca buku teknologi? Aku punya koleksi jurnal dari Beijing, kalau mau bisa aku pinjamkan.”

Melissa: “Oh please. Gat nggak butuh buku jadul. Kalau riset, aku bisa kasih akses database Amerika. Lebih lengkap.”

Ayunda: “Aku rasa Jagat lebih butuh teman belajar yang bisa menemani tiap hari, bukan akses jarak jauh.”

Satria sampai berbisik ke Yudha. “Bro, ini bukan lagi rebutan cowok, ini rebutan negara.”

Yudha menahan tawa. “Iya, kayak Marvel vs DC vs… eh, TNI.”

Jagat berusaha tertawa kecil, tapi jelas gugup. Nova nyelutuk lagi: “Jagat, ini bukan sekadar godaan. Ini operasi intelijen. Jangan terpancing, tapi mainkan peranmu.”

---

Rani Cemburu

Sementara itu, Rani duduk agak jauh, wajahnya sudah memerah bukan karena malu, tapi marah. Ia melihat Jagat yang biasanya cuek, sekarang jadi rebutan tiga cewek sekaligus. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha menahan.

“Wah, keren banget kamu, Gat,” katanya dingin. “Punya fans club internasional. Aku nggak perlu di sini lagi, deh.”

Ia berdiri dengan cepat, mengambil tasnya. “Selamat bersenang-senang dengan harem barumu.”

Semua sahabat cowok langsung terdiam. Suasana meja jadi canggung. Jagat hendak bangkit, tapi Nova memperingatkan: “Jangan. Kalau kamu kejar sekarang, kamu justru membuka celah pada tiga agen itu. Fokus, Jagat.”

Rani sudah melangkah keluar dari kantin. Sahabat cowok Jagat melongo, bingung harus ngomong apa. Ardi hanya bisa berbisik, “Fix. Gat, kamu mati besok di kelas kalau nggak jelasin ke Rani.”

---

Penutup Drop 3

Meja itu masih gaduh. Meiyun menatap Melissa dengan sinis. Melissa balik senyum tajam. Ayunda hanya duduk tenang, seolah tahu lebih banyak dari yang lain. Jagat di tengah, keringat dingin bercucuran.

Nova dan Celine bersuara bersamaan di kepalanya:

“Jagat… ini bukan sekadar romansa kampus. Ini medan perang yang jauh lebih rumit. Hati-hati melangkah.”

Jagat meneguk minumannya dalam sekali teguk, menatap kosong ke arah pintu kantin.

Badai baru saja dimulai.

---

📊 Status RPG – Penutup Bab 18

[Status Update – Jagat]

Level: 9

HP: 95%

Armor Suit: Terkunci (Iron 1.1 – Standby)

Nanobot: Dormant (belum diakses)

Skill Aktif: Engineering Insight Lv.2, Tactical Awareness Lv.1

Hubungan Sosial:

Sahabat: Stabil (+3 kedekatan)

Rani: Menurun drastis (Cemburu)

Meiyun: ??? (potensi bahaya)

Melissa: ??? (potensi bahaya)

Ayunda: Protektif (agen pemerintah)

@#$Note dariku#$

Jangan pelit like dan komen dong. Like komen gratis lo, dsn bisa jadi semangatku melanjutkan cerita

1
Aanirji R.
Lanjutin si jagat
TeguhVerse: makasih, ini lagi kejar 20 bab, semoga klar 4 hari
total 1 replies
Grindelwald1
Duh, jleb banget!
Dani M04 <3
Suka alur ceritanya.
Bonsai Boy
Mengejutkan sekali!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!