Lima tahun sudah Gunung Es itu membeku, dan Risa hanya bisa menatap dingin dari kejauhan.
Pernikahan yang didasarkan pada wasiat kakek membuat Damian, suaminya, yakin bahwa Risa hanyalah gadis panti asuhan yang gila harta. Tuduhan itu menjadi mantra harian, bahkan ketika mereka tinggal satu atap—namun pisah kamar—di balik dinding kaku rumah tangga mereka.
Apa yang Damian tidak tahu, Risa bertahan bukan demi kekayaan, melainkan demi balas budi pada kakek yang telah membiayai pendidikannya. Ia diam-diam melindungi perusahaan suaminya, mati-matian memenangkan tender, dan menjaga janjinya dengan segenap jiwa.
Namun, ketahanan Risa diuji saat mantan pacar Damian kembali sebagai klien besar.
Di bawah ancaman perceraian jika proyek itu gagal, Risa harus berhadapan dengan masa lalu Damian sekaligus membuktikan loyalitasnya. Ia berhasil. Proyek dimenangkan, ancaman perceraian ditarik.
Tapi, Risa sudah lelah. Setelah lima tahun berjuang sendirian, menghadapi sikap dingin suami, dan meny
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan yang Direkayasa
Hari kelima Risa dikarantina di kamar utama. Risa sudah tidak tahan dengan keheningan dan tatapan curiga Damian. Ia tahu, satu-satunya cara untuk meredakan ketegangan ini adalah dengan memberikan sedikit kebenaran yang bisa menenangkan ego Damian, tetapi tanpa mengungkapkan rahasia terbesarnya (kanker dan sifat asli utang budi).
Damian sedang duduk di meja kerjanya, yang kini dipindahkan ke sudut kamar, menghindari sofa karena punggungnya sakit.
"Damian," panggil Risa pelan.
Damian menoleh, tatapannya dingin. "Ada apa? Butuh obat?"
"Tentang Atha," kata Risa, suaranya sedikit bergetar. "Kami memang akrab saat kuliah. Dia adalah kakak kelas yang sangat mengagumiku, dan dia tidak pernah menyembunyikan perasaannya."
Damian menyandarkan tubuhnya, menunggu. "Lanjutkan."
"Aku tidak pernah membalas perasaannya. Tapi kami dekat karena dia tahu tentang kondisiku saat itu. Dia tahu... aku dijodohkan denganmu karena Kakek Wijaya membayar hutang ayahnya," Risa berhenti sejenak, menelan ludah. "Atha sangat menentang perjodohan itu, tapi aku tidak bisa menolak karena utang budi itu sungguh besar. Aku tidak ingin orang tuaku semakin terpuruk."
Ini adalah bagian dari kebenaran yang Risa izinkan terungkap. Ia menggunakan 'utang budi' sebagai tameng untuk menutupi ancaman yang lebih besar.
"Jadi, kamu menuduh Kakekku membeli seorang istri?" potong Damian sinis.
"Aku hanya menjelaskan mengapa Atha begitu emosional. Dia bukan kekasihku. Dia hanya peduli karena tahu aku terjebak dalam janji yang tidak bisa kulepaskan," bisik Risa. "Dan tentang Arya... dia hanya dokter yang merawatku sejak lama. Dia tahu aku terlalu keras pada diri sendiri demi mempertahankan pernikahan ini."
Damian terdiam. Pengakuan Risa terasa masuk akal. Rasa bersalah karena telah mematahkan tulang Risa beradu dengan narasi Risa sebagai 'korban utang budi' dan 'wanita teraniaya'.
Pikiran Damian: Jika Risa berbohong, kenapa dia mau membuka aib utang budi ayahnya di depanku? Tapi... kenapa Atha begitu yakin dia mencintainya? Dan mengapa Risa tidak pernah mau bercerai?
Damian bangkit dan berjalan ke ranjang. Ia menatap Risa dengan tatapan menyelidik.
"Lalu kenapa kamu selalu menolak permintaanku untuk bercerai?" tanya Damian, suaranya dipenuhi tantangan. "Jika ini semua karena utang budi, kamu bisa pergi sekarang. Saya akan urus perusahaan ayahmu."
Risa menatap mata Damian, ia harus menjawab dengan hati-hati. "Jika aku pergi sekarang, semua orang akan tahu aku kabur setelah perusahaan Ayahku selamat. Mereka akan bilang aku gila harta dan tidak tahu terima kasih. Aku memilih bertahan sampai reputasi Ayahku benar-benar bersih, dan aku mendapatkan hak untuk pensiun dengan bermartabat dari Wijaya Group."
Gila harta. Kata-kata itu terdengar lagi di telinga Damian, tetapi kali ini dalam konteks yang berbeda: Risa ingin 'harta' berupa reputasi dan martabat, bukan uang.
Damian mengangguk kaku. "Baik. Saya akan menerima pengakuanmu. Tapi ingat, Risa. Mata saya akan selalu mengawasi. Satu langkah salah, dan kamu akan melihat bagaimana amarah seorang Damian Wijaya."
Beberapa hari kemudian, Reno datang ke kamar. Wajahnya tegang.
"Maaf, Tuan Damian. Ada masalah serius di Proyek Sentra. Klien mengancam akan membatalkan kontrak jika Anda tidak datang langsung untuk negosiasi besok."
Damian mendengus kesal. Ia terperangkap. Ia tidak bisa meninggalkan Risa sendirian, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan Wijaya Group kehilangan proyek besar.
"Batalkan," perintah Damian dingin.
"Tuan, itu kerugian miliaran!" desak Reno.
Damian menatap Risa, yang sedang pura-pura tidur. Ia teringat ancaman Atha.
"Saya akan ke sana," kata Damian akhirnya. "Tapi saya tidak akan pergi lama. Dan Risa," Damian menatap istrinya, "Kamu tidak boleh meninggalkan kamar ini. Bi Darmi akan mengunci pintu dari luar, dan ponselmu akan saya sita. Jika kamu melanggar, Atha akan tahu, dan Wijaya Group akan hancur."
Risa terkejut. Damian akan mengunci dirinya. Risa tahu, penjara yang dibuat Damian semakin nyata dan mengikat.
"Kau tidak percaya padaku?" tanya Risa pelan.
"Kepercayaan adalah barang mewah yang tidak kamu miliki, Risa," balas Damian. Ia mengambil ponsel Risa dari meja dan memasukkannya ke saku.
Malam itu, Damian kembali tidur di sofa, mempersiapkan diri untuk pergi. Risa memejamkan mata, memeluk guling. Ia tahu, dengan Damian kembali ke luar, konflik dengan Atha akan segera meledak.