Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Pagi-pagi sekali, Nara dan Devan sudah berada di apartemen Devan yang mulai saat ini menjadi rumah mereka. Cahaya matahari menerobos jendela, menyinari debu-debu halus yang beterbangan di udara. Apartemen itu masih terasa kosong, hanya beberapa perabotan minimalis yang terpasang. Jelas terlihat bahwa Devan jarang menghabiskan waktu di sini.
Nara mengamati sekeliling dengan mata berbinar, seakan menemukan sebuah petualangan baru. Ini adalah tempatnya memulai hidup baru, membina keluarga baru dan melepaskan dari keluarganya dulu.
Devan memperhatikan Nara dari kejauhan, kedua tangannya tersembunyi di balik saku celananya. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Gimana? Kamu suka nggak?” tanyanya, suaranya lembut, menunjukkan rasa khawatir terselubung.
Nara masih sibuk mengamati, jari-jarinya menyentuh permukaan meja yang dingin. Matanya berbinar, menunjukkan kegembiraan yang tulus.
Gadis itu, berbalik badan dan menatap Devan dengan sepasang matanya yang berbinar. “Aku suka,” jawabnya dengan suaran riang. “Nggak banyak perabotan, jadi aku masih bisa lari-larian kalau bangun kesiangan,” lanjutnya, senyumnya mengembang sempurna.
Bayangan Nara yang berlarian dengan piyama dan celana pendek terlintas di benak Devan, tampak lucu dan membuatnya tersenyum lebih lebar.
Devan lalu mengeluarkan sebuah kartu hitam dari dompetnya, memberikannya pada Nara. Kartu itu terlihat elegan, dengan logo yang tidak dikenal Nara.
“Kamu boleh beli apa pun yang kamu suka untuk rumah ini. Urusan rumah, aku serahkan semuanya sama kamu,” katanya, suaranya sedikit gugup.
Nara menatap kartu itu dengan pandangan tak percaya. Ia terbiasa mengurus keuangannya sendiri, mencari nafkah sendiri, dan tiba-tiba diberi kartu yang jelas bukan kartu biasa.
“Aku … aku punya ATM sendiri. Kamu bisa transfer aja ke nomor rekeningku,” balas Nara, merasakan ketidaknyamanan.
Nara tahu kartu itu bukan kartu kredit biasa, melainkan kartu keanggotaan eksklusif yang hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. Ia merasa tidak enak hati menerima pemberian yang begitu berharga dari Devan.
Devan menghela napas panjang, senyumnya sedikit memudar. “Aku tidak pernah memakainya,” akunya, suaranya terdengar berat. “Sayang kan harus bayar iuran per tahun yang nggak sedikit. Mendingan, kamu ajak Mama sama adikmu belanja. Kamu bisa menutup toko brand eksklusif dengan kartu ini. Dengan begitu, kamu bisa membalas sakit hati pada adikmu, ‘kan?”
Nara menerima kartu hitam itu dengan ragu, jari-jarinya gemetar. Senyumnya yang baru saja mengembang kini sirna, digantikan oleh raut wajah yang penuh kecemasan.
Nara menatap kartu itu, lalu menatap Devan, matanya menunjukkan keraguan yang mendalam. Ia bukan wanita yang terbiasa dengan kemewahan, dan ia takut tidak akan mampu menggunakan kartu itu dengan baik. Lebih dari itu, ia takut akan perhitungan Devan yang pasti sangat rinci mengenai keuangannya. Ia tidak ingin mengecewakan suaminya.
“Kamu sudah menjadi Nyonya Devandra Salim sekarang,” kata Devan, suaranya lembut tetapi terdengar tegas. “Kamu bukan istri pria biasa, yang harus menjaga reputasi suamimu. Mama pasti akan mengajarimu supaya kamu bisa menyesuaikan diri.”
Kalimat Devan terdengar seperti sebuah peringatan, mengingatkan Nara akan tanggung jawab barunya sebagai istri seorang pria kaya raya.
Nara masih terdiam, pikirannya melayang. Menikah dengan orang kaya ternyata tidak sesederhana yang ia bayangkan. Ini lebih dari sekadar cinta dan kebahagiaan, ini tentang status, reputasi, dan sebuah dunia yang baru yang sedikit asing baginya.
“Walaupun mungkin kamu tidak suka, tapi … di acara tertentu kita harus menunjukkan siapa kita.” Devan melanjutkan, suaranya sedikit berat. “Mungkin, nanti kamu juga akan sibuk dengan sosialita lainnya. Makanya, kalau bisa … kamu tidak usah bekerja, dan habiskan saja uangku.”
Kalimat terakhir Devan membuat Nara tercengang. Bukan karena ia tersinggung, tetapi karena ia merasa … tidak terima. Ini bukan tentang uang, tetapi tentang harga dirinya.
“Aku biasa cari uang sendiri,” Nara menjawab, suaranya tegas. “Kalau aku di rumah tanpa melakukan apa pun, aku merasa seperti pegawaimu yang menerima gaji buta.” Ia mengembalikan kartu itu, menolak untuk menjadi beban bagi suaminya, ia ingin tetap memiliki arti dan tujuan hidup.
Devan mendekatkan wajahnya, tatapannya lembut namun penuh makna. “Pegawai tidak mungkin tidur di ranjangku, Nara,” bisiknya, suaranya rendah dan berat. “Pegawai biasa tidak mungkin membuatku merasa nyaman dan tenang. Kamu istriku.” Ia menekankan kata “istriku”, menunjukkan bahwa ia mengharapkan lebih dari sekadar hubungan fisik.
Nara menatap mata Devan dengan penuh keyakinan. “Aku tidak ingin hanya menjadi istri yang duduk diam,” katanya, suaranya mantap. “Aku ingin melakukan sesuatu yang berarti, baik untuk diriku sendiri maupun orang lain. Aku akan belajar menyesuaikan diri, tapi bolehkah aku tetap menjadi diriku sendiri?” Ia ingin menegaskan bahwa ia tidak akan kehilangan jati dirinya, bahkan setelah menjadi Nyonya Devandra Salim.
***
Padahal kan enak duduk manis, rebahan, berguling² di kasur nunggu transferan, Nara. 🫠