‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Shalat
...•••Selamat Membaca•••...
Hujan semakin deras turun, semua tidur dengan lelap tanpa ada penjagaan karena suasana sekitar sudah dipastikan aman. Rayden masih sibuk mengotak atik ponselnya, membiarkan Maula tidur dengan lelap di bawah ketiaknya.
Tangan kiri Rayden mengelus pelan rambut istrinya dengan mata yang fokus pada layar ponsel. Matanya masih menolak untuk tidur, dia memilih untuk bermain game.
Di helikopter lain, Sofia terbangun dan berjalan keluar dari sana. Dia ingin menunaikan shalat malam dan berwudhu lebih dulu.
Baru saja keluar, dia melihat Advait sedang menunaikan shalat juga. Sofia melihat dengan seksama karena setahunya, Advait bukan seorang muslim.
“Sejak kapan dia shalat begini?” pikir Sofia sendiri.
Dia shalat di luar dengan menggunakan tenda darurat yang sengaja di pasang untuk aktifitas oleh tim Rayden. Sofia ambil wudhu lebih dulu dan kembali ke tenda, Advait selesai dan melipat sajadahnya.
“Jam berapa ya sekarang?” tanya Sofia dengan lembut.
“Jam setengah tiga pagi, kau mau shalat?” Sofia mengangguk. “Sebentar,” kata Advait lalu pergi mengambil sesuatu, dia memberikan sajadah dan mukena lengkap pada Sofia.
Sofia menerimanya dan sedikit heran. “Kau selalu membawa mukena?”
“Aku tahu kau muslim yang taat, jadi aku dan Rayden inisiatif membawakan perlengkapan shalat untukmu.” Sofia mengangguk lalu bergegas menunaikan shalat Isya dan Tahajjud.
Advait memilih untuk duduk di tenda menghadap keluar, menatap langit yang masih gelap dan hujan yang semakin deras. Dia menyalakan rokok sambil sesekali melirik Sofia yang tengah shalat itu. Dalam diam, ia tersenyum singkat karena wajah Sofia begitu teduh untuk dia pandang.
Selesai shalat, Sofia mengaji dengan suara yang lembut, nyaris terdengar seperti bisikan. Matanya tertutup dengan khusyuk dia terus melantunkan ayat-ayat suci itu.
Di lain tempat, Maula terbangun karena merasa tubuhnya sakit semua. Rayden yang belum tidur langsung siaga dengan keluhan sang istri.
“Mau aku panggilkan dokter lagi?” Maula menggeleng, dia masih meringis memegangi pergelangan tangan dan punggungnya.
“Sakit semua, obat yang dikasih dokter tadi mana, Ray?” Rayden mengambil obat Maula lalu meminumkannya, membuatkan susu lagi dan meminumkan pada Maula.
Maula meneguk habis susu yang dibuatkan Rayden lalu berbaring. Rayden duduk dan mengusap pelan punggung istrinya, dari mata Maula keluar air yang menandakan dia menangis menahan sakit.
“Tunggu sebentar ya, aku panggilkan dokter dulu.” Maula memegang tangan suaminya.
“Nggak usah, aku aja yang terlalu manja. Padahal kalau nggak ada kamu, aku tahan kok sama sakitnya. Aku juga bingung, kalau ada kamu malah akunya nangis.” Rayden mengusap lembut kepala sang istri dan tersenyum.
“Kamu boleh manja-manja sepuasnya padaku, lakukan saja, tidak masalah. Tapi kalau sakit, kamu harus diobati, aku tidak mau mengambil resiko apapun mengenai kondisi kamu sayang.” Suara Rayden yang lembut itu membuat Maula semakin nyaman.
“Nyeri aja semua luka ini, lengan aku apalagi.”
“Mau ganti perban?”
“Tidak. Boleh pijit?”
“Boleh.” Rayden memijat pelan lengan Maula yang mulai menampakkan lebam warna kebiruan, tangan Maula yang putih sangat jelas mencetak bekas tersebut.
Perlahan, karena pijatan Rayden di tubuhnya, Maula merasa lebih ringan dan nyaman. Dia perlahan kembali tertidur sambil memeluk suaminya.
Rayden memiringkan tubuh dan membalas pelukan Maula, mereka sama-sama tertidur.
Di tenda darurat. Sofia dan Advait saling berbincang ditemani suara hujan dan petir yang menggelegar.
Percikan air mulai membasahi sisi lantai tenda, mereka sedikit masuk dan duduk di kursi.
“Aku tidak tahu kalau kamu muslim,” kata Sofia tanpa menatap Advait.
“Aku muslim dari lahir, ibuku muslim tapi ayahku tidak. Aku mengikuti agama ibu ya karena sayang padanya saja. Aku bukan muslim taat sepertimu.” Sofia mengangguk.
“Lalu, kamu tadi shalat.”
“Ya shalat kan ibadah wajib, bukan hal aneh seorang muslim shalat.”
“Hehe iya tahu, maksudku itu, kenapa kamu bilang kalau kamu bukan muslim yang taat?”
“Kau tahu tentunya pekerjaanku bukan? Sangat jauh dari ajaran agama kita. Aku mafia, pekerjaanku ilegal, membunuh bagiku biasa saja, dan tidur dengan wanita mana pun bagiku hal yang lumrah. Tapi kalau shalat, ya itu wajib untukku, dan aku tidak mau meninggalkannya.” Sofia tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Perlahan Allah akan kasih kamu hidayah, selama kamu masih ingat Tuhan, kamu akan terus diarahkan pada hal yang semakin dekat dengan-Nya. Lagian pekerjaanmu bukan sesuatu yang haram juga. Setahuku, organisasi Vindex bergerak dibidang berlian, emas, dan senjata. Bukan di hal yang haram seperti narkoba, perdagangan manusia dan lainnya.” Advait mengerutkan dahi dan menatap Sofia.
“Kau bicara sangat percaya diri ya, selama ini aku tidak merasa dekat dengan Tuhan. Bagiku shalat hanya kewajiban biasa yang harus dipenuhi.”
“Iya. Banyak muslim di luar sana yang katanya taat tapi sering kali meninggalkan shalat. Dengan kamu yang tidak pernah meninggalkan hal ini, itu adalah sesuatu yang sangat ternilai. Shalat itu akan membuat kamu terhindar dari perbuatan mungkar,” tutur Sofia yang membuat Advait tertawa.
“Setiap waktu aku selalu berbuat mungkar, Sofia. Selama bertahun-tahun aku shalat dan tidak sekalipun aku terhindar.” Sofia hanya tersenyum.
“Bukankah sesuatu itu ada prosesnya? Tidak ada yang instan. Dengan kamu tidak meninggalkan shalat saja sudah menjadi sesuatu yang indah. Kita lihat saja, sampai mana shalat itu akan merubah hati dan hidupmu.” Advait menarik sudut bibirnya dan tersenyum samar.
“Aku tidak yakin itu.”
“Sekarang coba perhatikan, bukankah shalat di mata telanjang ini hanyalah gerakan biasa dan mudah dilakukan. Bahkan hanya sebentar, lima menit selesai. Ya kan.” Advait mengangguk membenarkan ungkapan Sofia.
“Nah, kenapa masih banyak umat muslim di dunia ini yang enggan melakukannya?”
“Kenapa?”
“Karena yang digerakkan ketika shalat bukan hanya anggota tubuh saja, melainkan jiwa dan hati, serta pikiran kita. Itu kenapa bagi orang yang hatinya keras dan batu, sangat berat melakukan hal itu. Tapi kamu, bisa menaklukkan semuanya, itu sudah hal luar biasa, Advait.” Selesai Sofia bicara begitu, cahaya kilat dari langit ikutan turun.
Advait bisa melihat jelas wajah wanita di depannya. Tatapannya seakan terkunci pada Sofia, dia sendiri bingung, hatinya berdesir hebat.
“Aku tidur dulu ya, nanti telat bangun subuh.” Sofia bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan Advait yang masih termangu di tenda, memikirkan perkataan Sofia barusan.
Dia ikut masuk ke dalam helikopter dan istirahat, menghidupkan alarm untuk bangun saat shalat subuh nanti.
Sofia tiduran di kursi dengan nyaman, Reba dari tadi sama sekali tidak terganggu. Dia terlihat begitu lemah dan butuh istirahat yang cukup.
“Sofia Khaira, kenapa aku bisa tergugah begini mendengarkan ucapan dia ya?” pikir Advait sendiri, wajah dan suara Sofia terus berputar di kepalanya.
...•••Bersambung•••...
...Berhubung di sini lagi mati lampu, mungkin bisa up satu bab ini dulu. Nanti kalau udah hidup lagi, akan up lagi kok. Baterai hp lagi sekarat setelah dimainin dua bocilku 😄...