Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Ada Yang Kesal
Namun belum sempat ia bangkit, seorang pria—salah satu tamu undangan dengan jas abu muda—cepat-cepat menghampiri Shanum dan menopang lengannya sebelum ia jatuh.
Shanum terkejut, tapi cepat menenangkan diri. Ia tersenyum pada pria itu, menunduk sedikit.
“Terima kasih, Pak. Saya nggak lihat ada air tadi,” katanya dengan suara lembut, menutupi rasa terkejutnya.
Pria itu mengangguk. “Hati-hati ya, Mbak. Nanti bisa keseleo kalau salah injak.”
Shanum mengangguk. “Iya, makasih sudah nolongin.”
Ervan mengatup rahangnya. Tangannya mengepal di bawah meja. Seketika semua suara di sekitarnya terdengar seperti dengungan semu. Percakapan tentang tanggal pernikahan seakan jadi gema jauh yang tak mampu menyentuh pikirannya. Yang ada hanya gambar Shanum tersenyum—bukan padanya, tapi pada pria lain.
“Ervan?” Suara Mama Diba menyadarkannya. Namun, sebelumnya ia melirik terlebih dahulu ke arah anaknya memandang. Untungnya saja Meidina tidak menyadari Ervan menyebut nama wanita lain karena sedang diajak bicara sama kedua orang tuanya.
Ervan mengedipkan mata. “Iya, Ma?”
“Kamu setuju, kan? Tanggalnya kita majukan? Biar Mama bisa langsung urus gedung sama catering minggu depan,” desak Mama Diba dengan perasaan gregetan.
Ervan menatap semua orang di meja. Wajah mereka penuh harap. Meidina menggenggam tangannya, hangat tapi membuatnya semakin sesak.
Ia menarik napas pelan. “Beri aku waktu … sehari-dua hari untuk pikirkan ini. Aku hanya ingin pastikan semuanya tidak terburu-buru. Lagi pula Ma, kita juga harus berunding dulu dengan papa.”
Meidina tampak sedikit kecewa, tapi masih tersenyum. “Ya udah, kalau itu bisa bikin Kak Ervan nyaman. Tapi aku harap Kakak setuju, ya. Bukankah selama ini Kak Ervan ingin segera menikahiku.”
“Tenang, Mei,” ujar Mama Diba. “Ervan ini memang tipe yang suka mikir dulu. Tapi Tante yakin dia akan setuju.”
Ervan memaksakan senyum. Ia kembali melirik ke area Shanum berada, tapi gadis itu sudah menghilang ke belakang, mungkin ke dapur. Sementara pria tadi tampak bicara sebentar dengan rekan-rekannya sebelum kembali ke tempat duduknya.
‘Siapa dia? Kenapa bisa begitu cepat nolong Shanum?’ pikir Ervan, kesal. Loh, kenapa harus kesal? Seharusnya Ervan bersikap biasa saja.
Dan lebih kesal lagi, kenapa ia yang jadi suaminya Shanum—kini tak lebih dari sekadar penonton dari jauh.
...***...
Di belakang dapur, Shanum berdiri sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin kecil yang tergantung di dekat rak piring. Dadanya masih bergemuruh karena hampir terpeleset. Tapi lebih dari itu, matanya tadi sempat menangkap sosok Ervan yang menatap ke arahnya dari kejauhan.
‘Dia lihat,’ batinnya.
Tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar.
Yang membuatnya terdiam lama adalah ekspresi Ervan. Wajah yang tadinya dingin saat bicara padanya, kini tampak … kesal. Bingung. Bahkan mungkin—meski samar—cemburu?
“Ah, sudahlah, Shanum. Jangan halu, kamu mungkin saja salah menilai, tapi aneh juga kenapa wajahnya begitu,” gumamnya pelan, mencoba tertawa pada dirinya sendiri. Lalu, mengusap perutnya. “Anak Ibu kuat ya, untung tadi Ibu tidak jatuh.”
Tia masuk beberapa menit kemudian dan menepuk pelan punggungnya. “Sha, kamu butuh minum? Aku ambilin ya?”
Shanum mengangguk. “Makasih, Mbak.”
Sementara di ruang utama, pembicaraan antar keluarga masih terus berlanjut. Tapi Ervan sudah tak lagi ikut berkomentar. Ia sibuk dalam pikirannya sendiri, dan tak bisa menghapus wajah Shanum dari bayangannya. Senyum tenang gadis itu, sikapnya yang tetap profesional.
...***...
Setelah sekitar lima belas menit, acara perlahan mulai bubar. Para tamu meninggalkan ruangan, dan beberapa petugas vendor mulai membongkar dekorasi.
Ervan berdiri di sisi ruangan, sengaja menjauh dari kerumunan.
Langkah Shanum terlihat dari balik tirai buffet. Ia membawa baki kecil berisi kue sisa acara, mungkin akan dibagikan pada staf klinik. Ia tampak tenang, seperti tak ada yang menggoyahkan hatinya.
Tapi Ervan tahu, dibalik ketenangan itu, Shanum menyimpan luka. Luka yang sebagian besar ia goreskan sendiri.
“Kenapa kamu bisa setenang itu, Shanum?” gumamnya lirih. “Kenapa kamu bisa tetap berdiri ... sementara aku kesal dan kecewa.”
Suara Mama Diba kembali terdengar dari belakang.
“Ervan, kamu nggak mau bantu Mama atur waktu meeting dengan WO minggu depan?”
Ervan menoleh cepat. “Maaf, Ma … aku ada urusan mendadak. Aku balik ke kantor duluan.”
“Lho, tapi—”
“Sampaikan saja ke Meidina,” potongnya halus.
Tanpa menunggu reaksi siapa pun, ia melangkah keluar ruangan. Tapi bukan ke parkiran mobil. Kakinya justru membawanya menyusuri lorong sempit menuju area belakang, tempat Shanum berada.
Jantungnya berdetak tak karuan.
Ia tahu, ia harus bicara. Tapi ia juga tahu, Shanum bukan perempuan kebanyakan yang seperti yang ia kenal, yang berusaha menarik perhatiannya. Tapi, Shanum adalah seseorang yang bahkan mampu membuatnya merasa kalah … hanya dengan sebuah senyuman.
Dan saat Ervan nyaris tiba di pintu belakang dapur, ia mendengar suara gelak tawa Shanum—ringan, tulus—bersama pria yang menolongnya tadi.
Langkahnya terhenti. Dadanya sesak.
Lalu dari balik pintu, terdengar suara Shanum berkata:
“Pak Adam, terima kasih sekali tadi sudah nolongin. Shanum sampai sekarang masih deg-degan.”
“Tenang aja, saya tidak akan biarin kamu jatuh. Apalagi kalau jatuhnya di hati,” jawab pria itu sambil tertawa kecil.
Shanum ikut tertawa, suara tawanya menggema di hati Ervan, meninggalkan lubang yang semakin dalam.
“Keterlaluan kamu, Shanum!”
Bersambung ... ✍️
pokok nya paa klo Ervan macam2 lg ma Shanum,,jauhkan Shanum sejauh jauh nya utk menjaga kewarasan Shanum..dn biar Ervan bisa introspeksi diri...
bener2 gedeg aq ma Mr.Arogaaann 😬😬