NovelToon NovelToon
Mekar

Mekar

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:13.6k
Nilai: 5
Nama Author: De Shandivara

Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.

Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.

Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesan Mama

Jalan Merpati.

Palang bertuliskan nama jalan yang sudah cukup lama tidak kujumpai lagi wujudnya sejak beberapa bulan kepindahanku ke kota lain, kini kembali ke kampung halaman. Terasa berbeda dan banyak yang berubah.

Rutenya memang tidak asing, tetapi terlihat banyak yang diperbaiki dari segi pembangunan infrastruktur di mana-mana, pelebaran jalan, revitalisasi fasilitas publik, dan gedung yang entah akan dijadikan apa. Semua ini membuat kemacetan bertambah panjang.

"Hufh. Kapan pekerjaan ini selesai?" Kemudinya menjadi bahan pelampiasan.

Panas, macet, dan pandangan yang tertutup debu. Situasi ini memang membuat pengendara tak betah berlama-lama di perjalanan. Berkali-kali aku mendengar mas Elham mendesah karena lelah terjebak pada situasi yang tidak lekas usai, mobil hanya dapat bergerak sedikit demi sedikit meski sudah beberapa jam lamanya menyusuri jalan yang sama.

Ia membuka jendela samping. "Pak Kasan?" panggil mas Elham kepada seseorang yang menggunakan atribut lengkap pekerja bangunan.

Pria paruh baya itu berlari mendekat, ketika mas Elham membuka lebih lebar kaca jendela mobilnya. Pria itu semringah dan beramah tamah pada mas Elham. "Eh, Mas Elham? Muhun, nuju kamana? Eh, Mbak, punten?" ramah pria itu menyapaku yang duduk di sebelah mas Elham.

"Pak Kasan, Anda yang mengurus proyek perbaikan jalan ini?"

"Iya, benar, Mas. Kunaon?"

"Tolong, ya, pekerjaan ini dibereskan segera. Lalu lintasnya ini lho. Kacau! Sampai ngoler panjang begini gak ada pergerakan sama sekali. Tolonglah diatur, ini macet keterlaluan .... Anda sebagai mandor harusnya bisa mengatur biar kerjaan cepat selesai sesuai target. ... Sudah 2 bulan, kan? Dan ini, cari gimana solusi supaya pengguna jalan tidak terganggu seperti ini. Masih mau bekerja?"

"I ... ya, mau. Mau, Mas."

"Ya cepat bereskan atau kalian bisa dipecat."

Kudengar mas Elham marah-marah ketika berbincang dengan seseorang. Meski bicaranya tidak dengan suara keras, malah seperti nada obrolan biasa, tetapi kalimat penekanan dan ancaman itu ada dan terdengar mengerikan.

Sampai rumah mama Galih saat hari sudah malam. Dan benar, di rumah keadaannya sunyi dan tenang, tidak seramai waktu perayaan pernikahanku saat itu, meski semua anggota keluarga terlihat sudah berkumpul.

Di ruang tengah, ada Syifani dan cucu-cucu mama Galih sedang berkumpul di sana. Syifani mendekat dan membisikkan sesuatu pada mas Elham.

Mas Elham mengatakan ingin langsung menemui mama di atas. Ramai anak-anak mama dan menantunya menemani di sekitar ranjang, termasuk ada seseorang tak asing yang membuatku tercengang.

Aku mengucek mataku beberapa kali untuk memastikan penglihatanku tidak salah dan memang benar sosoknya nyata di depan mata bukan khayalan semata. Dia duduk di tepian ranjang mama Galih.

"Kak Alan, benarkah dia?" hatiku berbisik. Benarkah rupanya kak Alan merupakan anak mama Galih yang tidak sempat datang saat acara pernikahanku?

Kami bertatapan. Dia sama terkejutnya denganku, ia menatapku dengan dahi yang berkerut-kerut. Namun, kedatanganku dengan mas Elham ke kamar mama membuatnya berlalu pergi dan disusul anak-anak mama yang lain untuk bergantian aku dan mas Elham yang menemani mama semalaman.

Subuh, kami terbangun. Demam di dahi mama semalam, aku periksa kembali.

"Bagaimana keadaan mama? Masih demam?" tanya mas Elham.

Aku menggeleng. Bergantian, aku yang melaksanakan ibadah dan mas Elham yang menjaga mama. Aku tidak lekas kembali ke kamar mama, tetapi membuatkan bubur untuk menu sarapan mama.

Setengah jam kuhabiskan untuk membuat bubur dan kaldu ayam, lantas membawanya ke kamar mama.

"Mama percaya, Gemoy perempuan yang baik. Dia pasti...."

Sayup-sayup, aku mendengar suara mama tengah mengobrol dengan mas Elham. Seperti mereka sedang membahas sesuatu tentangku. Lalu, kuketuk pintu kamar mama.

Mama tersenyum, rupanya beliau sudah terbangun dan duduk bersandar di ranjangnya. Kedatanganku, bergantian mas Elham yang keluar untuk mandi pamitnya.

"Hei. Harum sekali. Bikin apa, Moy?" suara mama terdengar terang.

"Bubur buat mama sarapan. Masih panas, Ma. Dita suapin, ya?"

Perlahan, aku menyuapkan mama sedikit demi sedikit bubur itu hingga habis, lalu aku yang membersihkan mulut dan tangan mama dari sisa-sisa bubur.

"Mama sakit apa? Jadi, kemarin mama nelepon Dita itu karena mama sakit? Maaf, kemarin Dita gak tahu kalau mama sakit." Mama Galih mengusap pipiku, menarik kepalaku untuk mengecup dahiku. Aku membaringkan kepalaku di sisi kepala mama Galih yang lemah.

Mama menggeleng, bibirnya yang pucat menampilkan senyuman tipis padaku. "Mama gapapa. Kamu sehat, Moy? Bagaimana, bahagia tinggal di kota? Suamimu memperlakukanmu dengan baik?"

Aku mengangguk, bersamaan dengan itu suara pintu terbuka terdengar. Mas Elham datang setelah segar sehabis mandi pagi.

"Kira-kira, kapan ya mama bisa lihat cucu baru dari kalian?" tanya mama dengan nada gurauan.

Aku yang tidak bisa menjawab, malah bertanya: "Mama mau apa? Di bawah ada kue. Dita ambilkan, ya?"

Mama Galih menggeleng, lagi-lagi mama hanya tersenyum. "Enggak. Mama hanya ingin seperti ini, anak-anak mama kumpul dan akur begini," ujar mama sembari menatap mas Elham dan aku bergantian.

Aku mendongak menatap mas Elham, memangnya sebelum ini ada yang tidak akur?

Siang hari, mama meminta kami berkumpul di ruang keluarga. Kami saling diam tanpa ada yang memulai bersuara sebelum mama datang. Kemudian, mama datang didampingi Syifani.

"Mama hanya ingin seperti ini, melihat kalian kumpul dan akur begini. Haruskah mama sakit lebih dulu sehingga kalian baru mau datang menjenguk mama secara kompak?"

Mas Elham yang sejak tadi kuperhatikan, dia menaik turunkan dadanya, seperti sedang menahan amarah entah karena apa. Namun, tatapan menghujam yang tertuju lurus ke depan terpaku pada kak Alan yang duduk di hadapannya.

"Sejak dulu anak-anak mama akur semua. Cuma si bajingan ini yang berulah," tukas Mas Elham.

"Dia gak tahu gimana papa mama menderita akibat ulahnya, si anak otak udang yang tidak tahu diri. Aku muak melihatnya di sini. Bagus dia tidak usah datang lagi ke sini, apa belum cukup bagian perusahaan papa untuk dia nikmati?"

Aku terkejut saat mas Elham mengatakan hal sebegitu pedasnya padahal yang selama ini aku tahu dia irit bicara bahkan manis tutur katanya sejak memulai chat sebelum pernikahan itu. Namun, akhir-akhir ini dia terlihat emosional.

"Mas Elham, hush. Sudah cukup." Mama Galih menegur, menggenggam tangan putra keduanya itu untuk menjaga ucapan dan tidak berapi-api.

Aku yang duduk di sebelahnya hanya bisa menunduk dengan penuh keterkejutan saat semua kalimatnya tertuju pada seseorang yang aku kenal baik dan menjadi rekan kerjaku di perusahaan itu.

Mas Elham menghela napas panjang, berusaha mengendalikan diri setelah melihat kondisi mama yang masih lemah. Jika tidak, mungkin sesuatu tak terduga sudah terjadi atau setidaknya aku sudah bersiap melerai karena aura baku hantam sudah tercium aromanya.

Kak Alan, dia menunduk saja saat ucapan makian tertuju padanya. Dia duduk seorang diri di seberang, sedangkan semua anak mama dan menantunya berada sebanjar di pihak mas Resa dan mas Elham.

"Sekarang mau apa kau datang kemari? Menghancurkan keluarga ini lagi?"

"Mas, sudah ... sudah," ujar mama.

"Kalau saja bukan permintaan mama, aku tidak akan mau berada di satu ruangan dengannya. Aku sangat muak dengan dia, Ma. Anak tidak tahu diuntung!"

"Mas, aku minta maaf." Kak Alan bersuara.

"Tidak akan sampai kapan pun. Kembalikan papa kalau kau ingin dimaafkan! Harusnya kau mendekam di penjara sekarang ini."

Aku tidak tahu masalah apa yang sedang terjadi di keluarga ini. Entah mengapa, aku melihat mas Elham lebih menggebu daripada anak-anak mama yang lainnya. Dan aku baru menyadari jika mereka tidak akur begini. Kak Alan, dia idolaku sewaktu SMA dulu, tetapi ternyata kehidupannya yang cemerlang mempunyai kisah kelam di balik layar.

Aku menenangkan mas Elham, tetapi dia yang diselimuti amarah membuatnya enggan disentuh olehku. Tanganku dihempaskannya dari lengannya. Dia ingin cepat-cepat pergi dari tempatnya.

"Mas, tunggu dulu. Mama belum selesai bicara. Duduk dulu," pinta mama.

Karena mama, mas Elham mau menurut untuk kembali duduk di kursinya walau dengan wajah yang sewot dan dada yang kembang kempis seperti akan meledak.

"Mama hanya ingin mendengar kalian berbaikan seperti sewaktu kecil dulu. Ayolah saling memaafkan, mama sudah memaafkan semua kesalahan anak mama."

Namun, kulihat semua diam tanpa reaksi dan saling berpandangan. Hanya mas Elham yang teguh dan tanpa ragu dia menggelengkan kepalanya.

"Berarti kalau mama mati, kalian akan tetap seperti ini?" tanya mama Galih.

"Kalian tidak malu dengan Gemoy, menantu baru rumah ini yang tidak tahu apa-apa tetapi sudah harus menyaksikan semua ini? Mama saja malu. Kamu gak malu, Mas?" tanya mama Galih kepada mas Elham.

Mas Elham diam tanpa bersuara. Dia mengusap wajahnya, lalu mendorongnya ke belakang hingga jemarinya menyapu rambutnya.

Semua tidak ada yang begerak mematuhi ucapan mama, lalu Syifani merangkul mama mertua.

"Mama istirahat dulu, yuk? Makan siang, lalu minum obat. Nanti gampang kita lanjutkan perbincangannya lagi."

Petang hari, aku mencari keberadaan mas Elham untuk makan malam bersama. Namun, aku tidak menemukan sosoknya sejak siang, bahkan tidak ada di dalam kamarnya.

Aku membuka pintu depan. Di sudut sebelah kanan halaman rumah, aku melihat sosoknya yang sedang berdiri. Ya, aku menemukannya.

"Mas, aku disuruh mama pang ...."

Namun, di sana bukan hanya ada mas Elham, tetapi juga ada kak Alan. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, tetapi menarik kerah kemeja yang mas Elham lakukan kepada kak Alan menjelaskan jika mereka bukan sedang mengobrol baik-baik saja.

"Ada apa?"

"Mama ... mama memanggil kita untuk makan malam," jawabku sedikit gagu menyaksikan kejadian nyaris pemukulan yang dilakukan mas Elham kepada kak Alan di depan mataku meski buru-buru dia melepaskan kak Alan dengan cara kasar mendorongnya hingga dia menabrak besi pagar rumah.

1
Indah Lestari
ayok moy...ikuti perintah suami.. kembalikan z bilang buat modal usaha....
Ayu
Semangat up nya Thor
Wanita Aries
Pasti resa sama dewi kecewa krna perusahaan dipimpin elham
Akasia Rembulan
selalu suka.. semangat thor.
Rahma Intan
lanjutkan semakin seru 😘
Vtree Bona
suka kka thor tetap semangat yah
Wanita Aries
Cerita bagus
Wanita Aries
Semangat thor
echa purin
/Good/
kalea rizuky
nikah model. apa abis lahiran cerai. aja percuma suami. cuek kayak. berasa g punya suami. mending janda
kalea rizuky
jangan2 anastasia pcr el bnr gk
Rahma Intan
😍
Rahma Intan
ceritanya bagus kenapa kurang yg like
hello shandi: Terima kasih, Kak😊
total 1 replies
Wanita Aries
Sabar ya moy
hello shandi: my pleasure... Thanks, Kak.
total 1 replies
Wanita Aries
Haduh dita malah kabur.
Wanita Aries
Hubungan gk ada komunikasi, gk terbuka, gk jujur ya ancur
Wanita Aries
Salah dita jg gk jujur dr awal. Namanya sebuah hubungan ya harus jujur
Wanita Aries
Nah lho
Wanita Aries
Kok trllu polos kali dita ini masa gk cari tau searching gtu
Wanita Aries
Krna kurangnya komunikasi diawal ya jdinya hambar
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!