jhos pria sukses yang di kenal sebagai seorang mafia, mempunya kebiasaan buruk setelah di selingkuhi kekasih hatinya, perubahan demi perubahan terjadi dia berubah menjadi lebih kejam dan dingin, sampai akhirnya dia tanpa sengaja membantu seorang gadis mungil yang akan menjadi penerang hidupnya. seperti apakah kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Jasad Tuan Huan Chen dibawa ke rumah duka. Di sana, Jasmin dan Jhos terlihat menangis di samping jasadnya. Jasmin tidak percaya suaminya pergi secepat itu, sementara Jhos sangat terpukul atas kepergian ayahnya yang begitu mendadak.
Tak lama kemudian, Nisa dan Sisi tiba di rumah duka. Begitu melihat jasad ayahnya, Sisi berlari dengan tangis yang pecah. Ia terlihat sangat terpukul, tidak siap menerima kenyataan bahwa ayah yang sangat ia sayangi telah pergi untuk selamanya.
"Ayah... Ayah... Ayah pasti bercanda, kan? Ayah tidak mati... Ayah hanya tidur, kan? Ayah akan bangun... Ayah... Sisi tidak mau Ayah tidur terus. Ayo bangun, Ayah!" teriak Sisi dengan air mata yang membanjiri wajahnya.
Wajah ceria Sisi yang biasa terlihat kini berubah menjadi penuh kesedihan. Gadis kecil itu terus menangis, memohon ayahnya untuk bangun. Namun, takdir berkata lain. Ia bahkan mulai mengamuk, berusaha mengguncang jasad ayahnya dengan harapan ayahnya kembali membuka mata.
Melihat keadaan Sisi, Jhos segera menghampiri adiknya. Ia tak tega melihat Sisi terus larut dalam kesedihan.
"Sayang, Ayah... Ayah sudah meninggalkan kita. Ayah sudah tidak ada lagi untuk selalu bersama kita. Kamu harus tenang, masih ada Kakak di sini. Ikhlaskan Ayah, ya," ucap Jhos dengan suara penuh kesedihan, sambil mencoba menenangkan Sisi.
Namun, Sisi tidak menghiraukan Jhos. Ia terus menangis histeris hingga akhirnya tubuhnya melemah dan ia pingsan. Jhos segera memeluk adiknya, lalu menggendongnya ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur.
Jhos sendiri tidak sanggup menerima kepergian ayahnya. Hatinya penuh dengan kesedihan dan amarah yang bercampur aduk. Ia keluar dari rumah duka, masuk ke mobilnya, dan mengendarai mobil itu menuju tempat yang biasa ia kunjungi untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Sesampainya di sebuah bukit, Jhos keluar dari mobilnya. Dengan tubuh bergetar dan wajah yang basah oleh air mata, ia berdiri di puncak bukit itu.
"Tidaaak! Kenapa ini harus terjadi?! Kenapaa?!" teriak Jhos keras, meluapkan semua emosinya. Ia mengingat masa-masa indah bersama ayahnya, saat mereka masih bersama sebagai sebuah keluarga. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Setelah merasa sedikit lebih tenang, Jhos kembali ke mobilnya. Namun, ia tidak langsung menjalankannya. Ia duduk termenung di belakang kemudi, tenggelam dalam pikirannya yang kacau.
Di dalam rumah duka, Jasmin masih duduk di samping jasad suaminya. Ia terus menangis, menggenggam tangan Tuan Chen yang kini terkulai tak bernyawa. Dengan lembut, ia mencium tangan suaminya dan membelai kepalanya yang kini kaku.
"Sayang, kenapa kamu pergi meninggalkan kami begitu cepat? Kami masih membutuhkanmu... Aku dan kedua anak kita tidak siap kehilanganmu. Tolong bangun, sayang... Jangan pergi..." ucap Jasmin dengan isak tangis yang memilukan.
Melihat keadaan Jasmin yang sangat terpukul, Ferdinan mencoba menenangkannya. Ia duduk di samping Jasmin dan menggenggam bahunya dengan lembut.
"Jasmin, kamu harus tabah. Kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi pada setiap makhluk hidup. Suamimu sekarang telah menghadap Sang Pencipta. Kamu harus ikhlas agar dia bisa tenang di sana," ucap Ferdinan dengan nada menenangkan.
Meski berat, Jasmin mencoba menerima kenyataan pahit ini. Namun, hatinya tetap hancur mengingat ia harus menjalani hidup tanpa suaminya yang selalu menjadi pelindung keluarganya.
Nisa Menghibur Jasmin Nisa menghampiri Jasmin yang masih menangis di samping jasad Tuan Huan Chen. Ia memeluk wanita itu dengan lembut, berusaha memberikan kekuatan. "Tante, yang sabar dan kuat, ya. Ikhlaskan Om... Mungkin ini memang waktunya untuk meninggalkan Tante. Kita semua pasti akan mengalami hal seperti ini, terkadang kita yang pergi, dan terkadang kita yang ditinggalkan. Itu sudah menjadi bagian dari hidup," ucap Nisa, mencoba menghibur Jasmin.
Jasmin menoleh ke arah Nisa, lalu membalas pelukan itu dengan tangis yang masih membasahi wajahnya. Ferdinan yang berada di dekat mereka menambahkan, "Kamu harus kuat, Jasmin. Jangan biarkan anak-anakmu melihat kamu seperti ini. Jika kamu terlihat begitu rapuh, mereka akan semakin bersedih."
Jasmin menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Kalian benar... Aku harus kuat demi anak-anakku," katanya dengan suara yang sedikit gemetar.
Ia lalu menatap jasad suaminya dengan penuh cinta dan berbisik, "Sayang, tenanglah di sana. Aku akan menjaga anak-anak kita, seperti yang selalu kamu inginkan. Aku mencintaimu, selamanya."
Hari Pemakaman Tuan Huan Chen Keesokan harinya, jasad Tuan Huan Chen dimakamkan. Upacara pemakaman berlangsung besar, dihadiri oleh keluarga besarnya dari Amerika, teman-teman dekat, dan para kolega. Semua yang hadir merasa kehilangan, tidak menyangka beliau meninggal di usia yang masih terbilang muda, 45 tahun.
Keluarga Jonson, termasuk Jonson sendiri, juga hadir di pemakaman tersebut. Selain itu, ayah Anita dan Anita turut datang untuk memberikan penghormatan terakhir.
Namun, suasana semakin haru ketika Sisi kembali mengamuk di pemakaman, menolak menerima kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal. Dengan tangis yang memecah suasana, ia berteriak, "Ayah tidak mati! Ayah hanya tidur! Jangan kuburkan Ayah!".
Sisi terus mengamuk hingga akhirnya kembali pingsan. Jhos dan Jasmin yang melihat hal itu semakin sedih. Mereka berusaha tegar, tetapi tangisan Sisi membuat luka di hati mereka semakin dalam.
Setelah upacara selesai, para tamu menyampaikan belasungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan. Satu per satu mereka pulang, hingga akhirnya hanya tersisa Jhos, Jasmin, Nisa, dan Ferdinan di makam tersebut. Sisi telah dibawa pulang lebih awal karena kondisinya yang pingsan.
Nisa Menghadapi Jhos Nisa mendekati Jhos, yang berdiri termenung di dekat makam ayahnya. Ia mencoba menyapa Jhos untuk menghiburnya, tetapi sebelum ia sempat berbicara, Jhos sudah memotongnya dengan nada dingin. "Kenapa kamu ke sini? Aku tidak butuh belas kasihan darimu. Pergi."
Nisa terdiam sejenak, mencoba menahan air matanya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Jhos, aku tahu aku salah. Tapi tolong, maafkan aku. Aku tidak mau kamu terus bersikap seperti ini kepadaku. Aku tidak bisa tenang kalau kamu menjauhiku begini."
Tanpa memperdulikan reaksi Jhos, Nisa memeluknya dari belakang. "Aku mencintaimu, Jhos. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku baik-baik saja tanpa kamu," ucapnya dengan penuh haru.
Jhos sempat terdiam, merasakan kehangatan pelukan Nisa. Namun, ia segera melepaskan diri dan berbalik, menatap Nisa dengan dingin. "Dengan alasan apa kamu memelukku? Aku tidak sudi kamu menyentuhku! Kamu adalah wanita munafik. Di depan terlihat baik, tapi bermain di belakangku!" Jhos melontarkan tuduhan yang tajam.
Nisa terdiam, namun ia tidak ingin menyerah. Dengan penuh keberanian, ia berkata, "Cukup, Jhos! Aku tidak kuat lagi kamu perlakukan seperti ini. Aku tidak seperti yang kamu pikirkan! Aku berani bersumpah, laki-laki yang pernah menyentuhku hanya kamu. Apa salah aku mencintaimu? Apa salah aku menyapamu setelah semua yang kita lewati? Kalau bukan karena aku mencintaimu, aku tidak akan memberikan segalanya untukmu."
Air mata mengalir di pipi Nisa saat ia melanjutkan, "Sekarang, terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi ingat ini, aku tidak akan berhenti mencintaimu. Kalau kamu terus mengabaikanku, semoga Tuhan memberikan aku kekuatan untuk melupakanmu dan menemukan pengganti yang lebih baik."
Setelah meluapkan semua isi hatinya, Nisa berbalik pergi. Ia berlari meninggalkan Jhos, yang kini berdiri mematung. Kata-kata Nisa menggema di pikirannya, membuatnya sadar bahwa selama ini ia telah salah paham. Ia ingin mengejar Nisa, tetapi tubuhnya terasa kaku, dan Nisa sudah menghilang dari pandangannya.
Jasmin dan Ferdinan Di sisi lain, Ferdinan berdiri di belakang Jasmin, yang masih duduk di depan makam suaminya. Dengan sabar, Ferdinan menemaninya sampai Jasmin merasa tenang. "Jasmin, sudah cukup. Hari sudah mulai gelap. Kita harus pulang. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, nanti suamimu merasa bersalah di sana karena meninggalkan kamu yang tidak mengikhlaskannya. Pulanglah, anak-anakmu membutuhkan kamu untuk menghibur mereka. Bukankah kamu sudah berjanji akan menjaga mereka?" ujar Ferdinan lembut.
Mendengar ucapan itu, Jasmin menghapus air matanya. Ia menatap Ferdinan, lalu tersenyum kecil sambil mengangguk. "Kamu benar. Aku harus kuat demi anak-anakku," jawabnya.
Akhirnya, mereka meninggalkan makam Tuan Huan Chen dan pulang bersama, membawa kesedihan yang masih berat di hati mereka