Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Bayang-Bayang Rahasia
Desahan lembut menggema di kamar hotel mewah yang diselimuti kehangatan cahaya lampu redup.
Clarissa bersandar di pelukan David, tubuhnya terbungkus selimut putih yang kusut. Nafas mereka masih berat, tapi bukan karena rasa bersalah. Justru sebaliknya, karena perasaan yang terlalu lama mereka pendam.
"Aku akan wisuda sebentar lagi," ucap Clarissa pelan, membelai lengan David.
David tersenyum, mengecup kening gadis itu. "Akhirnya kamu bisa lepas dari semua itu. Dari rumah itu... dari Madeline... dari Nathan."
Clarissa tak langsung menjawab. Matanya menerawang ke langit-langit.
"Aku hamil, David. Tiga minggu."
Keheningan menyelimuti kamar sesaat. Lalu David menatapnya dengan mata membelalak. "Kau serius?"
Clarissa mengangguk pelan. "Aku nggak main-main. Aku udah periksa sendiri."
David bangkit duduk. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan. Justru kegembiraan.
"Ini bagus! Ini justru... sempurna!"
Clarissa menatapnya bingung. "Bagus?"
"Kita bisa manfaatkan ini. Anak ini... bisa jadi kunci masa depan kita, Clarissa. Kau harus teruskan hubunganmu dengan Nathan. Kita nikahi dia. Dan nanti, bilang saja anak ini anaknya."
Clarissa mengerutkan kening. "Nggak bisa, David. Nathan nggak pernah menyentuhku. Bahkan meskipun kami sekamar... dia nggak pernah melakukan apapun. Dia terlalu... menghormati perempuan. Dia jaga batasan, bahkan saat aku mencoba menggoda."
David tampak berpikir keras. Ia berjalan bolak-balik di depan ranjang, seperti sedang menghitung risiko dan peluang.
"Lalu... kalau begitu, kita harus bikin skenario lain. Tapi intinya tetap sama: kau harus tetap menikahinya. Kita butuh dia. Kau tahu kondisi keluargaku. Utang-utang itu... kita nggak bisa bayar kecuali dapat sokongan dari keluarga Alvaro."
Clarissa menunduk. "Aku tahu. Tapi kadang... aku takut. Madeline mulai curiga. Nathan juga. Apalagi Celeste... dia terlalu pintar."
"Tenang saja. Kita masih punya waktu. Kau sudah berada di posisimu sekarang. Tinggal jaga sikap dan tunggu waktu yang tepat untuk mainkan kartu ini."
Clarissa menarik napas panjang. "Aku takut kalau anak ini tahu siapa ayahnya. Aku takut... kalau dia nanti tahu semua ini hanya permainan."
David duduk kembali di sampingnya, menggenggam tangannya erat. "Dia nggak akan tahu. Yang penting sekarang... kita pastikan masa depan kita aman. Aku janji, setelah semua ini selesai, kita bisa hidup bersama, Clarissa. Dengan anak kita."
Clarissa hanya menatap mata David, mencari kepastian yang bisa menenangkan hatinya. Tapi jauh di dalam sana, ada suara kecil yang mulai meronta. Apakah semua ini benar? Ataukah mereka hanya membangun kebohongan yang terlalu tinggi?
*
Keesokan harinya, Clarissa kembali ke rumah keluarga Alvaro. Ia menyambut Nathan dengan senyum lembut seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Namun saat ia membuka tas tangannya di ruang tengah, sebuah benda tipis jatuh ke lantai.
Nathan menoleh dan memungutnya lebih dulu. Sebuah kartu akses hotel, dengan logo yang familiar dan tanggal penggunaan yang sangat baru.
Clarissa menahan napas sepersekian detik, lalu cepat-cepat tersenyum dan mengambil kartu itu dari tangan Nathan.
"Itu... kartu dari event kampus kok. Udah lama," ujarnya ringan, meski nada suaranya terdengar sedikit dipaksakan.
Nathan tak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan. Tapi sorot matanya berubah. Tidak marah. Tidak cemburu. Tapi... waspada.
Clarissa kembali melangkah seperti biasa, tapi ia tahu—dalam hati Nathan, mungkin, untuk pertama kalinya... mulai muncul keraguan.
Esok hari akan kembali penuh dengan senyuman pura-pura dan skenario palsu. Tapi untuk malam ini, mereka bersembunyi dalam bayang-bayang rahasia yang hanya mereka bagi berdua.