Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Tuan Putri, Clara Delsman
Pada pandangan pertama, Ketika Herald melihatnya, kedua matanya membelalak, tak bisa mengalihkan pandangan.
[Apakah dia seorang malaikat?!]
Gadis itu begitu memikat. Rambut pirangnya menjuntai hingga ke pinggang, dengan ujung bergelombang yang berkilau tertimpa cahaya matahari. Kulitnya putih cerah, selembut salju. Posturnya mungil, tingginya hampir sejajar dengan Herald. Gaun putihnya yang dihiasi garis emas semakin memperkuat kesan bak malaikat yang turun ke bumi.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Ketika Herald menatap mata gadis itu, dia merasakan ada yang berbeda. Cahaya dalam matanya tampak redup dan buram. Gadis itu tidak menatap siapa pun secara langsung—seolah sedang larut dalam pikirannya sendiri.
Astalfo melangkah ke depan, berdiri di antara mereka.
"Nak Herald, perkenalkan, dia adalah putriku—Clara Delsman, putri bungsu keluarga ini."
Mendengar nama itu, Herald hanya mengangguk tanpa berkata-kata. Matanya masih terpaku pada Clara, seolah ingin menatapnya lebih lama.
Clara, yang diperkenalkan oleh ayahnya, segera memberi salam dengan anggun. Dia menundukkan kepala sedikit, menyilangkan kaki kanan ke belakang, lalu mengangkat ujung gaunnya sejengkal dari tanah.
"Clara Delsman, salam kenal," ucapnya singkat.
Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Herald dan semua orang di ruangan itu terkejut.
[Eh, apa yang dia lakukan?]
Alih-alih menghadap Herald, Clara justru menunduk ke arah tembok kosong.
[Kenapa dia memberi salam pada tembok?!]
Astalfo segera mendekatinya dan membimbingnya. "Eh, Clara, kamu salah arah. Seharusnya menghadap ke sini."
Clara mengangguk dan mencoba lagi.
"Clara Delsman, salam kenal."
Kali ini, dia kembali melenceng, menunduk ke arah lain, jauh dari Herald. Herald dan Charlie kembali tercengang.
[Apa-apaan dengan gadis ini...?]
Astalfo berusaha membantunya lagi. "Clara, agak sedikit ke kiri."
Namun, bukannya bergeser ke kiri, Clara justru berputar sepenuhnya dan menghadap para pelayan yang berdiri di belakangnya. Para pelayan pun saling berpandangan, bingung dengan tingkahnya.
Astalfo akhirnya menahan kepala Clara dengan kedua tangannya dan membalikkan tubuhnya agar menghadap Herald dengan benar.
Herald dan Charlie hanya bisa saling berbisik.
"Hei, Charlie, apakah hanya aku, atau kamu juga merasa ada yang aneh dengan putri ini?"
Charlie menegurnya, "Tuan Herald, tolong jaga ucapan Anda." Namun, setelah melirik Clara, dia menambahkan, "Tapi... aku juga merasa ada yang tidak biasa."
Pada awalnya, Herald begitu terpesona oleh kecantikan Clara. Namun, setelah melihat tingkahnya yang aneh, kesan sempurna itu lenyap begitu saja. Ia bahkan mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan gadis itu.
Astalfo tiba-tiba tertawa kecil sambil menepuk pundak Clara. "Hahaha, maaf atas kebingungan ini. Putriku memiliki keterbatasan dalam penglihatannya..."
Dia menunjuk ke arah mata Clara, yang tampak buram.
Herald langsung menajamkan pandangannya, meneliti mata gadis itu lebih seksama.
Astalfo melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. "Putriku tidak bisa melihat."
Seketika, ruangan itu menjadi hening. Herald dan Charlie saling berpandangan, mencerna kata-kata tersebut.
[Dia... tidak bisa melihat?]
Herald masih terpaku pada fakta yang baru saja dia ketahui. Clara, gadis yang sejak awal membuatnya merasa ada sesuatu yang janggal, ternyata memiliki kecacatan penglihatan. Seketika, rasa bersalah menyelimuti hatinya. Dia sadar bahwa dirinya sempat memiliki prasangka buruk hanya berdasarkan pengamatan sepintas.
"Oh, yah! Tidak apa-apa, saya juga tidak tahu menahu soal ini." Herald akhirnya membuka suara, meskipun ada sedikit kepanikan dalam nada suaranya. Dia lalu menundukkan badannya dengan hormat dan memperkenalkan diri. "Perkenalkan, nama saya Herald Enhart. Saya akan bertugas sebagai pengawal pribadi Anda, jadi mohon kerjasamanya."
Clara tidak memberikan reaksi apa pun. Mata birunya yang tampak kosong tetap terarah lurus ke depan, tanpa ekspresi. Herald sedikit bingung, tetapi dia tetap berdiri tegap, menunggu responsnya.
Astalfo, yang melihat situasi itu, menghela napas sebelum akhirnya berbicara. "Clara, apa kamu dengar? Mulai besok dia akan menjadi pengawal pribadimu."
Clara hanya mengangguk pelan, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Herald merasa ada sesuatu yang aneh dalam keheningan itu. Seolah-olah Clara sama sekali tidak tertarik dengan keberadaannya. Namun, dia memilih untuk tidak mempermasalahkannya.
Astalfo lalu beralih kepada seorang pria yang berdiri di dekatnya—Hermas, kepala pelayan Mansion. "Hermas, bawa Tuan Herald dan Charlie ke kamar mereka. Sekalian ajarkan kepada Herald bagaimana rutinitas yang harus dia lakukan selama bertugas di sini."
"Baik, Yang Mulia," jawab Hermas dengan hormat.
Astalfo kemudian menatap Herald dan Charlie. "Kalian bisa ikut bersama dengan Hermas. Dia akan menunjukkan kamar kalian."
""Baik."" Mereka menjawab serentak, lalu mengikuti langkah Hermas keluar dari ruangan.
Saat para pelayan dan para tamu telah pergi, ruangan itu menjadi sunyi. Hanya tersisa Astalfo dan putrinya, Clara.
Astalfo menatap Clara dengan tajam, dan tanpa bisa ditahan, urat di dahinya mulai terlihat. Dia benar-benar kesal.
"Clara, tadi kamu sengaja, kan?" tanyanya dengan nada penuh kecurigaan.
Clara tetap diam. Dia sedikit menundukkan kepalanya, tetapi tidak memberikan jawaban yang jelas.
Astalfo mendengus pelan, lalu menghela napas panjang. "Dengar, Clara," ucapnya dengan suara lebih tenang, meski tetap mengandung ketegasan. "Pengawal kali ini adalah anak dari orang kepercayaan Ayah. Jadi, jangan sampai kamu berbuat masalah, sama seperti yang kamu lakukan dengan pengawal-pengawal sebelumnya, oke?"
Clara terdiam sejenak, lalu akhirnya membuka mulutnya perlahan.
"Baik," jawabnya pendek.
Astalfo masih menatapnya dengan penuh keraguan, tetapi dia memilih untuk tidak memperpanjang masalah. Bagaimanapun juga, besok adalah awal dari hari baru, dan dia hanya bisa berharap bahwa Herald bisa bertahan lebih lama daripada pengawal-pengawal sebelumnya.
***
Sementara itu, di dalam Mansion.
Hermas, Herald, dan Charlie berjalan melewati lorong-lorong panjang yang dihiasi lilin dan karpet merah. Mansion keluarga Duke memang luas, tetapi suasananya terasa begitu hening. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di sepanjang koridor.
Setelah melewati beberapa belokan, mereka tiba di lantai dua. Hermas berhenti di depan sebuah pintu yang tampak kokoh, lalu berbalik ke arah Charlie.
"Jadi ini adalah kamar Anda, Tuan Charlie," ujarnya sambil menunjuk ke pintu itu.
Charlie mengangguk. "Mm, terima kasih." Sebelum masuk, dia menoleh ke arah Herald dan berkata, "Tuan Herald, kalau begitu saya duluan, ya."
"Ya," jawab Herald singkat.
Charlie pun masuk ke dalam kamarnya, membawa semua perlengkapannya. Hermas dan Herald kemudian berjalan beberapa langkah lagi hingga tiba di depan pintu lain yang berada di sebelah kamar Charlie.
"Dan ini adalah kamar Anda, Tuan Herald," ujar Hermas sambil menunjuk ke pintu kayu berukir yang terlihat lebih sederhana dibandingkan ruangan-ruangan mewah yang sebelumnya mereka lewati.
Herald mengangguk pelan. "Baiklah, terima kasih karena sudah mengantarkan kami ke sini."
"Iya, ini sudah menjadi tugas saya untuk melayani tamu dari luar," jawab Hermas dengan sopan.
Saat Herald hendak membuka pintu, Hermas tiba-tiba menyodorkan sebuah kertas kepadanya.
"Tuan Herald, ini kertas yang berisi jadwal rutinitas yang harus Anda lakukan besok. Harap dipelajari sebelum hari berganti."
Herald menerima kertas itu dan melihatnya sekilas. Tulisan di atasnya tertata rapi, berisi daftar tugas dan jam-jam penting yang harus diingatnya.
"Terima kasih," ucapnya, lalu menggenggam kertas itu erat.
Hermas memberi anggukan kecil sebelum berbalik pergi, meninggalkan Herald sendirian. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar, Herald akhirnya membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam.
Saat pintu tertutup, dia menghela napas panjang.
[Kehidupan baruku dimulai sekarang.]
Di dalam ruangan itu, Herald mulai menyadari bahwa dia telah melangkah ke dalam dunia yang sama sekali berbeda dari yang pernah dia kenal. Rutinitasnya sudah tertulis dengan jelas di atas kertas di tangannya. Tidak ada jalan untuk mundur lagi.
Malam itu, Herald duduk di ranjangnya sambil membaca jadwal rutinitas yang diberikan kepadanya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tetapi satu hal yang pasti—hidupnya di Mansion ini akan jauh dari kata mudah.