Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Marcel menyusul cahaya
.
Tirai malam menutupi desa, membawa serta keheningan yang hanya sesekali dipecah oleh suara jangkrik.
Cahaya masih duduk bersandar di kepala ranjang, tubuhnya terasa lemas setelah mendengar pengakuan ibunya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah juga, membasahi pipinya. Ia merasa seperti terombang-ambing di tengah lautan yang luas, tanpa tahu arah mana yang harus dituju.
Di tengah kegalauannya, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Nama Kak Marcel tertera di layar, pria yang dicintainya, pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Mengusap air matanya, Cahaya segera mengangkat panggilan itu.
"Halo, assalamualaikum, Kak?" sapanya.
Di seberang telepon, Marcel mengerutkan kening. Ia merasakan ada yang aneh dengan suara Cahaya. Pria itu bahkan menjauhkan ponselnya dari telinga lalu memperhatikan layar. Memastikan yang ia hubungi benar-benar Cahaya.
"Yank, kamu kenapa? Suaramu serak. Apa kamu menangis? Ada masalah apa?" tanya Marcel dengan nada cemas.
Cahaya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku, aku tidak tahu, Kak. Apakah kita benar-benar jadi menikah atau tidak," jawab Cahaya lirih.
Marcel terkejut mendengar jawaban Cahaya. "Apa-apaan kamu ini? Apa maksudmu? Kenapa bicara ngelantur seperti itu? Ada apa yang sebenarnya terjadi?" Tanpa sadar nada suara Marcel meninggi.
Dengan suara bergetar, Cahaya menceritakan semua yang terjadi. Tentang pertemuan mereka dengan petugas KUA, tentang dirinya yang ternyata masih memiliki ayah, tentang dirinya yang tidak bisa menggunakan wali hakim sebagai wali pernikahan.
"Jadi, aku harus bagaimana, Kak? Aku bingung," ucap Cahaya di akhir ceritanya.
Marcel terdiam sejenak, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar. Ia juga terkejut mendengar berita itu. Ia juga tidak menyangka bahwa Cahaya masih memiliki ayah.
Kenapa harus ada masalah serumit itu di awal dirinya ingin membangun rumah tangga bersama dengan gadis yang dicintainya. Tapi sekejap kemudian kesadarannya kembali. Pria itu tetap mencoba berpikir jernih. Mungkin itu adalah ujian awal untuk mereka.
"Yank, dengarkan aku," ucap Marcel dengan nada lembut. "Jangan khawatir. Aku akan menyusulmu sekarang juga."
"Sekarang? Tapi, Kak? Ini sudah larut."
"Tidak ada tapi-tapian. Aku akan ke sana. Tunggu aku, ya?"
Cahaya mengangguk. “Tapi Kakak harus janji untuk berhati-hati di jalan, ya?”
Cahaya menutup panggilan, air matanya kembali menetes. Tetapi gadis itu merasa lega karena Marcel selalu ada untuknya.
Di rumah keluarga Dirgantara, suasana malam itu menjadi heboh. Marcel tiba-tiba mengatakan bahwa ia akan menyusul Cahaya saat itu juga, padahal seharusnya ia baru berangkat besok pagi.
"Marcel, kamu gila, ya? Kenapa tiba-tiba mau nyusul Cahaya malam-malam begini?" Marvel berteriak tidak setuju.
"Aku harus ke sana, Kak. Cahaya sedang ada masalah," jawab Marcel dengan nada cemas.
"Masalah apa?" tanya Tuan Dirgantara. Pria tua yang selalu berpikir tenang. Menghadapi masalah dengan kepala dingin.
Marcel menjelaskan secara singkat apa yang dialami oleh Cahaya. Tuan Dirgantara, Nyonya Syifana, dan Marvel terkejut mendengar penjelasan Marcel.
"Ya ampun, kasihan sekali Aya," ucap Nyonya Syifana dengan nada iba.
"Kalau begitu, biarkan saja Marcel menyusul Aya, Pa," usul Nyonya Syifana.
Tuan Dirgantara mengangguk setuju. "Baiklah, tapi kamu tidak boleh menyetir sendiri, Marcel. Biar Pak Diman yang mengantarmu. Papa tidak mau mengemudi dengan kondisi panik," ucap Tuan Dirgantara dengan nada khawatir.
Marcel mengangguk patuh. Ia tahu, keluarganya sangat menyayanginya dan tidak ingin ia celaka.
"Terima kasih, Pa, Ma, Kak," ucap Marcel dengan tulus. “Kalau begitu aku berangkat dulu ya,” pamitnya.
"Hati-hati di jalan, Sayang. Kabari kami kalau sudah sampai," pesan Nyonya Syifana.
Marcel mengangguk merangkul mamanya sebentar memberikan pelukan, dan segera berpamitan.
Mobil yang dikemudikan oleh Pak Diman melaju membelah jalanan yang sepi. Marcel duduk di kursi belakang dengan pikiran yang berkecamuk.
“Pak Diman, apa tidak bisa lebih cepat lagi jalannya?” Marcel merasa kesal karena tidak sabar untuk segera sampai di rumah Cahaya.
"Ini juga sudah cepat, Tuan Muda Sabar ya, sebentar lagi juga sampai," ujar Pak Diman mencoba menenangkan Marcel.
Marcel mendengus kesal, tapi juga tak bisa membantah.
*
*
*
Mentari pagi merayap naik, menyinari desa Karangjati dengan kehangatan. Mobil yang dikemudikan Pak Diman akhirnya tiba di depan rumah Cahaya.
Bu Ningsih, yang sedang menyapu halaman depan, terkejut melihat kedatangan mobil mewah itu. Ia menghentikan pekerjaannya dan menatap mobil itu dengan rasa ingin tahu.
Marcel segera turun dari mobil, menghampiri Bu Ningsih dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Bu," sapa Marcel sopan.
Bu Ningsih segera mengenali wajah Marcel. Pria yang pernah membantu putrinya menyelesaikan masalah dengan Yuda."Tuan Muda? Tuan muda sudah sampai di sini pagi-pagi begini?" tanya Bu Ningsih.
"Saya menyusul Aya, Bu. Apa Aya baik-baik saja?" tanya Marcel. “Oh, iya. Marcel saja. Jangan Tuan Muda.”
Bu Ningsih menggelengkan kepala. “Aya belum keluar kamar, Nak. Mungkin masih tidur. Semalam dia kelihatan sedih sekali. Ibu tidak tega membangunkannya," jawab Bu Ningsih dengan nada khawatir.
“Apa yang terjadi sebenarnya, Bu?” tanya Marcel.
“Ayo kita masuk dulu, Nak.” Bu Ningsih melangkah lebih dulu dan Marcel mengiringi di belakangnya. Begitupun ketika bu Ningsih duduk di kursi yang ada di ruang tamu. Marcell segera duduk di samping bu Ningsih dan menggenggam tangan wanita tua itu.
Bu, maaf jika saya lancang," kata Marcel dengan sopan. "Tapi, bisakah Ibu ceritakan siapa ayah Cahaya yang sebenarnya?"
Bu Ningsih terkejut dengan pertanyaan Marcel. Ia menatap Marcel dengan ragu, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Saya berjanji, Bu. Saya akan membantu menemukan ayah Aya. Saya ingin Aya mendapatkan restu dari ayahnya, dan saya ingin ayah Aya hadir sebagai wali pernikahannya," lanjut Marcel dengan nada meyakinkan.
Mendengar janji Marcel, hati Bu Ningsih luluh. Ia tahu bahwa Marcel adalah pria yang baik dan tulus. Ia berharap Marcel akan membantu putrinya menemukan kebahagiaan.
"Ayah Cahaya bernama Rasyid Wiranegara," ucap Bu Ningsih lirih. "Dia seorang pengusaha sukses."
Marcel mengerutkan kening. Nama itu terdengar familiar di telinganya.
Bu Ningsih pun kemudian menceritakan sekilas tentang Rasyid Wiranegara, ayah kandung Cahaya.
Marcel mendengarkan cerita Bu Ningsih dengan seksama. Sesekali tangannya terkepal dan rahang yang ikut mengeras. Ia merasakan sakit yang dirasakan wanita tua itu.
“Apa boleh saya masuk ke kamar Aya? Saya hanya ingin melihatnya saja,” pinta Marcel setelah bu Ningsih selesai bercerita.
Bu Ningsih mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Marcel, calon suami Cahaya, benar-benar terlihat sangat mencintai putrinya. "Tentu saja, Nak.”
Bu Ningsih segera berdiri lalu melangkah untuk menunjukkan kamar Cahaya. "Itu kamarnya, Nak. Masuk saja. Ibu berterima kasih karena nak Marcel begitu baik dan mencintai Putri Ibu," ujar Bu Ningsih.
“Ibu jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.”
pas kan lagunya bang haji