NovelToon NovelToon
SAYAP PATAH MARIPOSA

SAYAP PATAH MARIPOSA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Lari Saat Hamil
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.

Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...

Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LANGIT VS LAURA

Setibanya di rumah, Langit menutup pintu belakang mobil dan menarik napas panjang, membiarkan ketenangan menyelimuti ruang kecilnya. Malam itu terasa berbeda, bukan hanya karena kegelapan yang diterangi lampu, tapi karena kehadiran Arum membuat hatinya seakan menemukan tempat untuk beristirahat—tenang, hangat, penuh harapan baru, juga pulang.

Langit kemudian membuka pintu rumahnya, dan aroma hangat dari dalam langsung menyambutnya. Bunga krisan. Bunga yang telah menjadi saksi atas pertemuan-pertemuannya bersama Arum.

Tak lama, Laura muncul dari ruang tamu, kali ini, tak ada senyum ramah terukir di wajahnya. Dari balik sapuan maskara yang masih melekat, ia menatap Langit sejenak, seolah menangkap perubahan kecil di aura anaknya malam ini—ada sesuatu yang berbeda, lebih ringan dan hangat dibanding biasanya.

"Jawab Mama, kamu darimana?" Tanyanya dengan intonasi datar, nyaris tegas setengah kecewa.

"Nama kenapa?"

Laura mendesis sambil melipatkan kedua lengannya di bawah dada. "Kamu tanya Mama kenapa?" Gelengnya. "Langit, justru Mama yang tanya sama kamu... apa yang terjadi sama kamu? Kenapa sikap kamu itu akhir-akhir ini aneh! Kamu bahkan mengabaikan Viona!"

Viona. Ketika nama itu kembali terdengar, raut wajah Langit tiba-tiba berubah. Matanya yang semula santai dan hangat, seketika menegang, menatap kosong ke depan seolah mencoba menahan badai perasaan yang muncul begitu saja. Jantungnya berdetak lebih cepat, campuran rasa menyesal dan kecewa menyelimuti dirinya.

Langit menelan napas, berusaha menenangkan diri, namun setiap detik pengucapan nama itu seakan menabrak memori yang ingin ia lupakan. Langit tahu, ini bukan sekadar nama—tapi bayangan masa lalu yang masih menempel di hatinya, dan sekarang muncul kembali di hadapannya tanpa aba-aba.

"Cukup, Ma!" Ucap Langit. Langkahnya bergerak menuju sofa lalu duduk di sana dengan lemas. Bukan karena lelah fisik, melainkan ada beban yang tiba-tiba menghimpit dadanya. "Mama gak usah bawa-bawa nama dia lagi. Aku dengan dia... udah berakhir!"

Laura mendesis dan bergerak cepat menghampiri Langit. Ia kemudian duduk di hadapan anak semata wayangnya itu.

"Apa... berakhir?" Ulang Laura, berusaha menatap mata Langit dan memastikan tak ada kebohongan di mata anaknya itu.

"Jadi, Mama masih gak percaya? Langit udah bilang berapa kali sama Mama, kalau aku dan Viona... itu gak ada lagi hubungan apa-apa!" Jelas Langit, suaranya lantang, lugas dan jelas. "Kita udah berakhir. Kita udah selesai!"

"Oh!" Laura mendesis dengan gelengan di kepala. "Gak semudah itu kamu mengakhiri hubungan kamu bersama Viona, Langit!"

Langit mulai menoleh lurus ke arah mata Laura yang sedari tadi mengunci geraknya.

"Kamu bisa saja mengakhiri hubungan kamu dengan Viona. Tapi tidak dengan Viona... Mama, dan Tante Marta! Kamu lupa... dengan janji yang diucapkan Ayah Viona ketika beliau meninggal? Kamu lupa, Langit?!"

"Ma." Seru Langit, nadanya setengah meninggi menahan letupan emosi. "Kalau Mama di posisi aku... apa yang akan Mama lakukan ketika pasangan kita berkhianat... selingkuh, bahkan di hadapan kita, ketika kita udah percaya sama dia?! Apa, Ma? Mama pasti melakukan hal yang sama, bukan?"

"Langit, tapi ada saatnya manusia itu berubah."

Langit mendesis pahit, "Berubah?"

"Mama paham isi hati kamu, Langit. Tapi apa kamu gak lihat cara Viona menyampaikan segala bentuk penyesalannya terhadap kamu yang udah sia-siain cinta kamu selama ini?"

"Ma." Tandas Langit segera. "Aku mungkin bisa memaafkan." Angguknya, "Tapi asal Mama tahu... barang yang rusak dan diperbaiki, itu gak bisa seperti semula."

Laura menggeleng. "Tapi Viona itu bukan barang, Langit! Jangan samakan Viona sama barang yang udah rusak!"

Adit menghela napasnya panjang, lalu mengangguk. Di saat yang sama ia beranjak dan matanya masih tak lepas terkunci pada wajah sang Ibu. "Kalau Mama anggap orang yang mengkhianati kita dulu bukan barang yang rusak... terus kenapa Mama gak bisa kasih kesempatan sama Papa buat rujuk dan kembali ke keluarga ini...? keluarga kita, Ma?"

Laura mendadak bisu. Tatapannya terhenti, bibirnya tercekat, seolah kata-kata anaknya menembus pertahanan yang selama ini ia bangun dengan susah payah. Suasana di ruang tamu menjadi hening, hanya terdengar detak jam dan napas mereka masing-masing.

“Kenapa Mama diam?” Ucap Langit, suaranya lembut tapi tegas, masih menatap Laura yang kini setengah tertunduk. "Mama pasti merasakan hal yang sama denganku, kan? Aku juga sama, Ma... kalau aku jadi Mama... aku akan melakukan hal yang sama, nyata di depan aku sekarang!"

Laura menghela napas panjang, suara hatinya seakan bergelut sebelum akhirnya ia menatap Langit. "Langit..."

"Ini bukan soal permintaan Ayah Laura yang udah meninggal, Ma! Ini soal perasaan. Jadi, stop buat Mama terus menjodohkan aku kepada seseorang yang tak lagi menghargai kepercayaan dan ketulusan hati kita!" Tandas Langit. "Viona bukan gadis yang aku cintai lagi, Ma. Masa depan aku... harapan aku... itu bukan hanya tentang Viona. Lebih lagi kalau aku mengharapkan dia."

Langit mendesis pahit, dadanya terasa sesak oleh campuran marah, kecewa, dan sakit hati yang menumpuk. Tanpa menoleh lagi, ia kemudian berbalik dan melangkah pergi, langkahnya berat tapi tegas, meninggalkan Laura yang terdiam di tempat.

“Langit, tunggu Mama belum selesai bicara, Langit...!” Suara Laura memanggil sambil beranjak dari sofa, mencoba menghentikannya, tapi Langit tak menoleh. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa terhalang oleh dinding emosi yang ia bangun sendiri.

Langit tahu, menghadapi situasi ini, meski ingin tetap dekat dengan ibunya, hatinya belum cukup kuat untuk bertahan dalam percakapan yang penuh luka.

Laura berdiri membeku, matanya mengikuti sosok putranya yang pergi. Kini, dadanya terasa sesak, penuh rasa bersalah tapi juga kecewa.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!