NovelToon NovelToon
The Ceo'S Heart Subtitute

The Ceo'S Heart Subtitute

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Pengganti / CEO / Chicklit
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: flower

--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**

--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 34 Kekecewaan Luna

"selamat Luna aku tidak menyangka kamu menjadi mahasiswa lulusan terbaik!" Lisa memeluk tubuh Luna dengan erat. Luna tersenyum dan membalas pelukan sahabatnya, namun diam diam hati dan pikirannya tertuju pada satu orang, yaitu suaminya. 'mengapa dia belum datang? bahkan acaraku sudah selesai' batin Luna menahan kecewa.

"tar ya Lun, orang tua gue udah Dateng" Lisa berlari menuju kedua orang tuanya dan memeluk mereka dengan erat. Luna tersenyum melihat sahabatnya bahagia, kemudian Luna berjalan di kursi taman menunggu kedatangan Bryan disana. dia yakin pria itu pasti akan datang, karena dia pasti akan mengesampingkan pekerjaan nya daripada dirinya.

Sudah hampir satu jam berlalu, Luna masih duduk di bangku depan gedung auditorium universitas, menatap panggung wisuda yang kini mulai kosong. Beberapa orang sudah mulai meninggalkan tempat, termasuk sahabatnya, Lisa, yang pulang ditemani kedua orang tuanya.

Namun Luna tetap setia menunggu. Hatinya campur aduk. antara harap, kecewa, dan sedikit cemas. Setiap suara langkah di lantai membuatnya menoleh, berharap melihat sosok Bryan muncul dari pintu masuk.

Ia menunduk sejenak, menatap tangannya yang tergenggam di pangkuan. “Kenapa… belum datang juga?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Meski lelah dan sedikit kecewa, Luna menegakkan tubuhnya. Ia menolak pergi sebelum melihat suaminya, berharap Bryan akan muncul di antara kerumunan orang yang tersisa. Di matanya, setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya.

Karena kelelahan menunggu, akhirnya Luna tertidur di atas kursi, masih memeluk buku rapor dan sertifikat penghargaan di pangkuannya. Rambutnya sedikit berantakan, dan pipinya yang lelah sedikit memerah.

Di sekelilingnya, aula wisuda mulai sepi. Lampu-lampu hangat memantul di lantai kayu, namun tidak ada satupun buket bunga yang datang menghampirinya. tidak ada tanda dari siapa pun, termasuk dari suaminya.

Di dalam tidur lelahnya, Luna tersenyum kecil, membayangkan hari itu seharusnya menjadi momen bahagia. Namun kenyataannya, rasa sepi dan penantian yang panjang membungkusnya. Hatinya ingin bangun dan pergi, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk menolak rasa kantuk. Keheningan aula terasa menekan, seolah waktu berhenti sejenak, meninggalkan Luna sendiri di antara prestasi dan penantian yang belum terjawab.

Beberapa menit berlalu, mata Luna terbuka perlahan karena merasa lengannya disentuh seseorang. Ia menoleh dan terkejut melihat Frengky berdiri di sampingnya. “Kenapa kamu ada di sini, Luna?” tanya Frengky, matanya penuh keheranan.

“Mm… a-aku sedang menunggu seseorang,” jawab Luna, tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kecewanya.

Frengky tersenyum, lalu menyerahkan sebuah buket bunga mawar padanya. “Ini untukmu.”

Luna menerima buket itu, matanya berbinar sejenak. Senyum tulusnya terpancar meski hatinya tetap berharap itu dari Bryan. “Terimakasih,” gumamnya lembut.

“Ahhh, Luna…” Frengky tiba-tiba memegang dadanya, membuat Luna panik dan mundur sedikit. “Kenapa?” tanya Luna, cemas.

Frengky tertawa ringan, matanya menatap Luna penuh rasa kagum. “Jantungku bergetar… ketika melihatmu tersenyum,” ucapnya sambil menebar senyum jahil yang membuat pipi Luna memerah. Luna mendengus sebal dan mengabaikan pria itu. "Apakah kau ingin ikut aku pulang?” tanya Frengky, suaranya lembut tapi penuh perhatian.

Luna menggeleng pelan. “Pulanglah duluan… bentar lagi aku akan dijemput seseorang” jawabnya, matanya menatap Frengky dengan tulus. Frengky tersenyum, sedikit menahan rasa kecewa. “Baiklah kalau begitu… aku pulang lebih dulu” ucapnya sambil melambaikan tangan.

Luna membalas dengan anggukan kecil, tetap tersenyum tipis. Saat Frengky melangkah pergi, Luna memeluk buket bunga mawar itu lebih erat, matanya menatap pintu keluar aula, menunggu dengan sabar kedatangan seseorang yang ia harapkan Bryan. Sore hari, Luna kembali ke penthouse dengan langkah pelan. Wajahnya menampakkan kesedihan yang sulit disembunyikan. Begitu memasuki ruang tamu, ia menatap sekeliling, kosong dan sunyi. Tidak ada tanda-tanda Bryan di rumah.

“Mungkin dia benar… dia benar-benar sibuk, sampai-sampai tidak bisa menyempatkan waktu untukku…” lirih Luna, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan ruangan.

Ia menurunkan tasnya, duduk di sofa, dan menatap jendela lebar yang menyorot cahaya senja. Hatinya berat, terasa sepi, meski pikirannya terus mencoba memahami keadaan suaminya. Setiap detik terasa lama, dan Luna merasakan kombinasi kecewa dan rindu yang bercampur aduk.

Di tangannya, buket bunga mawar dari Frengky masih ia genggam, tapi senyum kecil yang sempat muncul pun kini memudar, digantikan oleh rasa sepi yang menekan hatinya.

.

.

.

.

Di rumah sakit.

Vera menatap Bryan dengan senyum lemah, tangannya menyentuh tangan pria itu perlahan. “Terimakasih sudah menemaniku, Bryan… maaf sudah merepotkanmu,” ucapnya dengan suara serak, namun tulus.

“Jangan katakan itu, Vera… kau sudah menjadi tanggung jawabku,” balas Bryan, suaranya tenang namun lembut. Matanya menatapnya dengan perhatian yang nyata, seolah ingin menenangkan setiap kecemasan Vera.

Namun ketika matanya bertemu dengan mata Vera, pikiran Bryan tiba-tiba melayang. ‘Kenapa aku merasa mereka ini mirip…’ batinnya, jantungnya sedikit berdebar. Ada sesuatu dalam tatapan Vera yang mengingatkannya pada Luna—senyum, cara ia menatapnya, kelembutan yang sama.

Bryan menelan ludah, mencoba mengembalikan fokusnya pada Vera. Tapi hatinya tidak bisa sepenuhnya lepas dari bayangan Luna yang terus menghantui pikirannya. Konflik antara tanggung jawab dan perasaan pribadi mulai mengusik tenangnya, membuatnya tersadar bahwa hari ini, ia terjebak di antara dua dunia yang sama-sama penting baginya.

Bryan menatap Vera sejenak, lalu tersenyum lembut. “Kamu mau makan apa?” tanyanya, suaranya tenang tapi hangat, mencoba mengalihkan perhatian Vera dari rasa sakitnya.

Vera mengerutkan kening sejenak, tersenyum lemah. “Hm… aku… mungkin sup saja,” jawabnya pelan, matanya tetap menatap Bryan dengan rasa terima kasih.

Bryan mengangguk, matanya tetap lembut namun pikirannya sesaat melayang ke Luna. ‘Seandainya Luna yang ada di sini… apa aku akan bersikap sama?’ batinnya, sedikit menyesal sekaligus bingung dengan perasaannya sendiri. Bryan menatap Vera sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku akan menyuruh asisten Jhon membelikannya untukmu,” ucapnya, nada suaranya tenang namun penuh perhatian.

Vera mengangguk pelan, senyumnya tipis tapi terlihat lega. “Terimakasih, Bryan… kau selalu baik padaku,” bisiknya, suara lemah tapi tulus.

Bryan hanya tersenyum, matanya tetap lembut menatap Vera, namun pikirannya lagi-lagi terselip pada Luna. Ia tahu hatinya tak sepenuhnya tenang, ada rasa bersalah yang samar karena tidak bisa hadir untuk Luna di momen wisudanya, sementara ia harus ada untuk Vera. “Hentikan kekhawatiranmu, Vera. Aku di sini untuk memastikan semuanya baik-baik saja,”

Vera menatap Bryan dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, suaranya lesuh dan penuh keraguan. “Kau pasti tidak mau dengan wanita berpenyakit seperti aku, kan?” ucapnya, hampir seperti bisikan.

Bryan menelan ludah, hatinya berdebar. Ia tahu pertanyaan itu tulus berasal dari ketakutan Vera, namun sekaligus menusuk perasaannya sendiri. Ia ingin menenangkan gadis itu, tapi pikirannya lagi-lagi terseret pada Luna.

“Vera… jangan bicara seperti itu,” jawab Bryan dengan lembut, menahan rasa bersalah yang membuncah di dadanya. “Aku tidak pernah melihatmu seperti itu. Aku… aku di sini karena aku peduli padamu.”

Vera menunduk, sedikit terisak, namun ada rasa lega di matanya. Bryan menatapnya lama, dan sejenak pikirannya kacau, dilema antara rasa tanggung jawabnya kepada Vera dan cinta serta penyesalan terhadap Luna.

1
Anto D Cotto
menarik
Dwi Winarni Wina
kasian luna diperlukan kayak pembantu sm orgtua angkatnya...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!