NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Anna tawuran yuk!!!!

Aku berdiri di depan pintu kamar cukup lama sebelum akhirnya melangkah keluar.

Lorong rumah terasa asing, padahal aku sudah seminggu lebih di sini.

Mungkin karena hari ini aku datang bukan sebagai sepupu, bukan sebagai penjaga—

tapi sebagai seseorang yang harus tahu diri.

Anna ada di dapur.

Ia berdiri membelakangi ku, sedang mencuci gelas.tenang belum menyadari kehadiranku .

Anna. memang selalu setenang itu untuk seorang yang hatinya baru saja diguncang.

“An,” panggilku.

Ia berhenti.

Tidak menoleh.

“Ada apa, Lif?”

Nada suaranya datar. seperti biasa dasar Anna.

aku masih sedikit menjaga jarak.

Aku melangkah mendekat, tapi berhenti di agak jauh di dekat meja.

Tidak masuk ke wilayahnya.

“Aku mau pamit,” kataku singkat.

Tangannya yang memegang gelas berhenti bergerak.

Air masih mengalir, membasahi wastafel.

“Mau ke mana?” tanyanya.

“Balik ke Singapura.”

Sunyi.

Anna mematikan keran, mengelap tangannya dengan lap dapur, lalu berbalik.

Tatapannya lurus. Tegak.

Seperti biasa.

“Pekerjaan?” tanyanya.

“Iya.”

Aku tidak berbohong.

Hanya… tidak menyebutkan semua.

“Besok pagi,” tambahku.

Anna mengangguk pelan.

Dia tidak kaget. tapi tidak menahan ku juga,padahal dalam hati aku sangat berharap Anna menahan ku.

“Ya sudah, hati hati ” katanya.

Itu saja.

Tidak ada pertanyaan.

Tidak ada larangan.

Anna kenapa kau tidak mengatakan jangan pulang dulu bang, gitu kek, kayak nya aku terlalu banyak berharap, boleh nangis gak sih.?

An, tidak tahu kah kamu kau membuat dadaku nyeri.

Aku menghela napas pelan.

“An,” ucapku lagi.

“Kemarin… soal yang aku bilang—”

“Lif,” potongnya cepat.

“Tolong jangan bahas itu sekarang.”

Nada suaranya tetap tenang, tapi aku tahu:

ini batas.

Aku mengangguk.

“Oke.”

Aku ragu sejenak, lalu berkata jujur.

“Aku nggak mau kamu mikir aku pergi karena kamu marah.

Atau karena aku nggak peduli.”

Ia menatapku. Lama.

“Terus kenapa kamu pergi?” tanyanya pelan.

Karena aku takut.

Karena aku jatuh terlalu dalam.

Karena aku tidak ingin anakmu berharap pada orang yang belum tentu boleh menetap.

Tapi yang keluar dari mulutku hanya:

“Karena kadang menjauh itu satu-satunya cara biar semuanya tetap tetap baik baik saja.”

Anna tersenyum kecil.

Bukan senyum bahagia.

Anna memang selalu begitu,orang nya terlalu sering belajar menerima.

“Kamu memang selalu begitu, datang dan pergi sesukamu” katanya.

“Kayak maling, main kabur menjauh gitu aja.”

Aku terdiam.

“Lif,” lanjutnya, kali ini lebih lembut,

“aku nggak melarang kamu pulang.”

Aku mengangguk.

“Aku tahu.”

“Tapi,” katanya, suaranya turun satu tingkat,

“jangan pergi sambil mikir kalau ada yang berubah.”

Aku menatapnya.

“Anna aku tahu kamu berusaha bangkit dari keterpurukan.

Aku juga masih harus belajar banyak.”

Aku tersenyum tipis.

“Itu sebabnya aku pulang, dulu.”

Kami saling diam.

Tidak ada pelukan.

Tidak ada janji.

Hanya dua orang dewasa yang sama-sama menahan sesuatu.

Aku melangkah mundur sedikit .

“An, aku mau pamit ,” kataku.

“Iya,” jawabnya.

Aku berbalik.

Dan tepat sebelum aku melangkah keluar dapur,

suara Anna terdengar lagi—pelan, hampir tak terdengar.

“Maaf, Lif…dan terimakasih

sudah selalu ada, untuk aku dan anak anak.”

Langkahku berhenti.

Aku tidak menoleh.

Kalau aku menoleh, aku tahu aku tidak akan jadi pergi.

“Jaga diri, An,” kataku akhirnya.

Aku berdiri berfikir sejenak, aku harus buat Susana kaku ini, sedikit cair.

“An,” kataku lagi sebelum benar-benar pergi.

Nada suaraku sengaja ku buat ringan—setengah bercanda.

“Kita tawuran yuk.”

Anna menoleh cepat. Alisnya terangkat sebelah.

“Apaan sih lo,” katanya refleks.

Aku nyengir kecil.

“Biar pamitnya nggak kayak abis sidang cerai kedua.”

Anna mendengus. Bukan tertawa, tapi tidak kesal juga.

“Lo tuh aneh, tau nggak?”

“Udah dari dulu,” jawabku enteng. " baru sekarang lo sadar.”

Ia menyilangkan tangan di depan dada. Tatapannya menusuk, tapi tidak sekeras tadi.

“Terus tawuran, tawuran seperti apa? mau kayak gimana, baku hantam.?”

Aku berpikir sebentar, lalu mengangkat tangan setengah.

“Gunting-batu-kertas. Best of three.”

“Hah?”

Anna menatapku seolah aku benar-benar bodoh.

“Kalau gue menang,” lanjut ku santai,

“lo senyum dulu lah sebelum gue pergi.”

“Kalau gue menang?” tanyanya menantang.

“Gue yang minta maaf. Tanpa debat.”

Hening sepersekian detik.

Anna berdecak.

“Lo yakin?”

“Yakin,” jawabku. “Gue jarang menang juga.”

Ia menghela napas, lalu mengangkat tangannya.

“Oke. Ayo.”

Kami berdiri saling berhadapan di dapur.

Situasi yang harusnya berat… berubah absurd.

“Siap?” tanyaku.

“Siap.”

“Satu… dua… tiga!”

Tanganku membentuk batu.

Anna—kertas.

Dia menang.

Aku mendengus pelan.

“Yah. Nasib.”

Anna menahan senyum.

Bukan senyum penuh, tapi… muncul.

“Sekali lagi,” katanya cepat.

Kami ulangi.

Kali ini aku batu.

Dia gunting.

Aku menang.

“Seri,” kataku. “Sekali lagi.”

Putaran ketiga.

“Satu… dua… tiga!”

Kami sama-sama mengeluarkan gunting.

Hening.

Kami saling pandang.

Lalu, seperti harapan ku, Anna tertawa kecil.

Pendek, nyaris tak terlihat Tidak lama—tapi nyata. dasar kutub!!

Dadaku menghangat.

Bukan karena menang, akhirnya sepupuku itu kembali tersenyum.

karena lelucon konyol ku.

“Oke,” katanya sambil mengibaskan tangan.

“Gila. Tawuran lo receh banget.”

“Tapi berhasil,” balasku. “Lo ketawa.”

Anna berhenti tertawa, lalu menatapku lebih lembut.

“Sedikit.”

“Cukup,” jawabku.

1
Dew666
🍭🔥
Ann: terimakasih banyak 🙏🙏🙏
total 1 replies
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!