Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Sesampainya di dalam mobil, Kaivan belum menyalakan mesin mobilnya. Dia masih bergeming dengan pandangan lurus ke depan. Belum siap meluapkan pertanyaan yang sedari tadi mengganggunya. Begitu pun Shana, hanya menyandarkan kepalanya ke kaca yang belum diturunkannya. Pandangannya tertuju ke arah luar. Beberapa tetes embun yang tadi terjatuh sudah dia usap. Dia bukan perempuan lemah yang harus menangisi sikap Kaivan.
Lama. Keduanya sama sekali belum bisa untuk saling berdebat tentang apa yang baru saja terjadi. Keduanya memilih diam. Senyap. Hening. Dalam waktu yang lama.
Meski bising di otak mereka sudah meluap-luap keduanya diam saja. Bahkan, sekarang Kaivan sudah melajukan mobilnya. Membawa pulang Shana tanpa menjelaskan suatu hal. Membuat pikiran Shana semakin terperosok jatuh.
Tidak pula Kaivan mengucapkan sepatah kata pun, meski hanya kata maaf. Tidak. Dia tidak melakukannya.
Hal paling kecil seperti mengusap kepala Shana, juga tidak dia lakukan. Dia hanya sibuk menghembuskan nafas gusarnya dan sesekali menggeleng mengingat kejadian di cafe tadi.
Dia bahkan tidak memperhatikan perempuan di sampingnya yang tengah menggigit bibir kuat demi tidak mengeluarkan suara. Dia tahan sekuat mungkin sakit di dadanya. Pundaknya seakan ditimpuk beban berat. Membuat air matanya kian berderai tanpa suara.
Gerimis mulai turun. Setidaknya menemani keheningan dalam keduanya. Kaivan sempat menoleh, namun posisi Shana masih sama. Dia tidak mengubah posisi apapun. Hanya menyembunyikan wajahnya. Setidaknya Kaivan tidak akan tahu bahwa dia sedang menangis. Menangisi sikap Kaivan yang mengecewakan.
Keduanya masih berdiam diri. Bahkan, ketika mobil telah sampai di depan rumah. Shana hanya turun, dengan mandiri tanpa menunggu Kaivan harus membukakan pintu untuknya. Setelah memastikan Shana sudah masuk ke dalam rumah, Kaivan melajukan mobilnya kembali ke kantor.
Setelah mendengar deru mesin mobil Kaivan menjauh, Shana berjalan gontai menuju sofa. Tubuhnya lemas membayangi semua kenyataan yang ada. Bahkan, Kaivan meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Seakan-akan dia mengakui semua yang dilontarkan perempuan busuk itu.
Tubuh Shana merosot, jatuh ke lantai. Dia tidak lagi menahan Isak tangisnya. Dia tumpahkan semuanya. Tidak lagi dia usap air matanya. Dia hanya menekuk kedua lutut dan memeluknya. Menenggelamkan wajahnya ke dalam dan sesekali mengerang. Lama. Dia menangisi semuanya. Padahal, baru saja dia ingin memperjuangkan pernikahannya. Tapi, laki-laki itu tampak tidak ingin diperjuangkan. Lalu, haruskah Shana pasrah saja? Menyerah, padahal baru tahap awal?
...***...
Deru mesin mobil Kaivan terdengar saat waktu sudah lewat tengah malam. Tepatnya di jam hampir dua malam. Dia tidak mengetuk pintu, karena dia juga memiliki satu kunci cadangan. Maka, setibanya di dalam rumah, Kaivan segera berjalan menuju dapur. Mengambil air minum dari water dispenser. Meneguknya sampai tandas. Tenggorokannya kering sekali karena hanya terisi oleh kopi.
Setelahnya, dia melangkah ke arah tudung saji di atas meja makan. Membukanya dan … wah, di sana ada makanan. Ada daging iga bakar plus sambal terasi, sayur sawi yang di atasnya ditaburi bawang putih goreng. Kaivan tersenyum dengan air ludah yang sudah dia teguk berkali-kali.
Namun, dia menutupnya kembali. Belum mengambil langkah selanjutnya untuk segera makan, meski perutnya sudah lapar sekali. Dia hanya menarik satu kursi, dan duduk. Kedua sikunya dia tumpukan ke atas meja, lalu memegangi kepalanya yang hampir pecah.
Berkali-kali dia menghembuskan nafas gusar. Memandangi pintu kamar yang setengah terbuka. Lama. Dia belum berdiri untuk melangkah. Belum berniat melakukan apapun. Dia hanya terus berpikir. Berpikir.
Apa yang harus dia katakan pada Shana?
Apakah dia harus jujur?
Kaivan membayangi bagaimana sedihnya Shana saat Kaivan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Sempat mengumpati dirinya sendiri. Dia juga sempat memutar balik demi meminta maaf atas kesalahannya. Namun, saat mendengar suara tangis dari dalam rumah. Kaivan tidak jadi membuka pintu. Tangannya hanya menyentuh gagang pintu, tanpa mendorongnya.
Dia mendesah lagi. Lagi, mengusap wajahnya kasar. Hal apa yang harus dia katakan? Bagaimana dia menjelaskannya agar perempuan itu bisa mengerti?
“Mas? Sudah pulang?”
Pertanyaan itu membuat Kaivan mendongak. Menatap pada Shana yang telah memakai piyama berwarna biru sedang melangkah ke arah dapur. Tidak terdengar apa-apa lagi, selain water dispenser.
Kaivan melirik jam dinding. “Kamu belum tidur?”
Shana belum menjawab, mungkin sedang minum. Atau … mungkin dia sedang diam untuk menahan luap amarahnya.
“Belum. Aku nungguin kamu. Kamu udah makan?”
Kaivan mengernyit. Dia perhatikan gerak-gerik Shana yang tampak biasa saja. Seolah-olah tidak ada masalah di antara mereka. Bahkan, perempuan itu tengah menyendokkan nasi, dan menyodorkannya ke depan Kaivan. Kenapa semuanya tampak aneh?
“Mas …” Suara Shana menyadarkan Kaivan dari lamunan. “Atau … kamu udah makan, ya?” Hendak mengambil kembali piring tadi. Namun, Kaivan segera mencegahnya.
“Aku belum makan,”ujar Kaivan. Dia mendapat anggukan, lalu keduanya sama-sama menikmati makanan mereka. Dalam hening, meski otak mereka berisik. Namun, mulut mereka seakan kena sihir yang tidak mampu untuk bersuara lagi.
Sampai selesai makan dan Shana tengah membersihkan piring bekas makan mereka. Kaivan benar-benar belum mengatakan apapun. Dia juga belum beranjak dari sana. Masih duduk di kursinya.
Shana menghela nafas panjang dan berat. Pundaknya seperti diremas kuat. Sesaknya melanda lagi. Padahal dia menunggu sedari tadi hanya untuk menunggu Kaivan menjelaskan semuanya. Namun, sepertinya … hanya Shana yang menganggap masalah ini masalah besar. Dan, mungkin saja bagi Kaivan itu hanyalah masalah sepele. Sehingga tidak bisa dia ungkapkan apa yang seharusnya dia jelaskan.
“Shan …?” Kedua tangan Kaivan terjulur dari belakang, memeluk kedua pinggang Shana. Dagunya diletakkan di atas pundak Shana.
Shana sempat terlonjak kaget, namun dia tidak memberontak. Dia biarkan saja Kaivan melakukannya. Sesaat dia merasa matanya sudah kembali berembun saat tangan Kaivan bergerak mengusap perutnya yang sedikit membuncit. Ada helaan nafas panjang yang Shana dengar.
“Aku minta maaf, ya …?” Suara berat dari Kaivan terdengar lelah. “Aku terlalu pecundang hingga tidak membela kamu di sana. Di keramaian orang banyak. Seharusnya aku membela kamu. Seharusnya aku tidak membuat semua orang di sana menertawai kamu. Maaf, ya …?”
Shana diam saja. Dia masih membersihkan piring kotor. Atau … mungkin itu hanya kepura-puraannya?
“Bahkan, sampai pulang pun aku tidak menjelaskan apapun. Aku memang sepecundang itu. Aku gagal,”ujarnya.
Dan, Shana … masih diam. Bergeming yang dia pilih. Sehingga dada Kaivan terasa berat. Lama Kaivan belum melanjutkan ucapannya. Menunggu sampai Shana membalas permintaan maafnya. Namun, lama juga Shana tidak bersuara. Sehingga Kaivan memutuskan untuk kembali berbicara.
“Apa yang dia katakan?” Kaivan dapat merasakan tubuh Shana membeku kaku. Terdengar juga helaan nafasnya pendek-pendek. Jadi, “Apa dia mengatakan tentang—”
“Apa kamu pernah tidur sama dia?”tanya Shana membalik badan. Dia tatap mata lelah Kaivan dengan sorot mata tajam. “Apa sejauh itu yang kalian lakukan?”
Kaivan menggeleng cepat, “Shana dengar, apa yang dia katakan tidak harus kamu dengar. Dia hanya membual.”
Shana mengernyit, menatap heran dengan ucapan Kaivan. “Lalu, kenapa kamu datang, Mas? Kenapa kamu datang di saat dia bilang bahwa ‘kamu ada di sana hanya untuk melindungi dia’!”pekik Shana. Tangannya mengusap embun yang telah membasahi sudut matanya.
Bahkan, tangan Kaivan tidak terangkat hanya untuk sekedar mengusap air mata itu. Bibirnya tidak mengucapkan apapun lagi. Membuat pikiran Shana kemana-mana.
Shana mengangguk, menyetujui perkiraannya sedari tadi. Namun, “Mas … apa kamu nggak bisa jelasin semuanya? Pelan-pelan aja. Aku pasti dengerin,”pinta Shana dengan nada memohon.
Setidaknya Kaivan mengatakan apapun untuk mematahkan argumennya sedari tadi. Setidaknya barang satu kalimat saja yang bisa Shana pegang.
Namun, Kaivan tetap membisu.
“Kamu jahat, Mas!” Dan akhirnya Shana pergi setelah mendorong tubuh Kaivan yang masih terdiam. Langkahnya cepat-cepat mengarah pada kamar utama. Setibanya di ambang pintu, Shana berbalik. Sesak melanda saat tahu Kaivan tidak mengejarnya. Bahkan, dengan santainya lelaki itu memilih duduk di ruang tengah. Melepas lelah di sana.