NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19: Tuan Muda Sudradjat

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam ketika Raya sudah selesai bersiap-siap untuk pergi ke kediaman keluarga Sudrajat. Semua persiapan telah selesai, tinggal menunggu kedatangan sang sopir yang akan mengantarnya.

Pakaian yang Liu kirimkan sudah sampai sejak sore tadi, dan kini Raya mengenakan dress yang Liu pilihkan untuknya. Dress tersebut berwarna hitam dengan bahan satin yang halus, memeluk tubuhnya dengan sempurna. Sebatas lutut, dress itu membuat penampilan Raya begitu memukau dengan kesederhanaan yang elegan. Rambutnya yang tergerai rapi, sedikit bergelombang, menambah kesan anggun pada dirinya. Walaupun dengan penampilan yang sederhana, kecantikan alami Raya terpancar begitu jelas.

Drtttttttt... Drtttttttt... Drtttttttt.

Ponsel yang sedang Raya mainkan tiba-tiba berdering. Tertera nomor asing di layar, dan dengan sedikit ragu, Raya memutuskan untuk menerima panggilan tersebut.

"Hallo!!" Suara seorang wanita terdengar dari seberang telepon, lembut dan ceria.

"Iya, hallo, ini siapa ya?" Raya bertanya, sedikit bingung.

"Ini Cantika, kak. Aku ada di depan rumah kakak, apa kakak sudah siap sekarang?" Tanya Cantika, suara ceria itu terasa begitu familiar.

"Akh... Iya, ada. Kenapa nggak langsung turun saja... Sebentar..." Raya menjawab dengan sedikit terburu-buru. Dia segera membuka pintu utama dan berjalan ke teras rumahnya setelah tahu bahwa yang menghubunginya adalah Cantika.

"Kamu di mana?" Tanya Raya penasaran, menatap sekeliling dengan harapan melihat Cantika segera muncul.

Tak lama setelah itu, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan rumah. Pintu mobil terbuka, dan seorang wanita cantik keluar dari dalam mobil. Raya segera mengenali wajahnya, Cantika, putri dari Liu. Cantika mengenakan dress sebatas lutut berwarna biru laut yang terlihat anggun dan elegan, dengan rambut panjang yang tergerai sempurna di bahunya. Tampilannya begitu mempesona. Raya melangkah menuju mobil dengan hati yang sedikit berdebar.

Rumah yang diberikan oleh Liu memang tidak besar menurutnya, namun bagi Raya, rumah ini terasa sangat luas. Dengan dua lantai dan lima kamar tidur yang masing-masing memiliki kamar mandi pribadi, rumah itu memberikan rasa aman dan nyaman. Tersedia juga garasi mobil yang cukup luas, serta sedikit lahan kosong di depan rumah, yang memudahkan mobil untuk berhenti tanpa harus masuk ke dalam garasi. Meskipun berada di kawasan padat dengan bangunan rumah yang hampir serupa, Raya merasa betah dan nyaman tinggal di sini. Setidaknya, dia tidak lagi merasa seperti seorang gelandangan setelah dibuang oleh orang tuanya.

BACK TO STORY...

"Maaf kak, aku sedikit terlambat." ujar Cantika sambil tersenyum manis, melangkah keluar dari mobil yang baru saja diparkirkan di depan rumah Raya.

" Aku pikir cuma supir yang akan menjemputku? Aku kira kamu tidak benar-benar ikut, bukankah tadi Tante Ashanty bilang kalau sopir yang akan menjemputku?" Raya bertanya bingung dengan kedatangan Cantika. Ia sedikit terkejut melihatnya.

"Akh, iya kak... Mama menyuruhku untuk menjemputmu. Mama tidak jadi mengajak kamu makan malam di rumah, tapi kita akan makan malam di restoran. Oleh sebab itu, dia menyuruhku untuk menjemputmu langsung, agar kamu tidak pusing mencari tempatnya nanti." Cantika menjelaskan panjang lebar dengan suara ceria. Senyumannya yang hangat seakan menenangkan kebingungan Raya.

"Akh... begitu. Terima kasih ya. Oh iya, kenapa baju yang kita pakai sama? Apa aku salah?" Raya bertanya, kebingungannya semakin bertambah. Ia baru saja menyadari bahwa desain baju yang dipakai Cantika mirip dengan yang dipakainya. Hanya warna yang berbeda.

"Entahlah kak... Mama yang menyusun konsep ini. Aku hanya ikut saja. Aku tidak mau dia sedih karena aku tolak kemauannya." Cantika menjawab dengan tertawa kecil, lalu tersenyum hangat kepada Raya.

"Baiklah... Ayo, apa kita akan berangkat sekarang?" Raya bertanya, mengalihkan perhatian dari kebingungannya yang kini mulai reda.

"Iya, ayo kak... yang lain sudah menunggu." Cantika menjawab dengan semangat, dan mereka berdua segera berjalan menuju mobil.

Raya bergegas pergi, memastikan untuk mengunci pintu rumahnya terlebih dahulu. Setelah itu, ia naik ke dalam mobil bersama Cantika. Dengan mobil yang melaju pelan, mereka meninggalkan rumah yang sudah menjadi tempat perlindungannya dalam beberapa waktu terakhir.

Selama perjalanan, Raya terdiam, hanya memandangi jalanan malam yang gelap lewat kaca mobil. Lampu-lampu kota berkelip-kelip seiring dengan laju mobil, sementara pikirannya melayang jauh. Ia tidak pernah menyangka bahwa takdirnya akan seperti ini, terasingkan dari keluarganya sendiri dan diperlakukan layaknya anak oleh orang asing. Keputusan-keputusan yang diambilnya, tanpa banyak pilihan, membuatnya merasa semakin terpojok, meski ia berusaha menerima kenyataan ini dengan lapang dada.

Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara deru mesin yang memenuhi ruang. Cantika yang duduk di sampingnya tampak tidak terganggu, mungkin sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.

"Kakak, bagaimana dengan kuliahmu?" Tanya Cantika, membuka percakapan setelah beberapa waktu mereka hanya terdiam dalam perjalanan. Raya menolehkan pandangannya pada Cantika yang duduk di sampingnya, lalu memberikan senyuman ramah, seperti biasa.

"Semuanya lancar-lancar saja, aku sebentar lagi juga akan lulus," jawab Raya dengan nada santai, namun tetap menunjukkan kegembiraan dalam suaranya.

" Bagus sekali... Kudengar dari papa dan mama, kakak murid yang pintar dalam bidang akademik," kata Cantika dengan penuh pujian, mencoba menyelipkan kesan positif.

" Tidak terlalu... Tante Ashanty terlalu berlebihan," jawab Raya, merasa sedikit malu dengan pujian tersebut.

" Kalau mama dan papa sudah bicara seperti itu, berarti memang benar seperti itu kak, mereka tidak pernah meleset saat menilai seseorang," ujar Cantika, yakin dengan penilaiannya.

" Begitu kah?" Tanya Raya, meski ia merasa sedikit tidak nyaman dengan kata-kata pujian yang terus mengalir.

" Kamu akan lihat kedepannya kak!" jawab Cantika, dengan senyuman penuh harapan.

" Eoh... begitu..." (Raya mengangguk, tetapi hatinya terbayang kebingungannya) "Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mau menerima aku, Cantika," ujar Raya, mencoba mengalihkan perhatian.

" Aku hanya ikut apa yang mama katakan. Aku percaya kamu orang baik karena Mama sendiri yakin. Aku tahu, feeling Mama tidak pernah salah saat menilai seseorang," jawab Cantika dengan penuh keyakinan. Walau pelan, kata-katanya begitu jelas terdengar oleh Raya.

" Ah... begitu kah?" (Raya merespon, merasa agak terkejut dengan begitu banyak pujian) "Aku bahkan tidak tahu apakah diriku memang orang baik atau bukan," ucap Raya, sedikit merendah, mencoba meredam perasaan tidak nyaman.

" Oh iya, kak... Boleh aku bertanya?," Cantika berhenti sejenak, seolah berpikir untuk melanjutkan percakapan ini.

" Kenapa?" Raya menoleh ke Cantika yang tampaknya ingin melanjutkan obrolan. Cantika hanya menggelengkan kepalanya sejenak, lalu melanjutkan dengan sedikit keragu-raguan.

"Kakak, apa kamu memiliki pacar atau mungkin teman pria?," Ujarnya yang membuat Raya terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu. Tentu saja, pertanyaan seperti itu datang tidak terduga. Ia merasa sedikit canggung dan tidak siap untuk menjawabnya. Cantika menyadari ketegangan yang terjadi dan buru-buru meminta maaf.

" Ah, maaf... Apa ucapan ku tidak sopan?" tanya Cantika, terlihat sedikit khawatir, namun senyuman lembut dari Raya menenangkan suasana.

" Tidak apa-apa..." Raya menjawab sambil tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki pacar. Mana mungkin wanita seperti aku ada yang mau, dan aku pun tidak terlalu berharap. Aku lebih memilih fokus pada masa depanku," ujarnya, sambil menatap jalanan luar mobil yang mulai tampak gelap, sebuah pertanda mereka semakin dekat ke tempat tujuan.

Cantika mengangguk memahami, namun kemudian mengeluarkan komentar yang sedikit membuat suasana menjadi lebih ringan.

"Tapi kau sangat cantik, kak... Jika aku laki-laki, aku pasti sudah jatuh hati padamu. Sayangnya, aku wanita," ujarnya dengan senyuman nakal, membuat Raya terkejut namun tersenyum tipis. Hal itu ditanggapi oleh Raya dengan kekehan kecil.

"Ah, terima kasih, Cantika, tapi sepertinya aku lebih cocok fokus ke hal lain dulu," jawab Raya, sedikit bingung dengan pembicaraan yang mulai melenceng dari topik.

Cantika hanya tertawa pelan, dan kembali tertunduk sedikit, melanjutkan perjalanan yang semakin dekat menuju restoran yang telah ditentukan. Dalam diam, Raya kembali merenung, merenungkan kata-kata Cantika yang entah kenapa sedikit membuatnya merasa canggung. Apakah ia memang sudah siap untuk membuka hatinya? Tapi untuk sekarang, ia merasa lebih baik tetap pada fokus yang ada.

..........

Sementara itu, di sebuah restoran berbintang yang terletak di kawasan elite pusat Jakarta, suasana mewah dan elegan mengelilingi setiap sudut ruangan. Lampu gantung yang megah memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana intim namun tetap mewah. Meja yang dipilih tepat di tengah ruangan, dengan pemandangan indah ke luar jendela besar yang memperlihatkan gemerlap lampu kota Jakarta di malam hari. Seorang pria muda duduk dengan posisi agak gelisah. Pakaian yang dikenakannya sangat casual—sebuah kaos hitam yang dipadukan dengan celana panjang jeans dan jaket ringan—meskipun sederhana, ia tetap terlihat tampan dan elegan. Di sampingnya, seorang wanita yang lebih tua, mengenakan gaun hitam elegan, tersenyum sambil menatap putranya yang tampak cemas. Wanita itu, Liu, memiringkan kepala dengan nada menggoda, mencoba meredakan ketegangan yang ada.

"Kenapa gelisah begitu? Mama hanya akan mengenalkan mu pada seorang wanita, bukan menyuruhmu berperang. So, santai saja, jangan tegang seperti itu, tampan," ujar Liu dengan senyum nakal, menggoda putranya yang gelisah.

Ryan, putra Liu, menghela napas panjang dan meremas tangannya di atas meja. Ia menatap sekilas ke arah ibunya, matanya tajam namun penuh keengganan.

" Siapa yang gelisah, Mama? Aku hanya tidak nyaman di sini. Lagi pula, untuk apa Mama melakukan semua ini?" jawab Ryan dengan nada yang terdengar dingin, suaranya sedikit tajam namun tetap terkontrol. Liu menatapnya dengan tatapan lembut namun penuh harapan.

" Untuk apalagi?! Mama ingin kamu menikah, Ryan. Apa kau tidak lihat kalau Mama dan papa sudah tidak muda lagi? Mama juga ingin segera menggendong cucu seperti yang lainnya," ujar Liu dengan sedikit nada sedih, seolah mencoba membuka hati putranya yang keras kepala.

Raden memalingkan wajahnya ke jendela besar yang ada di sampingnya, matanya menatap kosong ke luar, seolah enggan terlibat dalam percakapan tersebut. Liu, yang sudah lama menginginkan seorang cucu, merasa putus asa.

Bukan pertama kalinya Liu berusaha menjodohkan putranya, Ryan. Namun, setiap kali perjodohan itu muncul, Ryan selalu menolaknya. Bahkan sebelum acara perkenalan berlangsung, Ryan sering kali memilih untuk tidak hadir, dengan berbagai alasan yang tak pernah benar-benar jelas. Keputusan Ryan yang selalu menolak membuat Liu merasa frustrasi. Ia sudah lelah mencoba, namun rasa khawatir dan harapan untuk melihat putranya menikah tidak pernah padam.

Tujuan Liu untuk menjodohkan Raya dengan Ryan sebenarnya bukan hal yang pertama kali. Raya bukanlah wanita pertama yang dikenalkan oleh Liu pada Ryan. Sudah banyak wanita lain yang sempat dipertemukan dengan Ryan, namun semuanya berakhir dengan penolakan. Liu bahkan sudah kehilangan hitungan berapa kali ia merasa gagal dalam perjodohan yang ia coba atur.

Namun, kali ini ia merasa ada sedikit harapan yang berbeda. Ia sangat berharap Raya akan diterima oleh Ryan, karena menurutnya, kali ini sedikit berbeda. Ryan akhirnya setuju untuk diajak berkenalan dengan Raya, meskipun masih ada sedikit ancaman dan paksaan dari sang ayah, Rudianto, yang tak ingin melihat anaknya terus-menerus menolak upaya-upaya orang tuanya.

Liu menyadari betul bahwa kali ini ada sedikit perbedaan. Wanita yang akan ia jodohkan dengan Ryan bukanlah seorang wanita yang berasal dari keluarga pengusaha besar atau rekan bisnis keluarga Sudradjat, seperti kebiasaan sebelumnya. Raya adalah gadis biasa sesuatu yang justru membuat Liu merasa lebih optimis. Ia tahu bahwa meskipun Raya tidak berasal dari latar belakang yang kaya atau berkuasa, wanita ini memiliki sifat yang baik, dan yang terpenting, ia percaya bahwa Raya bisa menjadi pilihan yang tepat untuk putranya.

Liu pun tidak mengharuskan Ryan atau anak-anaknya untuk menikahi seseorang yang memiliki status sosial yang setara dengan keluarga mereka. Bagi Liu, yang paling penting adalah kebahagiaan anak-anaknya. Selama pilihan itu baik menurut dirinya dan sang suami, serta sesuai dengan keinginan mereka, Liu akan selalu menerima dan mendukung. Yang ia inginkan hanyalah melihat anak-anaknya bahagia, bahkan jika itu berarti harus melepaskan harapan-harapannya untuk melanjutkan garis keturunan keluarga yang kaya raya.

"Aku bisa memberikannya, Mah, tapi tidak harus sekarang juga, kan? Ryan juga tidak bisa menerima wanita sembarangan hanya karena permintaan Mama," ujar Ryan, terdengar sedikit kesal.

"Kamu sudah mengatakan ini puluhan kali, Ryan, tapi pernahkah kamu menepatinya?" jawab Liu, dengan nada yang mulai mengandung keputusasaan.

"Aku akan mencari cintaku sendiri, Mah. Aku tidak mau menyakiti hati wanita manapun hanya karena aku tidak bisa mencintai dia," lanjut Ryan dengan suara yang lebih serius dan tegas, mencoba meyakinkan ibunya.

"Sampai kapan Mama dan Papa harus menunggu, Ryan? Usia kita sudah tidak lagi muda, sedangkan kamu masih asik dengan pekerjaanmu sendiri. Kamu tahu, Mama sedih saat kamu membohongi Mama dan pergi ke Belanda hanya untuk menolak wanita yang ingin kami kenalkan padamu. Kenapa sulit sekali membujuk mu soal ini, Nak?" ujar Liu, matanya sedikit berkaca-kaca mengenang kejadian beberapa tahun lalu. Saat itu, Ryan membohonginya dengan alasan pekerjaan, harus menetap beberapa bulan di Belanda. Namun kenyataannya, Ryan hanya ingin menghindari pertemuan dengan wanita yang akan diperkenalkan.

"Aku tetap tidak bisa membohongi hatiku sendiri, Ma. Dan soal itu, aku sudah meminta maaf pada kalian. Tapi sungguh, aku tidak suka pada semua wanita yang Mama kenalkan padaku," ujar Ryan, wajahnya tertunduk penuh penyesalan, seolah tak ingin melihat ekspresi kecewa ibunya.

"Yang sekarang beda, dia wanita baik-baik, Ryan. Dia berbeda dengan wanita-wanita lain, apa pun alasannya, Mama ingin kamu menikah dengannya. Maaf jika Mama kali ini sedikit egois terhadap keinginan Mama. Kau juga bukan anak kecil lagi, Ryan. Kau harus memiliki tujuan hidup yang jelas," ujar Liu dengan senyuman lembut yang terlihat sedikit dipaksakan.

"Aku juga memiliki tujuan hidup yang jelas, Mah. Apa aku harus dianggap pria yang tidak memiliki tujuan hidup hanya karena belum siap menikah? Tidak semua orang menyukai ikatan yang rumit itu, Mah, salah satunya aku. Lagipula, usiaku masih 29 tahun, dan itu belum terlalu tua. Bukankah Papa saja menikah dengan Mama di usia yang menginjak 37 tahun?" jawab Ryan dengan tegas, namun juga dengan sedikit kebingungan. Ia merasa ia berhak menentukan waktu untuk menikah, bukan karena tekanan dari orang tuanya.

Lagipula menurut nya menikah ataupun tidak itu tidak akan berdampak besar padanya. Hidup tanpa pasangan bukanlah sesuatu yang buruk.

"Heii, Ryan, kau ini pewaris utama di keluarga Sudradjat! Kau itu TUAN MUDA SUDRADJAT, apa kau lupa akan hal itu? Kenapa hanya untuk menikah saja susah sekali? Dan ya, jangan kamu samakan ayahmu dengan dirimu. Keadaanmu dan dirinya berbeda saat itu," ujar Liu, semakin geram. Ia mengingatkan Ryan bahwa status keluarga mereka mengharuskan ada tuntutan tertentu yang harus dipenuhi.

"Bukan susah, Mah," ucapan Ryan terhenti karena suara seseorang memanggil mereka.

"Mamah....." Panggil cantika yang baru saja tiba di restoran tersebut bersama Raya yang ada di sampingnya, Raya terpaku menatap ke arah Ryan begitu pun dengan Ryan yang ikut terdiam saat melihat sang adik menggenggam tangan Raya.

"Akhh... Kalian sudah datang! Kemari, lah!" ujar Liu dengan senyum ramah yang sudah sangat familiar, seolah tidak ada yang berubah. Raya dan Ryan langsung mengalihkan pandangannya bersamaan, sebuah kejadian yang tentu saja membuat Liu dan Cantika bertanya-tanya.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!