Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALANG SEKALI NASIBMU
HAPPY READING
Adam dan Ayra baru saja menerima sambutan hangat dari semua guru dan siswa Olympus School, setelah mengikuti perlombaan yang tentunya mengurasa isi otak selama sehari full, tentunya terbayar dengan lunas.
Adam dan Ayra tentu saja menempati posisi pertama, dengan posisi peringkat pertama menambah koleksi mendali, serta penghargaan keduanya. Nama keduanya pun menjadi perbincangan hangat pagi ini.
Seperti di kelas Ayra dkk.
“Lo emang ngak ada lawan Ayra, gue salut dan bangga punya sahabat kayak lo ini.” Serin merangkul hangat namun sedikit kasar juga.
“Jangan berlebihan Serin, aku biasa-biasa aja.” Ayra berusaha melepaskan pelukan erat Serin.
“Ih, lo nyakitin Ayra Serin! Lepasin ngak tangan lo dari Ayra,” pekik Novia.
Serin melepaskannya, menurutnya itu tidak menyakiti Ayra. novia saja yang selalu berlebihan. “Lo kalau mau meluk juga tu ngomong, jangan kek orang kepanasan di situ.”
“Ngak ya, kasian sahabat gue kegencet karena lo.” Novia memang posesif kepada Ayra. Bukan berarti Serin tidak, malah Serin mungkin lebih posesif kepada Ayra.
“Udah, kalian ini kenapa selalu adu mulut si?” Ayra melarai keduanya.
Novia menunjuk Serin dengan wajahnya. “Serin duluan yang suka mancing gue.”
Serin menunjuk dirinya sendiri, menatap Novia yang melihatnya dengan tatapan kesal. “Gue? Kapan Munaroh? Jangan fitnah lo ya!”
“Gue ngak fitnah ya, emang lo suka mancing gue marah-marah ngak jelas.”
“Idih, lo yang ngak jelas Novia.”
Ayra mundur, memilih pergi dari sana dari pada melarai keduanya. Tujuannya adalah taman belakang sekolah, dia ingin sendirian karena pikirannya yang terus saja mengingat kejadian tadi pagi di halte bus.
Menuruni tangga, melewati koridor kelas sepuluh, melewati gedung guru dan melewati belakang gedung kelasnya dan sampailah Ayra pada taman sekolah yang sepi.
Memilih duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di sana, suasananya menenangkan dan udaranya sejuk.
“Aku benaran mimpi deh kayaknya,” lirihnya. “Mana mungkin kakek hidup kembali?”
“Lo emang aneh, ngomong kok sama angin.”
Ayra memalingkan wajahnya ke kanan, tatapannya jatuh pada tubuh tinggi dengan seragam sekolah yang tidak rapi. “K-kak Bagas sejak kapan di situ?”
Bagas berjalan mendekat dengan kedua tangan diselipkan ke saku, rambutnya berantakan entah kenapa semakin membuat Bagas terlihat tampan.
“Lo ngak lupa dengan status lo kan?” Tanya Bagas setelah sampai di depan Ayra.
Ayra menatap Bagas dengan kening mengerut, jika boleh jujur Ayra tidak suka pada Bagas yang selalu membuatnya berpikir dua kali dengan ucapan laki-laki itu.
“Ckkk, gue harap lo emang budek dan pikun sialan,” semprot Bagas dengan kesal. Tatapannya seperti biasa, tapi kali ini lebih menghasut.
“A-ku tidak paham maksud kak Bagas,” lirihnya menunduk dengan kedua tangannya sibuk memainkan ujung rok sekolahnya.
“Geser!” Bagas mendorong tubuh kecil Ayra agar memberinya tempat di sebelah gadis itu.
Mereka duduk seperti pasangan yang baru saja jadian, masing-masing duduk di ujung kursi taman itu. Ayra dengan perasaan cemasnya dan Bagas dengan perasaan santai saja, bahkan Bagas menikmati angin yang membuat suasana hatinya kembali baik.
“Ngak ada gunanya juga gue jadiin lo babu,” ucap Bagas mulai membuka topik membuat Ayra melirik laki-laki itu.
“Gue hampir ngak pernah lihat lo di lingkungan sekolah,” lanjutnya lagi.
Yang dikatakan Bagas memang benar adanya, setelah kejadian pada gudang tempo lalu. Keduanya tidak pernah bertemu, lebih tepatnya Bagas yang sama sekali tidak bisa menemukan keberadaan gadis itu.
Lion dan Marsel juga sudah pernah mencari Ayra ke kelasnya namun sama sekali tidak menemukannya keberadaannya. Setelah itu, Bagas enggan mencari Ayra lagi. Mencari Ayra hanya akan membuang waktunya yang berharga.
“Lo ngak berguna,” semprot Bagas kembali.
Ayra menunduk, tiba-tiba saja perkataan Bagas mengingatkannya dengan ucapan Syan. “Iya, aku emang ngak berguna.”
Bagas melirik Ayra dari ekor matanya. “Cih, ngak jelas.”
“Ayra, lo emang pelakor. Awas aja lo anak sialan,” desis Kaliyah tidak senang dengan pemandangan di depannya.
&&&
Plak!
“Lo apain adik gue sampai nangis ha?”
Maverick melipat kedua lengan seragamnya, menghela napas dengan kasar. Lalu, kembali menatap Ayra yang menunduk dalam.
“Lo suka Bagas? Hum?” Tanya Maverick pelan.
Ayra menggeleng kuat, mana mungkin dirinya yang tidak ada apa-apanya dengan berani menyukai Bagas si kapten basket. Ayra rasanya dirinya gila jika saja dia berani menyukai laki-laki itu, tapi siapa yang tahu hati?
Lain di mulut, lain juga di hati.
“Kaliyah udah lebih dulu suka sama Bagas, semejak Kaliyah lihat lo dekat-dekat sama Bagas.” Maverick menjeda ucapannya.
“Adik gue lebih sering nangis, lo tahu penyebabnya apa?” Maverick tersenyum miring sembari menatap Ayra.
Dengan tangan besar Maverick berhasil mencengkram wajah Ayra dengan kuat. “Itu semua karena ulah lo anak sialan.”
Setelah kembali dari taman sekolah, tiba-tiba saja Maverick menariknya tanpa aba-aba dari kakaknya itu. Maverick ternyata membawanya menuju gudang belakang sekolah, kemarahan Maverick kepadanya akibat Kaliyah yang mengaduh kepada Maverick.
“Lo cuman hama anak pembawa sial,” bisik Maverick.
Ayra hanya bisa terdiam, menerima segala perlakuan kasar dari Maverick. Dia membenci dirinya yang lemah, tetapi dia juga enggan melawan mereka semua. Karena pada akhirnya dirinya lah yang tetap salah, orang-orang akan tetap menyalahkannya.
“M-aaf kak,” lirihnya masih menunduk saat Maverick melepaskan cengkramannya.
“Jangan pernah dekatin Bagas lagi,” kata Maverick sebelum akhirnya meninggalkan Ayra dalam gudang itu.
“Gue bisa lebih kejam dari ayah kalau sampai adik gue kenapa-napa karena lo.”
Adik gue? Apakah Maverick memang tidak pernah melihatnya juga sebagai adinya? Dia juga adik dari Maverick kan? Ayra menatap sayu punggung kakaknya yang perlahan menghilang.
&&&
Ayra tidak langsung kembali ke rumah setelah pulang sekolah, gadis berambut panjang dengan wajah murung itu melangkah kecil menyusuri banyaknya gundukan tanah dengan batu nisan dengan nama agar muda dikenali oleh keluarga mereka.
Ya, gadis itu memilih untuk mampir ke makam sang kakek terlebih dahulu sebelum pulang. Setelah kejadian tadi pagi membuatnya amat merindukan kakeknya.
Ayra menatap gundukan tanah di depannya dengan sorot mata penuh dengan kerinduan, perlahan tubuhnya duduk dan mengusap batu nisa Very dengan lembut.
Ayra memaksa senyum dengan bibir bergetar menahan tangisannya. “Assalamu’alaikum, kakek Ayra datang,” lirihnya hampir seperti bisikan.
Ayra menunduk, mengusap kasar air matanya yang tiba-tiba saja keluar. Wajahnya sudah merah, matanya masih terlihat berkaca-kaca.
“Kek, apa kabar kakek di sana? Pasti baik dong, kan kakek udah ketemu sama nenek ya? Tapi... Ayra yang ngak baik di sini.”
“Ayra kangen banget sama kakek, tadi pagi Ayra pikir kakek hidup kembali karena tiba-tiba muncul, eee... tau-taunya cuman halusinasi Ayra kek, heheh.”
Ayra menatap gundukan di sebelah makam Very, itu makan neneknya. “Assalamu’alaikum nenek, Ayra datang lagi.”
Lalu, kembali menatap makam Very. “Ayah dan bunda semakin benci Ayra kek, kakek tahu. Ayra baru tahu kalau ternyata Ayra yag udah bunuh nenek Antha.” Ayra menatap makam neneknya lagi. “Ayra yang ternyata bunuh nenek, ma-afin Ayra nek hiks...hiks,” ucapnya.
“Kakek kenapa tidak ikut membenci Ayra sama seperti mereka? Harusnya juga kakek benci Ayra karena Ayra penyebab nenek meninggal.”
Langit semakin gelap, sepertinya akan turun hujan. Tetapi gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu tetap betah pada posisinya, mengadu dan menceritakan banyak hal kepada orang terkasihnya.
“Kakek jahat, Ayra makin benci sama diri sendiri karena tahu fakta ini kek. Ayra harus apa? Ayra harus apa kakek? Ayra harus mati dulu baru mereka puas? A-yra capek kek.”
Boleh Ayra menyerah dengan takdir kehidupannya seperti ini? Jika boleh, maka lebih baik Ayra pergi meninggalkan dunia yang bagi dirinya terasa tidak adil.
“Ayra cuman mau ayah Syan dan bunda Vynessa juga sayang sama Ayra kek, tapi sepertinya kebencian mereka kepada Ayra semakin besar, Ayra harus apa?”
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA 👋👋👋👋
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "