"perceraian ini hanya sementara Eve?" itulah yang Mason Zanella katakan padanya untuk menjaga nama baiknya demi mencalonkan diri sebagai gubernur untuk negara bagian Penssylvania.
Everly yang memiliki ayah seorang pembunuh dan Ibu seorang pecandu obat terlarang tidak punya pilihan lain selain menyetujui ide itu.
Untuk kedua kalinya ia kembali berkorban dalam pernikahannya. Namun ditengah perpisahan sementara itu, hadir seorang pemuda yang lebih muda 7 tahun darinya bernama Christopher J.V yang mengejar dan terang-terangan menyukainya sejak cinta satu malam terjadi di antara mereka. Bahkan meski pemuda itu mengetahui Everly adalah istri orang dia tetap mengejarnya, menggodanya hingga keduanya jatuh di dalam hubungan yang lebih intim, saling mengobati kesakitannya tanpa tahu bahwa rahasia masing-masing dari mereka semakin terkuak ke permukaan. Everly mencintai Chris namun Mason adalah rumah pertama baginya. Apakah Everly akan kembali pada Mason? atau lebih memilih Christopher
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dark Vanilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Penghianat
Sejak kejadian itu Christopher kerap menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya dia tidak memaksakan kehendak pada ibunya, Maka itu pasti tidak akan terjadi.
Travis juga sempat menyalahkannya, hingga Christopher mengurung diri dan makin terpuruk. Saat menjadi saksi di persidangan pun Christopher tak mampu menceritakan apapun karena trauma yang menghantuinya.
Bahkan ketika hakim menanyakan apakah benar pria yang ia dapati tengah memegah pisau di perut sang ibu di TKP adalah pelakunya, Christopher nyaris tidak bisa bicara, hanya bisa mengangguk hingga kemudian suara tangis pecah dari seorang gadis belia yang nampaknya memiliki hubungan dekat dengan tersangka.
Di sela-sela semua penderitaannya saat itu, Nora lah yang paling berperan, menghibur dan merawatnya dan memberikan semangat hidup padanya, sementara Travis juga pada akhirnya mulai kembali bicara padanya, begitu juga dengan sang ayah yang selama itu sibuk kesana kemari mengurus kematian sang ibu juga menghadiri persidangan kasus pembunuhan, akhirnya dapat menerima semua dengan lapang dada.
Kurang lebih dua tahun sepeninggal sang ibu, ketika hidup Christopher mulai tertata kembali. Bencana yang lebih parah datang untuk kedua kalinya.
Hari itu Christopher pergi membeli cake untuk Nora yang sedang berulang tahun. Ia berencana untuk memberi kejutan untuk kakak yang dikaguminya itu. Christopher juga menyiapkan makan malam sederhana hanya untuk mereka berdua. Dalam hati ia berjanji, kelak ketika dirinya sudah lebih dewasa, ia akan mengajak Nora makan malam yang layak sebagai seorang pria dan wanita.
Tidak peduli berapapun perbedaan usia di antara mereka. Nora adalah cinta pertamanya.
Hujan turun dengan deras malam itu, Chris bersyukur karena menyiapkan payung hingga Cake yang di belinya tidak basah.
Saat memasuki rumah, Christopher mengernyit heran karena rumah besar itu dalam keadaan gelap dan sepi, tidak ada satupun yang menghidupkan lampu.
Christopher tidak memusingkan hal tersebut, kemudian melangkah ringan dan penuh senyuman segera menuju dapur. Food delivery akan sampai dalam beberapa menit. Sembari menunggu makanannya datang, Christopher berniat mengejutkan Nora dengan kuenya.
Membuka bungkus Cake, remaja itu mulai menghidupkan lilin, kemudian melangkah perlahan menaiki tangga menuju kamar Nora.
Ia melangkah melewati lorong. Semakin mendekati kamar ibu dan ayahnya, semakin Chris mendengar bunyi berderak yang aneh di dalam sana, ditambah suara percakapan dua orang yang samar karena tertutup petir yang bersahut-sahutan di luar.
Dari celah pintu yang terbuka sedikit, di atas meja rias sang ibu yang isinya sudah berantakan, Nora bersandar dengan satu kaki –yang masih mengenakan sepatu lengkap dengan kaus kakinya– terbelit pada pria yang tak memakai celana, berdiri diantara paha sang gadis.
Seketika penampilan Nora yang selama ini lugu dan ceria, hancur lebur oleh penampilan tak senonohnya saat ini.
Kaus dan bra gadis itu terangkat hingga menampilkan isinya secara gamblang, rambut berantakan dan bibir yang terus-terusan terbuka mengeluarkan rintihan aneh.
Meja itu berderak tiap kali pria dewasa di hadapan Nora menabrakan pinggulnya dengan kuat.
"Oh, eumh.. Mr. Vaughan. Pelan-pelan, Ba-bagaimana jika ada yang dengar."
Mata Christopher membelalak, dipenuhi keterkejutan yang meremas jantungnya. Napasnya tercekat, seakan udara di sekitar mendadak lenyap. Mulutnya terbuka, namun tak satu kata pun mampu meluncur ketika di hadapannya, dua tubuh itu saling bertaut dalam gairah yang tak seharusnya. Pemandangan itu menghantamnya tanpa ampun, meremukkan jiwanya yang baru pulih. Air matanya merembes begitu saja.
"Oh, yeah di-di sana, lebih cepat...haah."
Christopher sekuat tenaga menggerakan tubuhnya yang kaku. Melarikan diri dari tempat laknat itu. Tak peduli kue di tangannya jatuh hancur ketika ia berlari menuruni tangga dengan cepat.
Ia ingin kabur dari dua penghianat bajingan itu. Seketika semua harapannya dan kesan manisnya pada Nora hancur saat itu juga. Membuatnya terluka lebih dalam. Bisa-bisanya mereka bercinta di kamar milik sang ibu, bahkan fotonya masih terpajang di meja rias dan dinding kamar itu.
Christopher Shock. Dirinya hampir mencapai pintu depan, ketika tangannya ditarik seseorang. Itu Travis, menatapnya dengan wajah datar.
Tanpa memberi penjelasan atau mendengar pendapatnya, saudara kandungnya itu menariknya keluar rumah. Menjauh dari tempat itu, di tengah guyuran hujan yang sangat deras.
Mereka berhenti di sebuah taman bermain yang sunyi, hanya suara hujan yang terus berjatuhan menemani keheningan di antara mereka. Lampu-lampu taman berpendar redup, menciptakan bayangan samar di wajah Travis yang menatap lurus ke arah adiknya.
“Aku tahu apa yang kau lihat,” ujar Travis, memotong apa pun yang hendak Christopher katakan. “Aku juga melihatnya.”
Kerutan di kening Christopher perlahan mengendur, tetapi hanya untuk sesaat sebelum berubah menjadi keterkejutan yang lebih dalam ketika ia menyadari sesuatu.
“S-su-sudah berapa lama?” Suaranya bergetar, nyaris tertelan derasnya hujan.
“Kau tahu sudah berapa lama?!” Christopher berteriak pada sang kakak.
Travis menatapnya tanpa ragu. “Sejak Ibu masih hidup.”
Dunia Christopher seketika jungkir balik. Kepalanya terasa ringan, tubuhnya kehilangan keseimbangan hingga ia jatuh berlutut di atas tanah yang basah. Hujan mengguyur deras, menyamarkan air mata yang kembali mengalir di wajahnya.
Apa yang baru saja ia dengar? Sejak ibunya masih hidup?
Christopher merasakan perutnya melilit, seperti ada sesuatu yang meremasnya dari dalam. Tangannya mencengkeram tanah, jari-jarinya menggali lumpur yang dingin seakan mencari pegangan di tengah kenyataan yang begitu menyesakkan.
Travis masih berdiri di hadapannya, sorot matanya kosong, namun di baliknya ada kelelahan yang teramat dalam. “Aku sudah lama tahu,” lanjutnya, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan. "Kau ingat malam Valentine dua tahun lalu? Ketika aku pulang dalam keadaan linglung? Saat itu aku melihat ayah dan Nora tengah makan malam berdua."
Christopher ternganga tanpa kata, jelas ia ingat malam itu, dimana ia susah payah mencari hadiah untuk Nora, hingga memaksa sang ibu untuk mengantarnya. Ternyata Nora malah berkencan dengan sang ayah, dimalam itu.
Seandainya dulu dirinya tak sebodoh itu, mungkin sang ibu masih hidup saat ini. Rasa bersalah kembali meremas jantungnya kuat.
"Kenapa kau tidak memberitahuku." lirih Chris. Ia mendongak, tatapannya nanar. “Kenapa kau diam saja?!” suaranya pecah, lebih mirip raungan putus asa daripada pertanyaan.
"Kenapa kau biarkan aku hidup dalam kebohongan?!” Dadanya semakin terhimpit penyesalan.
Travis mengatupkan rahangnya, seperti sedang menahan sesuatu yang berat. “Karena aku pengecut,” jawabnya lirih. “Karena aku terlalu takut… Aku takut melihat ibu sedih, aku takut melihat keluarga kita berantakan. Saat itu aku tidak siap, Chris.”
Petir menggelegar di langit, seolah menuntut Travis untuk menceritakan segalanya.
"Aku, ingin memberitahu ibu ketika aku siap. Tetapi malam itu ibu malah.... terbunuh."
Christopher ingin marah pada Travis, karena membiarkannya tenggelam dalam kebohongan. ingin membenci, ingin menyangkal. tetapi ia terlalu terguncang hingga yang ia lakukan hanyalah menangis. Perasaan bersalah pada sang ibu semakin menggerogoti kedua pemuda itu. Begitu juga rasa benci mulai tumbuh.
"Aku akan membunuh dua bajingan itu."
"Jangan berpikiran pendek, Chris. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Ibu sudah meninggal. Apa yang akan kita permasalahkan? ayah bebas berkencan dengan siapapun saat ini"
"Percayalah, dibanding dirimu, aku lebih ingin membuatnya mati di tanganku. Tetapi tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini, kita tak memiliki kekuatan apapun. Ini bukan saatnya. Jangan gegabah. Bersabarlah!"
Christopher terdiam. Tubuhnya gemetar entah karena amarah atau dingin yang kian menusuk. Tetapi, satu hal yang pasti, dendam dan benci mulai berakar di dalam hati kedua pemuda itu.