Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Between Us
Kata-katanya terucap ringan, seolah ia sudah lama menyiapkan diri untuk menceritakannya, namun luka di matanya berbicara lain—luka yang belum benar-benar sembuh.
Luna membeku, hatinya mencelos.
"Aku... aku tidak tahu..." bisiknya, merasa bodoh karena telah mendorong Xavier untuk kembali dengan seseorang yang telah menyakitinya begitu dalam.
"Dan kau ingin aku memaafkannya," Xavier melanjutkan, senyumnya getir. "Hanya karena kau ingin semuanya baik-baik saja."
Luna menunduk, jemarinya mengepal di atas pangkuan. "Aku hanya ingin kau bahagia," katanya akhirnya, dengan suara bergetar.
Xavier menoleh padanya, menatap lama.
"Bahagiaku sederhana, Luna," katanya, suara itu begitu dalam hingga menusuk. "Tapi tidak pernah sesederhana yang kau pikirkan."
Mobil melaju melewati lampu-lampu jalan yang remang.
"Kalau aku bilang," Xavier berkata pelan, "bahagiaku bukan di sana. Bukan dengan Zora. Apa kau akan tetap memaksaku?"
Luna mendongak, bertemu tatapan mata Xavier yang penuh luka dan kejujuran mentah.
"Tidak," jawabnya dengan suara hampir tak terdengar. "Aku tidak akan pernah memaksamu."
Xavier mengangguk, pelan. Seolah lega, namun juga terluka.
"Aku cuma ingin kau tahu satu hal," katanya lirih. "Aku datang malam ini... bukan untuk Zora."
Mobil berhenti di lampu merah. Mereka saling tatap dalam keheningan yang berat.
"Aku datang," bisik Xavier, "karena kau yang memintaku."
Luna merasa seolah dunia berhenti berputar. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Namun sebelum ia sempat menjawab, lampu berubah hijau, dan Xavier kembali memfokuskan pandangannya ke jalan.
Sisa perjalanan dipenuhi keheningan, sampai akhirnya mereka tiba di apartemen.
Luna membuka pintu apartemen. Ia melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Xavier yang menutup pintu perlahan di belakang mereka.
Hening.
Hanya suara deru napas mereka yang terdengar di udara. Tegang, berat, penuh sesuatu yang tak bisa diredam lebih lama lagi.
Luna berbalik hendak mengucapkan sesuatu—mungkin ucapan selamat tidur, atau sebuah permintaan maaf atas pembicaraan tadi—namun sebelum satu kata pun keluar dari mulutnya, Xavier sudah melangkah maju.
Dengan satu gerakan cepat, tangannya mencengkeram pinggang Luna dan menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Bibirnya melumat bibir Luna dengan brutal—liar, dalam, penuh kelaparan yang terpendam.
Luna terkejut. Tangannya terangkat secara refleks, seolah hendak mendorong dada Xavier, tapi detik berikutnya ia malah menggenggam kuat jas pria itu, seakan dunia sekeliling mereka runtuh dan hanya Xavier yang nyata.
Ciuman itu kasar, menuntut, seakan Xavier berusaha mengukirkan sesuatu di dalam diri Luna—sebuah tanda kepemilikan, sebuah pengakuan yang tak mampu ia ucapkan dengan kata-kata.
Napas Luna tercekat, tubuhnya bergetar di bawah intensitas perasaan yang ditumpahkan Xavier ke dalam ciuman itu.
Xavier mendorong Luna perlahan ke dinding, tubuh mereka menempel rapat. Salah satu tangannya naik, membelai garis rahang Luna dengan jemari yang gemetar karena menahan emosi. Ciumannya berubah, dari brutal menjadi dalam, begitu dalam seakan ia mencurahkan seluruh isi hatinya dalam satu gerakan.
Ketika akhirnya Xavier melepaskan ciumannya, hanya untuk menarik napas pendek, dahi mereka bertemu. Keningnya bersandar pada kening Luna, matanya terpejam seakan mencoba menahan dirinya agar tidak hancur seluruhnya.
"Beristirahatlah, kau pasti lelah seharian ini," bisik Luna, suaranya gemetar di antara tarikan napas yang masih belum teratur.
Ia baru saja hendak melepaskan diri dari dekapan Xavier, tapi sebuah tarikan kuat di pinggangnya menahan.
"Aku belum selesai," desis Xavier, suaranya rendah dan penuh gejolak.
Dalam satu gerakan, Xavier mengangkat tubuh mungil Luna, mengalungkan kedua kaki gadis itu di sekeliling pinggangnya. Ia membawa Luna ke sofa, lalu merebahkan tubuh itu dengan lembut namun tegas.
Tatapan mereka bertemu—Xavier menatap Luna seolah dunia hanya berisi dirinya seorang. Tanpa kata-kata, ia menanggalkan bajunya sendiri dengan gerakan tergesa, memperlihatkan tubuh kokoh yang bergetar menahan hasrat.
Napas Luna tersangkut di tenggorokan ketika Xavier kembali menindihnya, tubuh mereka menempel tanpa jarak.
Ciumannya jatuh lagi di bibir Luna, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Ia menjelajah, mencium garis rahang, turun ke leher, menggigit manis di kulit halus itu hingga Luna mengerang pelan, tubuhnya melengkung mencari lebih.
Xavier menyusuri kulitnya dengan ciuman dan gigitan kecil, meninggalkan jejak-jejak merah kepemilikan di sepanjang jalur yang ia lewati. Tangannya meraba paha Luna, menarik rok tipis itu ke atas pinggang, lalu merobek pakaian dalamnya tanpa ampun.
Luna terkejut, tapi tak ada penolakan. Yang ada hanya kebutuhan mentah—liar dan tak terkendali.
"Xavier..." erangnya, penuh permohonan.
Xavier menggeram rendah, suaranya serak. "Aku ingin melihatmu... hancur karenaku."
Dengan satu tarikan kuat, ia membebaskan Luna dari seluruh pakaian yang tersisa, membuat gadis itu telanjang di bawah pandangannya. Mata Xavier menggelap melihat pemandangan di depannya—Luna, liar dan indah, hanya untuknya.
Ia membungkuk, menyerang payudara Luna dengan mulutnya—mengisap, menjilat, menggigit pelan hingga Luna mengerang keras dan menggeliat liar di bawah tubuhnya. Tangannya tak tinggal diam, menyusuri setiap lekuk, setiap inci kulit yang membuatnya mabuk.
"Aku ingin kau mengingat malam ini," bisik Xavier di antara giginya, sebelum akhirnya ia menuntaskan jarak di antara mereka, mendorong dirinya masuk ke dalam Luna dalam satu gerakan panjang dan dalam.
Luna melengkung, merintih keras, kedua tangannya mencengkeram bahu Xavier erat-erat.
Xavier menahan dirinya beberapa detik, mengutuk dalam hati betapa sempit dan hangatnya Luna mengurungnya, membakar sisa kendali yang ia punya.
Ia mulai bergerak—pelan di awal, membiarkan Luna menyesuaikan diri, sebelum akhirnya menemukan irama yang brutal, tanpa belas kasihan. Setiap dorongan membenamkan rasa, setiap benturan tubuh mereka menimbulkan suara basah dan napas terputus-putus yang memenuhi ruangan.
Luna menangis tanpa suara, tidak karena sakit—tetapi karena rasa yang begitu dalam, yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Xavier mencium sudut matanya, menelan setiap air mata yang jatuh.
"Kau milikku," desisnya di telinga Luna, setiap kata ditandai dengan hentakan keras dari pinggulnya. "Hanya milikku."
Luna menggeliat di bawahnya, tubuhnya bergetar keras saat mencapai klimaks, mengguncang tubuh kecilnya hingga ia teriak nama Xavier dengan suara serak.
Xavier mengikuti tak lama setelah itu, menjerit pelan di tengkuk Luna, tubuhnya menegang keras saat ia melepaskan segalanya di dalam dirinya.
Mereka terjatuh bersama, napas memburu, kulit basah oleh keringat, dunia seolah berhenti hanya untuk mereka berdua.
Xavier tetap memeluk Luna erat-erat, seakan tak pernah mau melepaskannya.
Dalam keheningan yang penuh kelelahan dan rasa puas, ia membisikkan, "Kau satu-satunya, Luna."
Dan sialnya, Luna tetap tidak pernah menangkap makna sesungguhnya dari setiap kata yang diucapkan Xavier. Baginya, semua itu hanyalah bagian dari sensasi permainan yang sedang mereka nikmati.
To Be Cintinued >>>
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰