Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 9 Hadiah Untuk Nenek
Bel pulang sekolah telah berdentang, koridor kelas XII IPA 2 mulai lengang, namun dua sosok masih betah berdiam diri di dalam kelas. Sakha, dari bangku belakang, mengamati Lana yang tak bergeming dari kursinya.
Gadis itu menopang kepala dengan tangan, bahunya naik turun perlahan, menandakan ia sedang tertidur pulas.
Satu jam berlalu, Lana masih terlelap.
"Pasti mimpi indah," gumam Sakha dalam hati. Ia bangkit, melangkah mendekati meja Lana. Perlahan, ia duduk di sampingnya, menopang dagu, dan menatap wajah Lana lekat-lekat.
Bulu mata lentik, hidung mancung, kulit putih pucat dengan semburat merah muda di pipi, kecantikan Lana terpancar bahkan saat ia terlelap. Rambut hitam legamnya tergerai indah, menambah pesona gadis itu. Sesekali, ia mengikat atau menyanggul rambutnya, namun tak ada gaya rambut yang bisa menyembunyikan kecantikannya.
Sakha melirik jam tangannya, lebih dari satu jam Lana tertidur. Ia bimbang, haruskah ia membangunkannya atau membiarkannya tidur lebih lama? Akhirnya, ia memutuskan untuk menunggu Lana bangun dengan sendirinya. Lagipula, sekolah belum sepenuhnya sepi, masih ada murid yang beraktivitas di sekitar.
Beberapa menit kemudian, Lana mengerjapkan mata, merasakan pegal di lengan kirinya. Ia menguap, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih, ia tak menyadari kehadiran Sakha di sampingnya.
"Nyenyak tidurnya?" suara Sakha mengagetkan Lana.
Gadis itu tersentak, memegangi dadanya, lalu menoleh ke arah Sakha. "Ahh... Sakha! Kamu bikin aku kaget," ujarnya lega.
"Kenapa tidur di kelas?" tanya Sakha.
"Begadang semalam," jawab Lana, menguap lagi.
"Aku antar pulang, ya?" tawar Sakha.
"Sama Pak Izal maksudnya?" Lana terkekeh, membayangkan Pak Izal, sopir Sakha, mengantarnya pulang.
Sakha menggaruk kepala, tersenyum tipis.
Lana mulai membereskan buku-bukunya.
"Oh iya!" serunya, menepuk tangan. Ia mengeluarkan kotak berhiaskan pita merah muda dari tasnya. "Tolong berikan hadiah ini untuk Nenek, ya."
"Apa ini? Boleh aku buka?" tanya Sakha penasaran, mencoba membuka kotak itu.
"Jangan, Sakha! Itu kan untuk Nenek," cegah Lana, cemberut.
"Memangnya isinya apa?" Sakha semakin penasaran.
"Kenapa penasaran sekali? Nanti juga bisa lihat di rumah," ujar Lana, mulai kesal.
Sakha tertawa kecil, gemas melihat Lana yang merajuk.
"Kamu gemas kalau marah," godanya, mencubit pipi Lana.
"Lagian kamu, aku baru bangun, mataku masih belum melek, malah dibikin kesal," gerutu Lana, menepis tangan Sakha.
"Iya, iya, maaf. Yuk, pulang," ajak Sakha.
Lana mengangguk, mereka berdua berjalan keluar kelas.
Pak Izal mengantar mereka pulang, mobil pun berhenti di depan rumah Lana.
"Terima kasih, ya, Pak Izal," ucap Lana, turun dari mobil.
Sakha ikut turun, menatap rumah Lana yang sepi.
"Rumahmu sepi terus. Orang tuamu masih di luar kota?" tanya Sakha.
Lana mengangguk, tersenyum tipis. "Terima kasih, ya, sudah antar aku pulang. Jangan lupa berikan hadiahnya untuk Nenek," ujarnya.
"Akhir pekan ini kamu ada acara?" tanya Sakha.
"Ada," jawab Lana, senyumnya spontan merekah.
"Ke mana?" tanya Sakha penasaran.
"Bertemu Ayah," jawab Lana riang.
Sakha mengerutkan kening, bingung.
Kenapa Lana begitu bahagia hanya dengan rencana bertemu ayahnya?
Apakah mereka sudah lama tidak bertemu?
...----------...
"Nek, nih hadiah ultah!" Sakha menyodorkan kotak hadiah pemberian Lana untuk neneknya, dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.
"Eh, bukannya kamu cuma kasih kado doa agar nenek panjang umur ya?" celetuk neneknya, matanya menyipit curiga. "Tumben banget belikan nenek kado, jangan-jangan kamu mau minta sesuatu nih?"
"Lah, siapa juga yang beli kado untuk Nenek? Ini dari Lana," jawab Sakha, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Nenek menghela napas panjang, ekspresi wajahnya berubah dari curiga menjadi sedikit kecewa.
Ia langsung memukul pelan kepala cucunya itu, "Dasar kamu ini, Sakha! Padahal tadi nenek sudah senang bukan kepalang, eh tahunya..." Nenek mendengus kesal, bibirnya mengerucut.
"Waktu Sakha tanya nenek mau kado apa, nenek bilang enggak usah. Ya sudah, Sakha jadi enggak beli apa-apa," seloroh Sakha enteng, seolah tidak merasa bersalah.
"Dasar kamu memang tidak peka!" gerutu nenek, pipinya sedikit merona karena kesal.
Nenek langsung bangkit dari sofa dan beranjak ke kamarnya, meninggalkan Sakha yang kebingungan. "Eh, mau ke mana, Nek? Buka di sini dong hadiahnya! Sakha mau tahu isinya!"
"Ini kado untuk Nenek, kenapa kamu yang penasaran?" sahut nenek dari balik bahunya, tanpa menghentikan langkah.
"Iya, tapi kan dari Lana!" seru Sakha, berusaha membujuk.
"Ah, kamu ini!" Nenek akhirnya duduk di pinggir ranjangnya, membuka pelan kotak hadiah tersebut agar tidak rusak.
Sakha sebenarnya sudah tidak sabar untuk melihat isi kado tersebut, tetapi melihat raut wajah bahagia neneknya, ia berusaha menahan diri agar tidak merusak kotak kado tersebut.
Saat kotak hadiahnya akhirnya terbuka, nenek tidak dapat menyembunyikan perasaan bahagianya.
"Sweater rajut... Ya Tuhan, cantik sekali!" Nenek memeluk dan mengusap lembut sweater tersebut, matanya berbinar-binar. "Ini Lana rajut sendiri ya? Rajutannya rapi sekali!" Nenek menelisik benang-benang yang dirajut dengan sangat rapi dan teliti, seolah menemukan harta karun.
Nenek lalu membaca surat ucapan yang dituliskan oleh Lana untuknya. Tiba-tiba, mata nenek Yasmin berkaca-kaca, setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
"Nenek nangis?" Sakha yang kebingungan, langsung menepuk-nepuk punggung neneknya, berusaha menenangkan.
Surat yang ditulis oleh Lana, dengan kata-kata yang tulus dan penuh kasih sayang, membuat Nenek Yasmin begitu terharu. "Lana... betul-betul anak yang baik ya. Seandainya dia jadi cucu nenek, pasti nenek sangat bahagia," seloroh neneknya, suaranya bergetar.
"Boleh, Nek! Nanti dia jadi pacar Sakha, sama saja kan?" sahut Sakha, berusaha menghibur neneknya.
"Sembarangan kamu ini!" sergah nenek, meskipun senyum kecil menghiasi bibirnya.
"Pacar cucu nenek, artinya cucu nenek juga," jelas Sakha enteng, seolah itu adalah logika yang paling masuk akal di dunia.
"Mana mau Lana sama kamu," celetuk neneknya sambil bangkit dan berjalan keluar kamar, meninggalkan Sakha yang hanya bisa melongo mendengar ucapan neneknya.
"Dasar cucu nakal," gumam nenek sambil tersenyum simpul.
...----------------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri