Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Rizki Dan Syifa
Firasat Anya mengatakan kalau ia tidak segera pergi dari sana, maka dirinya akan menjadi bulan-bulanan dua wanita paruh baya itu.
"Saya permisi dulu, Bu. Assalamualaikum!" ucapnya berpamitan.
Bukan menjawab salam, mereka malah menyudutkan Anya. "Syukur banget deh, Mbak Mila enggak kenal sama dia. Kita pikir ini calon mantu kamu, Mbak. Ih, amit-amit ya punya hubungan dengan keluarga kayak gini," ucap ibu tersebut.
"Saya juga enggak mau kalau punya mantu kayak dia, ya walaupun adiknya yang melakukan kesalahan. Namun, tetap aja kan mereka sedarah, pastinya sifatnya juga sama. Bisa jadi pakaian muslimah itu cuma untuk menutupi sifat sebenarnya," sambung yang lainnya.
Yogi yang kebetulan sudah keluar dari masjid dan mendengar Anya dihina oleh mereka, emosinya jadi naik, baru juga hati adem, eh malah dibikin panas dengan omongan orang tua di depannya.
"Permisi Ibu-ibu, bukan saya bermaksud lancang ya. Kalau tidak bisa berkata baik, sebaiknya diam aja, sesama hamba Allah enggak baik menghina. Jangan merasa diri sudah lebih baik daripada pendosa, ingat! Allah lebih dekat dengan pendosa ketimbang seseorang yang merasa dirinya paling mulia," ucap Yogi. Ia mengingatkan dengan begitu bijak, sebenarnya Anya kagum dengan kata-kata Yogi, tapi dia tidak ingin menampakkan rasa kagum itu di sana.
Anya tidak mau menghadapi situasi yang lebih parah lagi, ia berjalan meninggalkan Yogi. Rehan juga sudah menunggu di mobil sejak tadi.
Rizki yang awalnya ingin membela Anya, ia langsung mendapat peringatan keras melalui tatapan tajam sang mama.
Bu Mila pun mengajak Rizki untuk pulang, setelah Anya juga menghilang dari pandangan mereka.
Di tempat lain yang tak jauh dari area masjid, Windi sedang menunggu sahabatnya itu.
Anya masih belum kelihatan, jadi dia memutuskan untuk keluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke depan masjid.
"Apa mereka belum kelar ibadahnya ya?" tanya Windi membatin. Gadis cantik dengan rambut sebahu itu memandang pakaiannya dari atas sampai bawah.
"Gue cantik, baju gue juga bagus. Gue mau masuk ke sana, tapi apa gue pantas ke sana dengan baju yang kurang bahan seperti ini? Bukankah ini namanya penghinaan?"
Windi mulai mengoceh tentang pakaiannya sekarang, sampai-sampai dia tidak sadar saat Anya, Yogi, dan Rehan datang menghampirinya lebih dulu.
"Bos udah nyampe sini aja," cicit Rehan seraya menarik sarung yang melingkar di lehernya.
"Pfftt!" Windi menutup mulutnya, ia menahan tawa saat melihat pakaian Yogi dan Rehan.
"Hahaha..." Windi tertawa dengan bahu yang ikut naik turun. "Sampai menangis gue ngeliatin penampilan kalian, idih! Udah insyaf aja anak buah kesayangan gue," ledek Windi. Sedangkan tiga orang di depannya hanya diam dengan kening berkerut heran.
"Bos, emang dari dulu kita kayak gini. Apanya yang insyaf?" tanya Rehan, kini giliran dia yang dibuat bingung.
Anya ikutan tersenyum, ternyata tidak cuma dia, Windi juga berpikir demikian.
Kedua gadis itu memiliki pikiran yang sama tentang Yogi dan Rehan.
.
.
"Nah, ini nih definisi dari don't judge a books by its cover. Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya," kata Yogi.
"Pasti Bos sama Mbak Anya selama ini ngira kalau kita kagak pernah sholat ya? Secara kan pakaian kita kayak preman gitu?" tambah Rehan.
Mereka sekarang sedang berada di depan taman kecil yang kebetulan letaknya masih tidak jauh dari masjid tempat mereka sholat Maghrib tadi.
Anya mendesah pelan, yang dikatakan Rehan memang benar.
"Maaf, selama ini aku juga berpikir hal yang sama. Sebenarnya enggak seperti itu juga, cuma pas ngelihat kalian pakai sarung tadi, pikiran terasa aneh gitu." Anya melirik ke arah Yogi dan Rehan, ia lalu tersenyum hangat. "Lanjutkan apa yang kalian lakukan sekarang, pastikan untuk tetap istiqamah! Jangan pikirkan baik dan buruknya pandangan manusia, yang penting Allah tahu isi hati dan niat baik kita," pungkasnya.
"Gue juga salut sama Mbak Anya, meskipun diremehkan tiap hari sama orang sekitar. Diledekin, macam-macamlah, tapi tetap mempertahankan niat baiknya. Nah, si Bos sendiri kapan?" tanya Rehan yang kemudian membuat lamunan Windi buyar.
Kring
Kring!!!
Suara mangkuk yang dipukul dengan sendok membuat ide baru terlintas di otak Windi.
"Wah, aku sudah laper! Ayo pesan mie bakso ayam yang di sana!" ajak Windi seraya menunjuk ke arah gerobak yang berada tidak jauh dari tempat mereka duduk.
"Sengaja banget ngalihin topik pembicaraan," desis Anya. Ia tahu persis bagaimana sifat sahabatnya itu, Windi tentu tidak ingin menjawab pertanyaan Rehan tadi.
"Yogi, lo aja yang pesen buat kita," suruh Rehan."
Yogi mencebikkan bibirnya seraya melirik tajam ke arah Rehan. "Dih, badan aja yang besar. Giliran mau makan malah malas buat gerak."
Meski berkata demikian, tapi Yogi juga yang akhirnya pergi dan memesan empat mangkuk mie bakso itu.
"Bos, Bos Windi enggak ada niat kah untuk mengikuti jejak mbak Anya?" tanya Yogi di sela-sela Windi yang asyik menikmati mie baksonya.
"Uhuk!" Windi terbatuk dan satu butir bakso gagal masuk dalam mulutnya.
"Ups!" Yogi menahan tawa, ia tidak tahu pertanyaannya barusan akan membuat Windi sekaget itu.
Anya mengambil sebotol air mineral yang tadi dibeli Rehan.
"Minum dulu, Windi. Kalau makan hati-hati dong, jangan buru-buru, kita enggak bakal ninggalin kamu juga," kata Anya yang juga ikut menahan tawa.
Windi melotot ke arah tiga orang di depannya, rasanya mereka bertiga ingin dimakan sekalian bersama mie bakso itu.
"Udah deh, gue tahu kalian mau ngetawain gue kan?" ucapnya kemudian.
"Ya, habisnya si Bos cuma dikasih pertanyaan gituan udah keselek aja," ucap Rehan.
"Apa yang tadi ditanyain Yogi, soal itu gue masih belum kepikiran, tapi doain aja yang terbaik buat gue."
Meski berkata belum terpikirkan, tapi kenyataannya Windi selalu memikirkan hal itu. Belum lagi kedua orangtuanya juga terus menanyakan hal yang sama padanya, dia terus setia mengikuti ke mana pun Anya pergi, tapi kenapa tidak terpikirkan untuk mencoba menutup aurat seperti Anya.
"Oh ya, aku sama Rehan pamit duluan ya!" ucap Yogi saat mie dalam mangkuknya sudah habis semua.
"Eh, bayar dulu!" seru Windi mengingatkan.
Baru beberapa langkah mereka bergerak, sekarang malah harus berhenti lagi karena teriakan Windi.
"Yeee, bukannya si Bos yang traktir kita?" tanya Yogi, ia kembali mendekati Windi dan Anya.
"Pergi aja, Gi. Biar mbak yang bayarin," ucap Anya.
Seketika senyum Yogi pun tambah lebar, tapi Windi kembali memudarkan senyuman itu.
"Enggak usah, Nya! Gaji mereka lebih gede dari elu!"
Anya menatap Yogi dan Windi secara bergantian. "Tega amat kamu bayarin aku setengah dari gaji mereka."
"Lo kan sahabat gue, ya beda dong. Sahabat harus berkorban lebih banyak," kata Windi sambil nyengir.
"Termasuk ngorbanin gaji?"
"Ya gitu deh." Windi mengambil botol air dan meminumnya seteguk
Anya kembali melihat Yogi, dilihatin begitu rupa sama Anya, cowok itu cuma bisa garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia tersenyum kecil. Sedangkan Rehan, cowok itu masih menunggu Yogi tepat di ujung taman. Dia sudah tidak tahan digigit oleh nyamuk-nyamuk di sana, menyadari kerisihan Rehan, mereka berdua pun menyuruh Yogi untuk langsung pulang.
Yogi baru menghampiri Rehan kembali setelah membayar semua pesanan mereka.
*
Hari-hari berlalu begitu cepat, Sasha sudah tidak pernah keluar lagi karena keadaan perutnya yang sudah semakin membesar. Kehamilannya sudah memasuki usia tujuh bulan, dan hari ini Anya berniat untuk pergi menemui Windi, ada beberapa hal yang ingin dia bicarakan sama sahabatnya itu.
Anya sudah lama tidak bekerja di tempat Windi, sudah dua bulan lebih, dan itu disebabkan oleh para pelanggan yang terus saja melontarkan kata-kata keji untuknya dan untuk keluarganya.
Saat sudah banyak yang tahu kalau dia adalah kakak dari Sasha, cafe Windi mendadak sepi dari pengunjung. Ada yang bilang itu disebabkan oleh Anya, karena tidak mau membuat masalah semakin besar, Anya pun memilih keluar dari sana.
Sebagai sahabat yang baik, Windi sudah berusaha keras membuat Anya mengubah keputusannya itu. Namun, keputusan Anya sudah bulat, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Anya tidak mau bertahan disana, dia tidak mau membuat Windi rugi. Cafe itu mereka bangun sama-sama dari nol, dan Anya mau kalau cafe itu tetap berjalan, dan jangan sampai gulung tikar hanya karena keberadaannya di sana.
"Hari ini pernikahan Rizki dan Syifa, lo enggak mau datang, Anya?" tanya Windi.
"Ngapain? Apa aku harus bertemu dia lagi dan kenangan itu akan kembali muncul?"
Windi mengambil ponselnya, ia memperlihatkan chatingannya beberapa hari yang lalu dengan Rizki. "Dia nyuruh lo datang, kalau lo mau gue bisa nemenin kok."
"Enggak usah, Win. Yang ada malah membuat kacau acara mereka, kamu kan tahu kalau keluarga Rizki enggak suka sama aku. Nanti apa kata mereka? Apa kata keluarga Syifa? Kita sudah sepakat untuk melupakan semuanya."
Anya meletakkan kembali ponsel Windi ke atas meja, dia berada di rumah Windi sekarang.
Anya sadar, tidak semua masa lalu harus dikenang walaupun indah, ada saatnya masa lalu itu harus dilupakan seutuhnya supaya dia bisa lebih tenang