Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diaz Emosi Melamar Lili dan Leri
Bab 33
Lili tidak bisa mendengar suara dari seberang, tetapi nada bicara Diaz semakin tajam.
"Bagaimana bisa ada kesalahan dalam perhitungan anggaran? Aku sudah mengingatkan untuk mengecek ulang sebelum diserahkan ke pihak investor!"
Hening sejenak.
"Jangan beri aku alasan!" Diaz mendesis, amarahnya semakin membara. "Aku tidak peduli bagaimana caranya, aku mau laporan revisinya di mejaku dalam satu jam! Kalau tidak, jangan harap kalian bisa mempertahankan posisi kalian di proyek ini!"
Nada suaranya begitu tajam dan menusuk, membuat atmosfer dalam mobil terasa lebih menegangkan.
Saat Diaz hendak melanjutkan amarahnya, tiba-tiba dia mulai batuk keras. Lili yang sejak tadi diam, refleks panik melihatnya.
Tanpa berpikir panjang, tangannya dengan cepat merogoh dashboard mobil dan mengambil sebotol air mineral. "Minum ini," katanya sambil menyodorkan botol itu ke Diaz.
Diaz awalnya ingin mengabaikannya, tetapi tenggorokannya yang terasa kering membuatnya tidak punya pilihan. Dia meraih botol itu dan meneguknya beberapa kali.
Begitu selesai, dia menutup teleponnya dengan wajah masih sedikit kesal. Napasnya lebih teratur, tetapi ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Dia memutar botol air mineral di tangannya dan menatap Lili. "Dari mana kau dapat air ini?"
Lili membuka mulutnya, hampir saja mengatakan bahwa dia mengambilnya dari dashboard mobil. Tapi entah kenapa, kata-kata itu tidak keluar.
Sebaliknya, dia berbohong. "Aku memang membawa air minum dari tadi."
Diaz menyipitkan mata. Matanya tajam, seakan mencoba membaca ekspresi Lili. Tapi sesuatu menarik perhatiannya—dashboard mobilnya yang masih terbuka.
Diaz menunjukkan jarinya ke sana. "Lalu kenapa dashboard ini terbuka?"
Lili terdiam. Seketika tubuhnya menegang. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Diaz tidak akan percaya kebohongannya.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Diaz mencengkeram lengan Lili. Pegangan itu tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk membuat gadis itu terkejut dan meronta.
"Tuan Diaz, tolong kendalikan diri Anda! Jika Anda terus berbuat kurang ajar, saya bisa melaporkan Anda!" suara Lili meninggi, matanya menatap Diaz dengan tajam.
Diaz tidak berkata apa pun. Dengan satu tangan, dia tetap mengendalikan kemudi, lalu tanpa ragu menepi ke bahu jalan. Bunyi klakson dari kendaraan lain terdengar nyaring, beberapa mobil sempat memperlambat laju mereka karena Diaz memaksa memotong arus padat untuk menepi.
"Turunkan tangan Anda," suara Lili bergetar, setengah marah, setengah takut.
Namun Diaz tidak mengendurkan cengkeramannya. "Katakan yang sebenarnya," suaranya rendah dan menekan. "Apa kau Leri? Atau kau mengalami amnesia?"
Lili tertegun sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mencoba menenangkan diri. "Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan, Tuan Diaz. Saya Lili, dan saya tidak pernah mengalami amnesia."
Diaz menyipitkan mata, jelas tidak percaya.
"Jangan pura-pura! Semua tanda mengarah padamu! Kau tahu letak air minum di mobil ini, seakan-akan kau sudah terbiasa dengan mobilku. Kebiasaanmu di restoran tadi, sepatu kaca biru yang kau pakai pas ukurannya. Lalu tentang bunga, coklat, dasi. Apalagi yang sama dengan Leri? Apa kau mau bilang itu semua kebetulan?!"
Diaz menarik napas panjang, emosinya terlihat jelas. "Aku sudah cukup bersabar, Lili. Jika kau benar-benar bukan Leri, kenapa kau tidak bisa memanggilku dengan nama saja?"
Lili mengerjap. "Apa maksud Anda?"
Diaz tersenyum sinis. "Leri selalu memanggilku dengan sebutan Tuan karena dia tahu statusnya. Dia tahu batasan. Dan sekarang kau juga melakukan hal yang sama. Apa itu kebetulan?"
Lili menggigit bibirnya, berusaha menyusun jawaban yang tepat. Namun sebelum ia sempat berbicara, Diaz melanjutkan dengan nada yang lebih dalam dan penuh kekecewaan.
"Apa yang kau sembunyikan? Kenapa kau tidak bisa jujur bahwa kau adalah Leri?"
Di tengah kemarahan Diaz yang semakin meningkat, Lili merasakan sesuatu di dalam dirinya. Ada perasaan asing, seperti dorongan yang tiba-tiba muncul dari dalam hatinya. Dia menatap Diaz dengan tatapan penuh keberanian, lalu dengan satu hentakan, ia menarik lengannya hingga lepas dari cengkeraman pria itu.
"Dan kalau aku memang Leri, lalu apa? Apa pentingnya untuk Anda?" suaranya tegas, tajam, dan penuh tantangan.
Diaz terdiam. Tidak menyangka Lili akan melawan balik dengan ekspresi setenang itu.
"Saya ini hanya rekan kerja Anda, Tuan Diaz," lanjut Lili dengan nada lebih tenang. "Tidak ada yang istimewa. Jangan mempermasalahkan hal yang tidak perlu. Dan saya ingatkan lagi. Nama saya Lili, bukan Leri."
Diaz masih menatapnya tanpa berkata apa-apa. Hanya ada keheningan di antara mereka, keheningan yang lebih memekakkan dibandingkan suara klakson dan deru mobil di sekitar mereka.
Diaz menatap Lili tajam, wajahnya semakin dekat hingga napasnya terasa hangat di wajah gadis itu. Matanya menelusuri setiap inci ekspresi Lili, mencari kebohongan di balik tatapan tenangnya.
"Kau bilang tidak penting? Tidak istimewa?" suaranya rendah, tapi penuh tekanan. "Apa karena kau lebih tertarik dengan perhatian Samir? Apa itu alasannya?"
Lili tersentak. Sorot matanya berubah, dari awalnya menantang menjadi sedikit terkejut. "Tuan Diaz, hentikan! Jangan bawa-bawa orang lain dalam perdebatan kita!"
Diaz tidak bergeming. "Kau benar-benar lupa? Kebersamaan kita? Semua yang pernah kita lalui? Kau tidak merasakannya sedikit pun?"
Lili menarik napas dalam, lalu menegakkan tubuhnya. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tetapi bukan senyum bahagia—lebih seperti senyum getir.
"Anda membahas perasaan? Ini yang menjadi permasalahan?" tanyanya sambil menatap Diaz dengan ekspresi penuh ironi. "Dulu kita masih kecil, apa hubungannya dengan perasaan? Masa kecil kita hanyalah hubungan pertemanan biasa. Aku hanyalah anak pelayan, sementara Anda adalah anak majikan."
Lili tertawa kecil, bukan karena bahagia, tetapi karena merasa apa yang dikatakan Diaz benar-benar tidak masuk akal.
"Mana mungkin hubungan itu bertahan sampai dewasa? Kita bahkan bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Dan sekarang Anda bicara soal perasaan?"
Kata-kata Lili terasa seperti tamparan keras bagi Diaz. Tatapannya yang semula penuh dengan keyakinan kini meredup. Perlahan, dia menjauhkan wajahnya dari Lili. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan emosi yang mulai berkecamuk dalam dadanya.
"Jadi... perasaan ini hanya aku yang merasakannya?" suaranya lebih lirih dari sebelumnya, tapi masih sarat dengan kekecewaan.
Lili tidak menjawab. Matanya berkedip cepat, seolah sedang menimbang sesuatu di dalam benaknya.
Di dalam mobil yang sunyi, hanya ada ketegangan di antara mereka. Satu orang ingin jawaban, satu orang tidak ingin memberi jawaban.
"Asal kau tahu, tadinya aku akan lebih sabar menunggu sampai benar-benar yakin kau adalah Leri. Tapi ... tapi aku tidak bisa. Rindu ini terlalu berat untuk ditunda lagi," bisik Diaz penuh tekanan.
"Stop Tuan Diaz. Hentikan drama ini. Profesional lah dalam bisnis kita."
"Omong kosong dengan bisnis!" nada Diaz kembali meninggi.
Dengan cekatan Diaz melepaskan kalung cincin liontinnya, kemudian diacungkan di depan Lili. Dengan mata tajam dan lebih keyakinan, meski guratan emosi masih tersisa di wajahnya, Diaz berkata;
"Nona Lili, atau Leriva Hanavi. Pada hari ini aku melamar mu."
Lili yang wajahnya mulai basah dengan air mata, terbelalak dengan sikap nekat pria penuh ambisi di hadapannya. Dia terpaku, entah harus bereaksi bagaimana.
Bersambung...