Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arman Tak Ingin Bercerai
Arman Tak Ingin Bercerai
Hari-hari setelah keputusan Nisa semakin terasa berat bagi Arman. Setiap kali ia terjaga, bayangan Nisa yang semakin menjauh darinya terus menghantui. Terkadang, ia merasa seperti terperangkap dalam kesalahan yang tak bisa ia perbaiki, namun ia juga tahu bahwa dia harus berusaha lebih keras untuk mempertahankan pernikahannya.
Setelah malam yang penuh ketegangan, di mana Nisa secara tegas mengungkapkan niatnya untuk bercerai, Arman merasa hidupnya seolah jatuh dalam kehampaan. Ia tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Bagi Arman, meskipun ia telah mengkhianati Nisa dan ibunya juga terlibat dalam pengkhianatan tersebut, perasaan cintanya terhadap Nisa tidak bisa begitu saja pudar. Ia masih mencintainya, dan tidak ada hal lain yang lebih penting bagi Arman selain melihat Nisa kembali bahagia dan memilih untuk tetap bersamanya.
Pagi itu, ketika Arman masuk ke ruang tamu, Maya sudah menunggu dengan wajah muram. Nisa tidak ada di rumah, dan itu menambah kegelisahan dalam hati Arman. Maya hanya bisa menunduk, merasa tidak mampu lagi berkata-kata. Tak ada yang bisa ia lakukan selain merasakan kesalahan yang telah mereka buat.
"Nisa ingin bercerai, Mama," kata Arman dengan suara berat. "Aku harus memperjuangkannya. Aku tidak akan membiarkan semuanya berakhir seperti ini."
Maya hanya mengangguk pelan, tidak tahu lagi bagaimana harus memberi dukungan pada Arman. "Aku tahu, Arman. Tetapi apakah kamu yakin kamu bisa mengubah semuanya? Aku tahu apa yang telah kita lakukan sangat menyakitkan untuk Nisa. Tapi kita harus memberi dia ruang."
"Memberi dia ruang?" Arman bertanya dengan nada kesal. "Aku tidak bisa memberi ruang pada perasaan yang begitu hancur. Aku harus bertanggung jawab atas kesalahan yang telah aku buat. Aku tidak bisa hidup tanpa dia, Mama. Aku tidak bisa menyerah begitu saja."
Maya menghela napas panjang, mencemaskan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Arman, aku tahu perasaanmu. Tetapi Nisa sudah sangat terluka. Kadang-kadang, kita harus menerima kenyataan pahit bahwa seseorang mungkin tidak bisa lagi melanjutkan hidup bersama kita."
Arman tidak bisa menerima itu. Baginya, Nisa adalah segalanya, dan ia merasa bahwa meskipun dia telah salah, ia masih memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Ia tahu jika ia tidak berjuang keras, ia akan kehilangan Nisa selamanya.
Dengan tekad yang kuat, Arman memutuskan untuk menemui Nisa. Ia tidak peduli jika itu berarti ia harus menghadapi kenyataan pahit atau menerima penolakan. Ia harus berbicara langsung dengan Nisa, meminta kesempatan, dan berusaha meyakinkan istrinya bahwa ia benar-benar menyesal dan ingin memperbaiki semuanya.
---
Beberapa jam setelahnya, Arman berdiri di depan pintu rumah Nisa, matanya penuh tekad dan harapan. Nisa, yang merasa sangat bingung dan terpecah antara amarah dan rasa sakit, masih belum bisa memutuskan apakah ia siap untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Arman. Namun, ia tahu bahwa pertemuan ini tidak bisa dihindari. Ia harus berhadapan dengan kenyataan dan dengan suaminya yang telah mengkhianatinya.
Ketika pintu dibuka, Arman berdiri di sana, tatapannya penuh harap. "Nisa," kata Arman dengan suara yang penuh penyesalan, "aku tahu aku telah menyakiti kamu. Aku tahu aku telah merusak segalanya. Tapi aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Aku masih mencintaimu."
Nisa memandang Arman dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Hatinya terasa hancur, tetapi di sisi lain, ada bagian dirinya yang masih merindukan kehadiran suaminya. Meskipun begitu, luka yang dalam tidak bisa begitu saja disembuhkan dengan kata-kata.
"Kamu masih mencintaiku?" tanya Nisa dengan suara gemetar. "Setelah semua yang terjadi? Setelah semua kebohongan dan pengkhianatan? Apa kamu benar-benar yakin dengan itu?"
Arman menundukkan kepala, merasa sangat bersalah. "Aku tahu kata-kata tidak cukup, Nisa. Aku tahu aku sudah menghancurkan kepercayaanmu. Tapi aku berjanji, aku akan berusaha untuk memperbaiki semuanya. Aku akan berjuang untuk kita. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa kita harus berpisah."
Nisa menatap suaminya dengan mata yang penuh air mata. "Arman, kamu tahu apa yang telah kamu lakukan. Kamu menghancurkan kepercayaan kami, menghancurkan keluargaku. Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima kamu lagi setelah semuanya yang telah terjadi."
Arman mendekat, mengambil tangan Nisa dengan lembut, meskipun ia tahu bahwa ia tidak bisa memaksa Nisa untuk mengubah pikirannya. "Nisa, aku tahu aku pantas mendapatkan rasa benci dan amarahmu. Aku pantas mendapatkannya. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Nisa merasa begitu bingung. Di satu sisi, ia masih mencintai Arman, dan rasa sakit itu terus menggerogoti hatinya. Namun, di sisi lain, luka yang telah ditinggalkan oleh pengkhianatan itu terasa sangat dalam dan sulit untuk sembuh. Ia ingin percaya bahwa perubahan itu mungkin, tetapi ketakutan akan terluka lagi selalu menghantuinya.
"Aku tidak tahu, Arman," kata Nisa akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku sangat terluka. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan kamu atau tidak. Tapi yang jelas, aku tidak ingin hidup dalam kebohongan lagi. Aku butuh waktu untuk berpikir."
Arman menatapnya dengan penuh harapan, meskipun ia tahu bahwa waktu mungkin tidak bisa mengembalikan semuanya seperti semula. "Aku akan memberi kamu waktu, Nisa. Aku akan menunggumu. Aku akan berusaha melakukan apa pun yang kamu butuhkan, tapi aku tidak akan menyerah. Aku masih ingin kita bersama."
Dengan kata-kata itu, Arman berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Nisa dengan perasaan yang begitu campur aduk. Perasaan yang sulit untuk dijelaskan, karena meskipun hatinya masih mencintai Arman, ia tidak tahu apakah ia bisa menerima lagi pria yang telah mengkhianatinya.
Sementara itu, Arman berjalan dengan langkah yang berat, merasa bahwa ini adalah perjuangan yang paling penting dalam hidupnya. Ia tidak bisa menyerah pada cinta yang masih ia miliki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi penolakan atau rasa sakit yang lebih dalam. Ia tahu, baginya, tidak ada yang lebih penting selain mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya dan membuktikan bahwa ia masih layak untuk dicintai.