Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat Buruk
Renata tiba di depan rumahnya. Gadis itu masuk perlahan-lahan ke ruang tamu lalu berhenti. Ia ragu untuk melanjutkan langkah. Tapi ia tahu, ia tak mungkin berdiam terus di ruang tamu. Setelah menghela napas Renata memasuki ruang keluarga, meski ada sedikit beban di hatinya.
Sabtu ini, seperti biasa, ia pulang dari kosnya di dekat Universitas Al-Azhar Indonesia, di mana ia menempuh kuliah di jurusan Informatika. Renata melenggang dalam setelan jeans santai dan kaos kasual dipadu dengan kerudung sederhana yang membalut rambutnya. Namun, begitu matanya menangkap tatapan kedua orang tuanya, ia tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres.
Tuan Pratama dan Nyonya Pratama duduk di ruang keluarga, memandang putri mereka dengan ekspresi yang tak sepenuhnya suka. Terutama Nyonya Pratama, yang menatap kerudung kasual Renata seolah-olah melihat sesuatu yang asing. Tuan Pratama pun menyinggung penampilan baru putrinya dengan nada yang setengah bercanda namun jelas mengandung kritik.
"Renata, kamu pulang dengan gaya yang... berbeda," ucap Tuan Pratama sambil melirik kerudung yang dikenakan putrinya. "Tidak seperti biasanya, ya? Kenapa harus dengan kerudung seperti itu? Apa tidak ada yang lebih... modern?"
Renata hanya tersenyum tipis, menahan perasaan yang ingin ia luapkan. "Aku merasa nyaman dengan ini, Ayah. Tidak ada yang salah dengan berpakaian seperti ini."
Sebelum ada percakapan lebih lanjut, Renata menyadari ada sesuatu yang lain di ruangan itu. Di meja depan, terdapat tumpukan undangan pernikahan. Ia berjalan mendekat dan mengambil salah satu undangan dengan ekspresi datar. Mencermati nama Karin yang tercetak di sana, ia menghela napas panjang.
"Jadi ini undangan pernikahan Adi dan Karin," gumamnya tanpa antusias. Mata Renata menatap undangan itu dengan ekspresi enggan. "Ayah dan Ibu benar-benar merasa ini adalah pilihan yang tepat, ya?"
Nyonya Pratama tersenyum. "Karin itu anak yang baik, Renata. Keluarganya terpandang, dan dia tampak sangat cocok dengan Adi. Kita semua harus yakin, pernikahan ini akan membawa banyak hal baik untuk keluarga kita."
Renata menggoyang-goyangkan undangan itu di tangannya, seolah mempertimbangkan sesuatu.
"Aku tidak yakin kalau Ayah dan Ibu benar-benar memahami hubungan Adi dan Karin," ujarnya dengan nada yang sedikit memberontak. "Aku tidak yakin kalau Karin… seperti yang Ayah dan Ibu gambarkan. Selama ini aku melihat beberapa keanehan padanya. Ayah dan Ibu seharusnya tidak terburu-buru untuk mengambil langkah ini."
Tuan Pratama mengerutkan kening, merasa terganggu dengan sikap Renata yang selalu berbeda pandangan. "Renata, jangan mengada-ada. Karin adalah calon menantu yang ideal. Kamu ini… selalu saja mencari masalah."
Renata menggeleng pelan, perasaan kecewa mulai merambat dalam hatinya. "Bukan mengada-ada, Ayah. Aku hanya ingin Ayah dan Ibu membuka mata dan ikut menyelidiki sebelum semuanya terlambat. Tapi ya sudahlah... Aku tahu pendapatku tidak pernah dianggap penting di keluarga ini."
“Renata, daripada kamu selalu menentang, lebih baik kamu lihat penampilanmu sendiri sekarang. Kenapa kamu berpenampilan seperti itu?” ujar Nyonya Pratama mulai marah.
Mendengar penuturan ibunya, Renata menghela napas. “Bu…”, ia mau bicara, tapi seolah tak mampu meneruskan.
Renata pun hanya meletakkan undangan di atas meja, lalu berbalik dan berjalan menuju kamar. Kedua orang tuanya hanya bisa saling bertukar pandang, tak mampu memahami mengapa putri mereka selalu bersikap seperti itu.
Di dalam kamar, Renata menutup pintu dengan perasaan campur aduk. Pandangannya tertuju pada cermin, di mana bayangan dirinya dengan kerudung yang ia kenakan tampak jelas.
"Ya sudah, kalau mereka tak mau mendengar pendapatku soal kerudung ini atau soal Karin, mungkin ini bukan urusanku lagi," bisiknya pada dirinya sendiri.
Renata tahu bahwa ia harus bersikap cuek, seperti biasa supaya hatinya tetap netral. Jika pendapatnya tidak dihiraukan, ia tidak akan memaksakan diri untuk didengar. Namun, dalam hatinya, ia tetap merasa bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan rencana pernikahan kakaknya.
Renata menutup pintu kamarnya dengan perlahan, meninggalkan kehebohan di ruang keluarga. Ia melemparkan tasnya ke atas tempat tidur, lalu duduk di depan cermin, memperhatikan pantulan dirinya dengan cermat.
Kerudung yang ia kenakan memang sederhana, kasual, dan tidak mencolok. Tapi bagi Renata, ini bukan sekadar aksesori maupun ikut-ikutan gaya berpakaian mayoritas mahasiwi Universitas Al-Azhar Indonesia, melainkan awal dari sesuatu yang lebih dalam, sebuah langkah kecil menuju perubahan.
Pikirannya terbang ke sosok yang selama ini menginspirasi keputusannya untuk mulai mengenakan kerudung. Seorang kakak tingkat di kampus, seorang perempuan yang tidak pernah benar-benar ia kenal secara pribadi, namun selalu menarik perhatiannya setiap kali bertemu di masjid kampus atau acara yang diadakan oleh anak-anak DKM.
Kakak tingkat itu tidak pernah berbicara banyak, namun kehadirannya dan sinar matanya selalu memancarkan kekuatan dan ketenangan yang sulit dijelaskan.
Kakak tingkatnya itu begitu mencolok dalam busana Muslimah-nya yang elegan. Kakak tingkat tersebut tampak berbeda dari yang lain. Ada sesuatu yang sangat mengagumkan dalam cara perempuan itu membawa dirinya—tangguh, namun tetap anggun.
Di mata Renata, dia adalah gambaran ideal dari seorang Muslimah yang telah menemukan kedamaian dalam keyakinan. Sesuatu yang Renata, dalam pencariannya, ingin sekali mencapai.
"Kata anak-anak DKM, dia sudah lulus," gumam Renata pada dirinya sendiri, masih memandang bayangan dirinya di cermin. "Aku bahkan tidak sempat berkenalan."
Pertemuan mereka sebenarnya sangat singkat dan jarang. Kakak tingkat itu tidak berada di jurusan yang sama dengan Renata, sehingga pertemuan mereka terbatas pada momen-momen singkat di masjid atau acara keagamaan di kampus. Namun setiap kali melihatnya, Renata merasakan dorongan kuat untuk berubah, untuk menjadi versi dirinya yang lebih baik.
Tapi perubahan bukanlah sesuatu yang mudah. Renata tahu itu. Ia tahu bahwa mengenakan kerudung hanyalah langkah awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan.
Mungkin ia belum siap untuk mengikuti jejak kakak tingkatnya itu sepenuhnya—belum siap seperti dirinya, belum siap untuk perubahan yang lebih besar. Namun, keinginan itu ada, dan itulah yang mendorongnya untuk mulai berubah, meski sedikit demi sedikit.
"Kalau saja aku bisa bertemu dengannya lagi," pikir Renata sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. "Aku ingin tahu bagaimana dia sekarang. Bagaimana dia melanjutkan hidup setelah lulus? Apa dia masih seanggun dan setangguh dulu?"
Namun, harapan itu tampak sulit untuk diwujudkan. Informasi yang dimilikinya tentang kakak tingkatnya itu sangat terbatas. Bahkan, Renata tidak tahu di mana perempuan itu berada sekarang, atau apakah dia masih di Jakarta atau sudah pindah ke tempat lain.
Perasaan rindu dan keinginan untuk bertemu sosok yang telah menjadi inspirasi bagi perjalanannya tak pernah hilang. Mungkin suatu hari nanti, pikir Renata, ia akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya kembali. Mungkin saat itu, ia bisa belajar lebih banyak, bisa mendapatkan panduan yang lebih jelas tentang langkah-langkah selanjutnya dalam hijrahnya.
Renata bergerak menjauhi cermin lalu membaringkan tubuh di atas kasur, mencoba meredakan segala kegelisahan yang bergemuruh di dalam hatinya. Ia menatap langit-langit kamar, merasakan kesepian yang selalu menghantuinya setiap kali ia pulang ke rumah.
Meskipun tinggal di bawah satu atap dengan keluarganya, Renata sering merasa terasing. Pemikiran-pemikirannya yang berbeda, serta sifat pemberontaknya, membuatnya merasa tidak sepenuhnya dipahami oleh orang-orang yang seharusnya paling dekat dengannya.
Adapun kakaknya, Adi, gadis itu mengakui cukup dekat dengannya, namun Adi yang kini seorang CEO perusahaan lebih banyak sibuk bekerja daripada menjalin komunikasi dengan Renata, kecuali saat weekend jka keduanya sama-sama ada di rumah. Kenyataannya Renata sendiri sibuk menjalani kuliah.
Mengingat soal kuliahnya, Renata merasa sedikit getir. Ia tahu orang tuanya sangat menginginkan dirinya kuliah di UI atau IKJ, mengambil jurusan bisnis atau seni seperti yang mereka harapkan. Namun, Renata memilih jalur yang berbeda—jurusan informatika di UAI.
Bukan karena ingin melawan orang tuanya, tapi karena itulah yang benar-benar ia inginkan. Teknologi, khususnya dunia komputer, adalah sesuatu yang membuatnya merasa hidup, merasa terkoneksi dengan sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.
Kemudian Renata mengingat Adi, kakaknya yang sebentar lagi akan menikah dengan Karin. Mengingat itu Renata merasa gundah. Ia tahu betapa orang tuanya sangat mengagumi Karin, tapi bagi Renata, ada sesuatu yang tidak benar tentang perempuan itu.
Sebagai seorang perempuan yang mendalami IT, Renata memiliki kemampuan analisis yang tajam dan perhatian terhadap detail. Belakangan ini, ada sesuatu yang terus-menerus mengganggu pikirannya, sesuatu yang terkait dengan Karin, tunangan kakaknya, Adi.
Pada awalnya, Renata tidak begitu peduli. Adi, yang lebih tua dan sudah menjadi CEO PT Adikarya Pratama Group, tampak cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Namun, seiring waktu, semakin ia mencoba memperhatikan gerak-gerik dan reaksi Karin bersama Adi, semakin banyak hal yang membuat Renata merasa ada sesuatu yang tak beres.
Meskipun Adi tampak cuek dan penurut terhadap keputusan orang tua mereka, Renata tidak bisa mengabaikan beberapa tanda-tanda aneh yang ia temukan saat melihat interaksi Karin dengan Adi. Karin sering menunjukkan sikap yang ambigu, kadang-kadang tampak terlalu menuntut, kadang sangat posesif.
Meskipun belum ada bukti konkret, Renata mulai curiga bahwa hubungan Karin dengan Adi mungkin tidak sehat, seperti ada dinamika toxic yang mulai terbentuk. Namun, Renata sadar ini baru tanda-tanda awal yang belum jelas, dan mungkin juga hanya kekhawatiran berlebihan dari dirinya.
Perasaan tak nyaman Renata semakin menguat karena ia sangat mencemaskan kakaknya, Adi. Sebagai adik yang cukup dekat dengan Adi, meskipun kesibukan masing-masing saat ini membatasai komunikasi mereka, Renata selalu ingin yang terbaik bagi kakaknya. Sejak kecil, mereka berdua selalu memiliki hubungan yang erat.
Adi adalah sosok yang selalu melindungi Renata, dan mereka sering berbagi cerita serta bermain bersama. Bahkan, beberapa tahun sebelum Adi menjadi CEO dan mulai sibuk dengan tanggung jawabnya yang besar, mereka masih sering menghabiskan waktu bersama dan berdiskusi tentang banyak hal.
Renata tak ingin melihat Adi terpuruk. Maka hubungan Adi dan Karin yang tampak tak begitu bagus pun dengan cepat membuat Renata gundah—ia merasa perlu melindungi Adi, seperti Adi pernah melindunginya dulu.
Renata sadar, belum ada bukti konkret. Gadis itu merasa perlu menyelidiki lebih jauh. Dia tahu bahwa kakaknya, Adi, terlalu sibuk oleh tanggung jawab sebagai CEO untuk memperhatikan detail-detail ini.
Kecuali soal fashion, Adi adalah tipe orang pragmatis yang tidak terlalu memusingkan hal-hal kecil, terutama jika itu menyangkut perjodohan yang telah diatur oleh orang tua mereka.
Karin, dengan kecantikan dan kepintarannya, tampak sebagai pilihan yang tepat di mata semua orang. Tetapi bagi Renata, kecantikan dan kepintaran saja tidak cukup. Ada sesuatu yang harus diungkap, sesuatu yang ia yakini sangat penting demi melindungi keluarganya.
Bangkit dari tempat tidur, Renata memutuskan untuk bersiap mandi. Ia tahu bahwa ini baru permulaan, dan jika ia ingin menemukan kebenaran, ia harus bersiap menghadapi kemungkinan yang lebih besar.
Pikiran tentang Karin terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin yakin bahwa langkah selanjutnya adalah menyelidiki lebih dalam—mungkin dengan menggunakan kemampuan hacking sederhana yang ia kuasai.
Sambil membuka pintu kamar mandi, Renata bertekad dalam hati. Ia tidak akan diam saja melihat keluarganya mungkin terjerat dalam sesuatu yang berbahaya. Dengan semangat yang baru, ia siap menghadapi apapun yang akan ia temukan, apapun risikonya.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.