Tolong bantu support dan jangan lompat bab saat membaca ya, terima kasih 💗
Delilah Atmaja—seorang perempuan—yang sama sekali tak berkeinginan menikah, terpaksa menuruti kemauan sang ayah. Justru bertemu kembali dengan Ananda Dirgantara—musuh semasa SMA—dan justru berakhir di pelaminan. Tak berhenti sampai di sana, Rakanda Dirgantara—mantan cinta pertama Delilah—menjadi sang kakak ipar. Hadir juga hari dimana Raka menerima bantuan dari si jelita, Delilah. Membuat keruh hubungan rumah tangga Nanda dan Delilah yang telah menjadi seorang istri.
Dapatkah mereka akan melewati drama pernikahan dan pergulatan hati masing-masing? Akankah mereka berdamai dengan keadaan dan menemukan akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nichi.raitaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Nanda tak sibuk berteriak dalam hati menyahuti pertanyaan sang istri. Akan tetapi, dia lupa tak membuka gembok di mulut sehingga si jelita tak bisa mendengar kalimat di hati sang suami. Bertahan di posisi demikian selama beberapa menit, saling mengadu teriakan frustasi lewat tatapan mata. Tak membuat kondisi mereka membaik, justru sebaliknya. Keheningan yang makin menyayat hati masing-masing. Padahal, baru saja hubungan mereka terlihat membaik. Ternyata hanya ketenangan sebelum badai.
“Apa kau begitu ingin menyiksaku, sampai melakukan hal murahan begini? Apa belum cukup aku melepaskan dunia untukmu?” Delilah mulai tak bisa menahan kepedihan yang singgah, membuat air bening terkumpul di pelupuk mata.
Selama ini dia telah berusaha sebaik mungkin terlihat baik-baik saja. Di saat sedang kehilangan arah dan tujuan hidup karena melepaskan rutinitas yang menemani si jelita. Dia berupaya mengembalikan keceriaan dengan menemui Feli dan menyibukkan diri dengan aktivitas baru. Berharap dia segera terbiasa dengan statusnya yang baru juga.
“Apa kau tersiksa saat bersamaku, Delilah? Kau sama sekali tidak bahagia? Kau benar-benar ingin bersama Raka?” Nanda melemah, suara si pria mulai merendah.
“Nanda apa kau bodoh? Aku bahkan merelakan pekerjaan yang kucintai demi menikah denganmu. Sekarang kau bahkan membuntuti setiap pergerakanku?” Mata Delilah mulai basah, “kenapa kau begitu jahat!” Sekarang dia memukuli Nanda.
Sang suami hanya hening dan bergeming. Dia sendiri sama sekali tak tahu, siapa pengirim amplop yang berisi foto tadi. Entah apa pula maksud dari si pengirim, dia sudah terlanjur lepas kendali dan terbakar emosi. Sekarang, sedikit menyesal dia membuat Delilah semakin salah paham. Namun, urung menjelaskan. Suara Delilah kembali terdengar.
“Bagaimana kau bisa tak mempercayai istri sendiri! Dasar sialan, kau sama sekali tidak berubah! Menyebalkan!” Delilah tak berhenti mengomel dan memukul dada Nanda dengan air mata yang terus turun tanpa henti.
Masih tak memiliki kalimat, Nanda memilih menangkap tangan Delilah yang hendak memukul kembali. Netra mereka berjumpa. Terpaksa Nanda menatap wajah basah Delilah dan mata sembab si jelita lagi.
Ah, kenapa aku selalu membuatmu menangis, Delilah, hati Nanda mencelos.
“Akan kurobek mulutmu jika bertanya tentang Raka lagi! Aku tak mau dibuntuti, jadi hentikan saja! Aku akan berada dirumah dan terus mengganggumu saat jam kerja agar segera pulang dan menemaniku jalan-jalan! Kau puas!” Delilah berkata dengan lantang meski air mata masih terus turun.
Sialan, kenapa kau malah terlihat menggemaskan, Nanda tersenyum tipis dengan bisikan dalam hati.
“Jangan tersenyum, bodoh! Aku sedang kesal dan sedih!” Delilah menarik tangan dan memukul kembali Nanda.
Ketimbang mengulur waktu, Nanda memeluk tubuh mungil Delilah dan mendekap erat sang istri. Meski memberontak, tenaga Delilah tak seberapa dibanding Nanda. Dia jelas kalah telak, tubuh mungil Delilah tenggelam di pelukan hangat sang suami. Si jelita bahkan dapat mendengar dengan jelas, degup jantung Nanda yang masih tak beraturan. Hampir sama dengan miliknya sendiri.
Setelah tenang, mereka duduk berdampingan di sofa. Mengamati sederet foto tanpa nama pengirim. Nanda berhasil menjelaskan kedatangan amplop coklat di laci meja kerja. Entah sejak kapan datang, yang jelas Matthew menyimpan amplop setelah jam operasi kemarin. Delilah juga sudah meluruskan kesalahpahaman tentang pertemuan tanpa sengaja antara dia dan Raka. Mereka bahkan telah melakukan panggilan suara juga pada sang kakak, tentu jeweran di telinga Nanda masih membekas kemerahan.
“Lain kali kau harus belajar lebih mendengarkan, Dokter.” Delilah masih memberi bonus cubitan di lengan Nanda.
“Aw, tapi siapa pengirimnya? Apa kau punya musuh, Delilah?” Nanda mengaduh sambil mengelus lengan.
Tentu saja, dirimu, musuhku, Delilah menjawab dalam hati sambil melirik pedas ke arah Nanda.
“Hei, itu sama sekali bukan jawaban. Aku suamimu,” Nanda seolah tahu isi hati si jelita.
“Hah, bagaimana kau bisa mendengar kata hatiku?” Netra Delilah membulat menatap sang suami.
“Perkara mudah.” Nanda mengedikkan bahu sambil beranjak meninggalkan Delilah.
***
Di tempat lain, seorang dokter muda ternganga tak percaya. Dia baru saja mengirim surat cepat menuju neraka yang lebih menyeramkan ketimbang sekarang. Sungguh tak sengaja dia melakukan kesalahan berulang.
“Yakin, Dokter Nanda udah nikah?” Melinda menatap Lukas—teman seperjuangan—tak percaya.
“Iya, beneran. Orang nempel banget di rumah duka gue liat. Beneran bilang, terima kasih buat su-a-mi-nya.” Lukas sampai mengeja kata penting di kalimat.
Lukas kebetulan diminta tolong untuk memesan dan mengirim bunga ke rumah duka tadi. Karena rumah si pemuda tak jauh dari rumah duka. Tentu tak keberatan pula, dia memenuhi tugas sebelum berangkat ke rumah sakit. Tak sengaja dia berjumpa dengan dokter Nanda dan istrinya yang jelita.
“Mampus! Salah lagi aja gue nulisnya!” Melinda memukul kening sendiri.
“Napa lagi aja sih, Lu?” Puspita ikut memukul pelan kening Melinda.
Melinda tak bisa menjawab. Dia pasrah, tinggal menunggu saat dimana dia mendapat tugas tambahan. Masih lebih baik jika berupa tugas ketimbang omelan tak berujung. Surat sudah terlanjur dikirim, tak mungkin ditarik kembali. Apalagi sudah lewat satu hari, tentu dokter Nanda telah menerimanya.
Eh, tunggu. Tapi, kok dia masih diem aja? Netra Melinda yang tadi terpejam langsung terbuka.
Dia memiliki ide gila lain. Barangkali masih sempat untuk diselamatkan. Dia mengangguk mantap tanpa suara. Beberapa rekan yang berada di sekitar menggeleng tak mengerti.
“Mel, jangan makin berulah ya, Lu!” Puspita menyentil telinga si sahabat.
“Tenang aja.” Melinda menepuk balik bahu Puspita.
Setelah selesai dengan seluruh kegiatan harian dan tugas. Melinda melangkah mengendap menyusuri lorong putih yang sepi. Hingga sampai di pintu bertuliskan nama dokter yang dimaksud si perempuan. Dia memastikan berulang jika tak ada satupun manusia yang lewat ataupun mengawasinya. Sekali lagi dia menengok ke kanan dan ke kiri, bahkan menahan napas saking gugup.
Dia sudah memastikan si pemilik ruangan telah selesai dengan jam praktek. Meski sebenarnya si dokter sudah tak berada di ruangan sejak tadi. Perlahan dia menggeser pintu dan mendapati ruangan kosong tanpa penghuni. Masih berjingkat dia masuk ke dalam.
Sejenak dia tak melihat bingkisan yang dia tinggalkan kemarin, sudah tak nampak di meja. Sedikit panik dia mengedarkan pandangan, tetap saja tak berhasil menemukan si bingkisan.
“Aduh, mampus. Udah di terima sama doi, tapi kok masih diem aja, sih? Suratnya udah kebaca belom, ya ampun. Gue bego amat!” Melinda sibuk bergumam seorang diri sambil menyusuri ruangan dan memukul pelan kepala mungilnya.
Setelah beberapa lama menggeledah hingga ke lemari. Dia tetap tak menemukan bingkisan yang dikirimnya kemarin. Entah bagaimana setelah ini nasib di dokter muda lagi.
“Nggak ada, aduh. Malah makin gelisah gue, asem.” Melinda menghentakkan kaki ke lantai.
Grek! Suara yang menyedot atensi si dokter muda dan seorang di balik pintu yang bergeser. Manik keduanya saling beradu tatap.
***
Cihuy, author hampir kelewatan nggak update karena kalian senyap banget loh ... Yuk bisa yuk, kirim like dan tinggalkan komentarnya ...
See you 💗