DARK SIDE

Mendengar pengaduan dari Sri, tuan Wijaya bergegas masuk ke rumah utama. Orang-orang yang mencari berita sudah pada pulang.

Sri mengikuti tuan Wijaya dari belakang. Walaupun ia sebagai pacarnya, di depan umum Sri tetap menyembunyikan hasrat hatinya yang kadang ingin diakui.

Sampai di depan kamar Arumi, tuan Wijaya langsung menendang pintu jati itu.

"Braakkkk..."

Pintu ditendang dari luar, tuan Wijaya berdiri kaku sambil bertolak pinggang.

"Dayan! Begitu caramu memperlakukan adikmu, kvrang ajar!!" bentak pak Wijaya marah.

"Saya sudah melarang mereka berantem, tetap saja mereka saling pukul, saya khawatir tuan." ucap Sri yang berada di belakang tuan Wijaya.

"Bangun kalian, tidak tahu diri!!"

Dengan terpaksa Dayan Kole dan Arumi melepaskan cengkramannya. Sebenarnya mereka belum puas berantem. Apa boleh buat, tuan Wijaya sudah marah-marah.

"Papa tidak habis pikir, kenapa kamu memukul perempuan, apa kamu gil4."

"Paa...jangan bela dia, mama meninggal gara-gara siapa, dia lahir tanpa ayah. Aku ingin menghancurkan perempuan yang membuat ibuku meninggal."

"Dayan pulang, kamu tidak mengerti apa-apa. Ibumu sakit bukan karena si A, si B, dia meninggal karena takdir."

Arumi perlahan berdiri, kakinya gemetar menahan marah. Baju dan rambutnya awut-awutan tidak karuan. Pipinya lebam dan pakaiannya robek. Ia kelihatan kacau.

"Arumi, kamu perempuan, ngapain sibuk berantem, gimana kalau gigimu rontok." ucap tuan Wijaya menghampiri Arumi.

"Aku ingin menendang manusia ini sampai remvk tulangnya, om jangan bela."

"Sabar-sabar, tidak boleh berantem."

"Aku tidak takut, kau pikir kau saja bisa karate, aku juga bisa, sabuk hitam ini."

"Damai-damai, Sri panggil dokter, tampaknya mereka berdua luka-luka."

"Baik tuan." sahut Sri sopan seraya keluar dari kamar.

"Arumi ganti pakaianmu, sebentar lagi kalian di periksa dokter."

"Ya om, tolong proses dia, sudah memukul wajahku." kata Arumi sambil memegang pipinya.

"Jangan bawel, aku menampar gak keras, kalau keras rontok gigimu."

"Keras sekali, gigiku goyang semua."

"Kau juga memukul pipiku, punggung, lengan, paha, belum kau gigit aku."

"Tapi aku gak keras." kilah Arumi tidak mau kalah.

"Sudah-sudah, Arumi ganti baju dulu, nanti Dayan duluan periksa." ucap tuan Wijaya seraya duduk disofa.

"Tookk...tookk..."

"Masuk..."

"Selamat sore tuan, ada apa ini? Pasti berantem dengan King ya. Tadi anak itu minta diobati juga."

"Siapa King?" tanya tuan Wijaya mengernyitkan alisnya.

"Sopir taxi tuan, dia mengaku pacar nona Arumi." sahut Sri cepat.

"Apa..? Anak itu sudah berani pacaran dengan manusia bergajulan?"

"Pohon mangga akan berbuah mangga, jangan harap berbuah jeruk. Kita harus usir Arumi sebelum bikin masalah di Puri." ucap Dayan.

"Tenang dulu kita tanyain Arumi, tidak mungkin dia segegabah itu."

"Aku yang tahu paa, dia nonton ogoh-ogoh berdua dan pulang pergi ke kantor selalu naik taxi. Bukti apa lagi paa..menunggu perutnya melendung?" jawab Dayan Kole berusaha meyakinkan papanya.

"Walaupun dia ganteng, ramah, beradab, tapi dia miskin." Sri juga ikut mengompori.

Tuan Wijaya terdiam, hatinya menolak kejadian masa lalu yang merenggut nyawa adik bungsunya dan mencoreng nama Puri kedasi.

Sebelum nyonya Sonya berpulang, beliau menitipkan pesan untuk mengurus Arumi, menjaganya sampai menikah.

Tentu saja tuan Wijaya peduli kepada Arumi, dibanding adiknya Yoga dan Ida istrinya. Ia tahu anaknya tidak senang kepada Arumi karena gadis itu setengah persen sahamnya ada disetiap properti keluarga.

Sedangkan kewajiban keluarga sama, dia anak perempuan yang seharusnya tidak punya hak apapun, tapi sebagian besar harta nyonya Sonya yang dia beli diwariskan ke Arumi.

Sebenarnya itu sah-sah saja, kecuali harta leluhur baru anak perempuan tidak dapat. Tapi karena tuan Yoga, nyonya ida dan Dayan kole kemaruk harta, mereka tidak ikhlas kalau Arumi hartanya lebih banyak.

"Maaf tuan, saya mau menyiapkan makan malam." ucap Sri mendekati tuan Wijaya. Laki-laki itu menarik tangan pacarnya.

"Sri, kamu tidak menawarkan aku minum, aku dari tadi haus."

"Kenapa baru bilang, nanti kamu bilang aku gak ngurus." ucap Sri melepaskan tangannya yang diremas oleh tuan Wijaya.

Sri beranjak dari hadapan tuan Wijaya, ia sangat bahagia kalau tuan Wijaya tidak malu-malu memegang tangannya didepan Dayan Kole.

Kadang Sri ingin menyudahi hubungan ini, tapi tuan Wijaya tidak pernah mau putus. Ia merasa sebagai wanita simpanan yang tidak punya hak dalam segala hal.

Padahal Sri ingin dinikahin, umurnya sudah dua puluh delapan tahun, dipakai saja tapi tidak dinikahin.

Selesai mandi Arumi langsung menemui dokter Rudy. Rupanya Dayan Kole sudah diobati.

"Dokter, ini Arumi tolong obati." tuan Wijaya bangun dari duduknya menghampiri Arumi.

"Ya tuan...."

Sementara Arumi diobati, Dayan Kole ngeloyor pergi, ia kesal melihat papanya yang manja kepada Sri.

"Kemana Dayan, minum dulu dong."

"Aku muak disini!!" ketus suara Dayan, ia pergi begitu saja.

Tuan Wijaya hanya bisa menahaņ diri dan mengelus dada, untuk bertanya lebih jauh sudah tidak mungkin. Dayan sangat benci kepada Sri.

"Tuan Wijaya saya permisi pulang, nona Arumi sudah saya obati."

"Terimakasih dokter...."

Setelah dokter Rudy pulang, tuan Wijaya memanggil Arumi. Ia berusaha menahan diri supaya tidak marah.

"Arumi, om ingin bicara."

"Baik om, ada apa om?"

"Kamu sudah punya pacar, om dengar kamu pacaran dengan sopir taxi yang bernama King."

"Om percaya? aku memang sering bertemu dengan sopir taxi, cuma sebatas teman. Dia sering menolongku."

"Sekarang om sebagai pengganti mama Sonya, apapun yang kamu lakukan harus izin om, jika ada masalah kamu boleh minta tolong pada om." ucap tuan Wijaya tegas.

"Siap om, aku pasti sangat memerlukan bantuan om, banyak hal yang harus aku pelajari disini. Disamping kerjaan di hotel tentu adat istiadat disini."

"Yang paling om tekankan disini, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu ingin pacaran lebih baik dipikirkan lagi, karena kita bukan orang sembarangan. Kasta kita tinggi, status sosial kita berbeda."

"Sudah jaman modern kenapa masih memikirkan kasta? gimana kalau aku menikah dengan bule?"

"Jangan, kamu hanya boleh menikah dengan jodohmu."

"Jodohku? Om yang benar saja, kenapa harus ada jodoh, aku tidak mau dijodohin. Tidak boleh memaksakan orang, itu artinya melanggar hak asasi orang."

"Kamu tidak boleh menikah kecuali dengan jodohmu, kecuali kamu berani meninggalkan semua warisanmu."

"Aku tidak setuju dengan rencana yang om pikirkan itu. Om jahat, dan bisa kena hukuman."

"Dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung, aku berharap kamu mematuhi adat istiadat disini."

"Tapi itu beda om, aku mentaati adat dan budaya disini, tapi tidak menyetujui adanya perjodohan, pemaksaan."

"Selama ini tidak ada yang membangkang, karena anak-anak itu berbakti kepada orang tuanya." ucap tuan Wijaya.

****

'