Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 19 Saling Perhatian
Mona sudah tiba di Medan tiga jam yang lalu dan dia langsung mendatangi galeri yang baru dua minggu dibuka.
Galeri itu banyak terdapat lukisan hasil karyanya sendiri tapi ada seseorang yang mengakui salah satu lukisan miliknya dan mengira Mona meniru karya milik orang lain.
"Ini, Bu, lukisan yang diakui oleh orang itu," kata Mega karyawan Mona yang sudah dia percayakan mengurus galeri.
Mega menunjukan pada Mona lukisan bergambar taman hiburan yang terdapat sepasang kekasih sedang tertawa bersama menaiki komedi putar.
"Bagaimana bisa orang itu mengakui lukisan ini miliknya padahal jelas-jelas saya membuatnya sendiri dan tidak meniru lukisan miliknya?" tanya Mona tak habis fikir.
"Saya kurang tahu, Bu, tapi beliau selalu mengatakan seperti itu bahkan bila Anda tidak mau mencopot lukisan ini anda akan dituntut," kata Mega membuat Mona terbelalak
"Aturkan jadwal saya agar bisa bertemu dengannya," titah Mona.
"Baik Bu."
Mona menghembuskan nafas kasar, dia lalu menghubungi asistennya yang ada di Jakarta untuk mengirim pekerjaan yang bisa dikerjakan dari jarak jauh.
Saat Mona hendak pergi ke Medan dia meninggalkan banyak pekerjaan sehingga kini dia harus mengerjakannya meski berada diluar kota.
Mona lupa belum menghubungi Edwin bila dirinya sudah tiba di Medan. Biasanya bila Mona tidak kunjung memberi kabar, Edwin akan menghubunginya lebih dulu, tapi sekarang Edwin juga belum menghubunginya karena pria itu sedang menikmati waktu bersama dengan Andini.
...****************...
"Anda suka buah apa, Pak?" tanya Andini.
Saat ini mereka sedang berada di supermarket, belanja perlengkapan dapur dan mengisi kulkas yang masih kosong.
Edwin medorong troli dan Andini berjalan didepannya mengambil bahan makanan lalu memasukkannya ke dalam troli. Tak jarang orang-orang yang melihatnya mengira mereka sepasang suami istri.
Troli mereka sudah penuh dengan belanjaan dan hanya tinggal membeli buah, sayur, ikan dan daging saja setelah itu Andini akan memasak makan malam.
"Saya suka semua jenis buah, kamu beli saja buah yang kamu suka saya akan memakannya."
Andini mengangguk lalu mengambil beberapa jenis buah lalu memasukkannya ke troli begitu juga dengan sayur, ikan dan daging.
Setelah selesai dengan belanjanya mereka kembali keapartement. Edwin menyusun bahan dapur dipantri sementara Andini mulai dengan memasaknya.
"Saya tadi siang melihat anda makan lobster bakar lahap sekali," kata Andini.
"Lobster bakar itu makanan kesukaan saya," kata Edwin menoleh sebentar pada Andini kemudian lanjut menyusun bahan makanan.
"Tahu begitu tadi kita beli lobster juga, Pak."
"Lain kali saja, saya sudah sering makan lobster khawatir nanti kolesterol," kata Edwin sambil terkekeh.
"Ah iya, Pak, kurangi berarti makan lobsternya dan jaga pola makannya."
Edwin yang sudah selesai menyusun bahan makanan segera menghampiri Andini. Dia sangat terkesan dengan perhatian Andini karena Mona mana pernah mengingatkan seperti itu.
Edwin memeluk Andini yang sedang masak dari belakang lalu meletakkan dagunya dibahu gadis itu.
"Terima kasih kamu sudah sangat perhatian pada saya. Andai istri saya seperti kamu sudah dipastikan saya akan bahagia dan tak akan menghianatinya," kata Edwin lirih.
Andini tertegun dia bahkan menghentikan tangannya yang sedang memotong wortel. Ada rasa kasihan dihati Andini melihat Edwin seperti itu. Mona sangat beruntung dicintai Edwin begitu besar hingga pria itu bertahan sangat lama meski diabaikan dan tak dihargai.
Andini jadi berandai-andai. Andai saja dia jadi Mona yang dicintai begitu besar oleh Edwin maka dia tidak akan menyia-nyiakannya.
"Aww!"
Karena melamun tidak sengaja jari telunjuk Andini terkena pisau. Edwin buru-buru melepas pelukannya lalu meraih tangan Andini mendekatkan pada wastafel dan mencici luka Andini diair mengalir.
"Hati-hati kalau masak, pasti pedih ya?" tanya Edwin.
Andini tersenyum, Edwin sangat perhatian padanya bahkan luka sekecil ini saja pria itu sangat mengkhawatirkannya.
"Ini lukanya kecil, Pak, hanya pedih sedikit."
"Sini biar saya obati," kata Edwin sambil menggandeng tangan Andini membawanya duduk diruang tamu.
"Ya ampun saya lupa belum beli obat p3k, An," kata Edwin.
"Tidak apa-apa, Pak, ini hanya luka kecil."
"Tidak, An, lukamu harus segera diobati. Sebentar saya pergi ke apotek dulu."
"Tidak usah, Pak ... Pak ...."
Edwin tidak mendengarkan perkataan Andini, pria itu sudah menghilang dibalik pintu apartement yang baru saja tertutup. Edwin benar-benar pergi keapotek. Beruntung apotek letaknya berada dilantai satu apartement ini sehingga tidak membutuhkan waktu lama dia sudah kembali menemui Andini.
"Sudah saya katakan ini tidak apa-apa, Pak," kata Andini.
"Biar tidak pedih." Edwin memasang plaster dijari tangan Andini yang terluka.
"Terima kasih, Pak," ucap Andini.
Edwin mengangguk.
"Kita makannya beli saja, kamu tidak usah masak." Edwin pun memesankan makanan untuk mereka makan malam.
...****************...
Andini duduk dikursi, disamping ranjang Ibu Della menatap wanita paruh baya yang sudah melahirkannya sedang terbaring koma dan entah kapan beliau akan sadar.
"Bu, kapan Ibu sadar? Apa Ibu tidak ingin melihat aku dan Kak Bima menikah dengan seseorang yang kami cintai? Ayolah Bu, sadarlah. Ada aku dan Kak Bima yang masih membutuhkan kehadiran Ibu."
Andini mengusap air matanya yang tanpa permisi keluar begitu saja.
Kata dokter Seira Ibu Della baru bisa dilakukan akupuntur seminggu lagi. Meski terkesan kelamaan tapi Andini tak bisa protes karena dokter sudah pasti tahu mana yang terbaik untuk pasiennya.
Andini datang kerumah sakit bersama Edwin, namun pria itu hanya bisa mengantarkan saja karena bertepatan dengan mertuanya yang menelpon memintanya datang kerumahnya.
Meski Edwin tahu mertuanya tidak menyukainya tapi Edwin menghormati undangannya sehingga pria itu mendatanginya.
Tak lama pintu ruang rawat Ibu Della dibuka oleh Bima yang menenteng kantong kresek berisi buah apel.
"Apel buat kamu," kata Bima saat menyerahkan kantong kresek ditangannya.
"Terima kasih, Kak."
"Heem. Gimana keadaan Ibu, apa dokter Seira ada mengatakan sesuatu?" tanya Bima.
"Kata dokter Seira akupunturnya baru bisa dilakukan seminggu lagi, Kak."
"Lama sekali," keluh Bima.
"Iya Kak, lama tapi tidak apa-apa yang terpenting ibu kita bisa sembuh dan kembali bersama kita."
"Iya, An."
Mereka pun sama-sama menatap ibu mereka dengan perasaan tak menentu, sedih bercampur khawatir.
"Oh iya, An, Kakak belum tahu dimana kamu tinggal sekarang. Boleh antar Kakak melihat tempat tinggal baru kamu?"
"Memangnya Kakak tidak kerja?"
"Kakak libur malam ini mau lembur, tadi bawa kerjaan kerumah."
"Kalau begitu sekarang saja keapartementnya sekalian aku mau pulang juga."
Bima mengangguk kemudian bersama Andini keluar meninggalkan ruangan Ibu Della untuk pergi ke apartement.
Tiba diapartement Bima terkejut melihat Edwin langsung memeluk Andini dan menangis.