"Seiman, aku ingin seperti Mama yang cium tangan Papa di sepertiga malam sambil pakai mukena ... belajar ngaji selepas Isya dan berdiri berdampingan di Jabal Rahmah." - Zavia
Menjadi pasangan seorang Azkayra Zavia Qirany adalah impian seorang Renaga Anderson. Namun di sisi lain, sepasang mata yang selalu menatapnya penuh cinta justru menjadikan Renaga sebagai cita-cita, Giska Anamary.
Mampukah mereka merajut benang kusut itu? Hati mana yang harus berkorban? Dongeng siapa yang akan menjadi kenyataan? Giska yang terang-terangan atau Zavia yang mencintai dalam diam.
Follow ig : Desh_puspita
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - Dia Galak
Renaga bukan seseorang yang bisa dikejar jika dia benar-benar tidak mau. Sejak dahulu Zavia tahu akan hal itu, dan hari ini, detik ini tampaknya dia tidak mau diganggu gugat. Demi meluluhkan hati Renaga dia rela meninggalkan rumah sakit sekalipun Mikhayla menghubunginya berkali-kali.
Sebenarnya Zavia tengah dipermainkan atau bagaimana, akan tetapi yang jelas rasa bersalah mengantarkan wanita itu pada penantian yang cukup melelahkan. Sudah satu jam menunggu di ruang tamu kediaman Justin, sebelum Renaga mengizinkan masuk dia tidak akan berani memaksa untuk masuk.
"Maaf, Via ... Mommy tidak bisa memaksanya, kamu pulang dulu saja."
Agny tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan anak-anak ini. Setelah tadi malam Giska, kini Zavia menjadi sebab Renaga tak karu-karuan. Agny tidak ingin memaksa layaknya Justin, di matanya Renaga juga lelah dan ada saatnya dia benar-benar butuh waktu sendiri.
"Via tunggu saja, Mom."
"Apa tidak masalah? Biasanya lama loh kalau sudah mengurung diri begitu," tutur Agny lembut, dia menatap gurat kepanikan di wajah Zavia.
Sebagai ibu, dia hanya perlu turun tangan jika putranya sudah mengadu. Selebihnya tidak akan karena Agny paham bagaimana rasanya dipaksa menjadi kehidupan.
"Tidak masalah, Via juga tidak ada tugas hari ini."
Pembohong besar, padahal dia sama sibuknya. Hanya saja, dia memilih menunda lebih dulu. Khawatir jika memang selama ini dia terlalu mengabaikan Renaga tanpa melihat sedikitpun isi hatinya.
"Ya sudah kalau begitu, Mommy mau pergi dulu ... arisan sama tante Sonya, ditinggal sendiri tidak apa-apa ya? Ada Bibi kok di belakang, Gracia nanti sore pulang."
Sendiri? Tidak masalah, lagipula di rumahnya juga terbiasa sendiri begini. Anggap saja rumah sendiri, Zavia bisa menonton televisi sembari duduk santai di sofa selama Renaga belum berniat untuk keluar kamar.
Sebuah ekspektasi yang dia kira tidak akan membosankan, nyatanya tidak demikian. Rasa bosan mulai menyerangnya, Zavia mulai menggerutu kala sebuah movie yang dia saksikan sudah usai dan Renaga belum juga memperlihatkan batang hidungnya.
"Ngatain Giska, tapi dianya juga sama," gumam Zavia seraya menghela napas pelan, entah akan selama apa dia menunggu yang jelas kini sudah terhitung tiga jam Zavia berada di tempat ini.
Seakan tahu dengan apa yang dia lakukan, sebuah pesan masuk yang Zavia duga dari Renaga. Nomor baru, belum pernah Zavia simpan karena memang setelah memutuskan pindah Renaga menjelma sebagai pria tak tergapai.
"Berhenti mengumpatku, naik ... aku tunggu di kamar."
Zavia meneguk salivanya pahit, dadanya berdegub tak karuan dan menyentuh bibirnya. Tidak ingin membuat pria itu semakin marah, tanpa pikir panjang Zavia naik begitu saja.
Sudah sangat lama dia tidak menginjakkan kaki di kamar Renaga. Terakhir kali ketika dia duduk di bangku SMP, itupun tahun pertama dan hanya datang menemani Giska.
Tiba di depan pintu, Zavia semakin bingung lagi. Pikirannya memang serumit itu, hendak masuk saja dia berpikir apa harus diketuk atau langsung masuk. Sebagai seseorang yang takut dengan kemarahan Renaga, Zavia tidak ingin membuat pria itu meledak-ledak nantinya.
"Masuklah, pintunya tidak dikunci."
Pesan singkat kedua yang berhasil membuat Zavia meremang. Apa mungkin Renaga bisa menerka seberapa lama dia butuh waktu untuk naik ke kamarnya? Atau memang Renaga memerhatikannya sejak tadi? Pikiran semacam itu berperang dalam benak Zavia hingga pada akhirnya tangan gemetarnya berhasil mendorong pintu kamar tersuram yang ada di dunia itu.
Suasana kamarnya bahkan semakin menyeramkan di mata Zavia, tidak hanya semua serba hitam, tapi juga benar-benar sepi seolah tidak ada tanda kehidupan di kamar ini. Menandakan kamar hanya dijadikan tempat untuknya terpejam, itu saja.
Butuh beberpa waktu untuk dia bisa membuka pembicaraan, selain karena Renaga yang kini memilih diam, Zavia juga semakin terganggu dengan tatapan tajam seolah hendak mengulitinya semacam itu.
"Ada apa? Kesini atas nama Giska lagi?" tanya Renaga mendadak dingin dan berbeda jauh dari Renaga yang dia temui tadi pagi.
"Bukan begitu, aku datang untuk mewakili ... Ehm atas nama ... astaga, kami bertiga ...."
Zavia bukan wanita bodoh, kecerdasannya mewarisi sang papa. Akan tetapi, memang di beberapa kondisi, otak sang mama lebih dominan dan contohnya saja saat ini. Dia bingung hendak menyampaikan niatnya bagaimana, padahal sebelumnya sudah dia susun dan tidak lupa meminta pendapat Fabian.
"Bicara yang jelas, Zavia!!"
"Kan, dia tu galak aslinya."
Zavia mendadak pucat ketika Renaga sedikit meninggi. Bukan membentak sebenarnya, hanya sedikit penekanan saja dan dia sudah kembali dibuat bergetar.
"Kakak jangan bentak begitu, aku takut," ucapnya pelan seraya meremmas jemarinya.
"Aku tidak membentak, hanya menegaskan agar matamu bisa terbuka ... jangan pernah datang ke sini jika hanya demi Giska, apalagi jika memaksaku minta maaf, Zavia. Perlu kamu pahami, hatiku juga sakit berada di posisi itu. Cukup orang tuaku memaksa ini dan itu tentang Giska, kamu tidak perlu!!"
Sepertinya keputusan Zavia untuk naik memang benar-benar salah, Renaga masih dipuncak kemarahannya dan kini Zavia terkena imbasnya.
"Lagipula apa hatimu tidak sakit? Jangan munafik, Via ... Bertahun-tahun membohongi perasaan, memperjuangkan perasaan orang lain padahal hatimu juga sakit."
Zavia mendongak, ucapan Renaga membuat hatinya terhenyak. Pria itu mendekat, hingga keduanya hanya berjarak beberapa centi saja. Renaga menatapnya lekat-lekat, sekalipun dianggap pria paling percaya diri di muka bumi dia tidak peduli. Namun, satu hal yang Renaga yakin, di mata zavia ada dirinya.
"Doa apa yang kamu panjatkan hingga aku sesulit ini untuk berpaling, Zavia?"
.
.
- To Be Continue -
Klo cerita harus di samakan emak2 nya jadi g ada bedanya dong..
Q tinggal baca cukup baca saja.. walau tekat baca.. coz baru tahu ceritanya 🤭🤗🙏🏻
kopi Renaga☕