Kolaborasi kisah generasi Hikmat dan Ramadhan.
Arsy, cucu dari Abimanyu Hikmat memilih dokter sebagai profesinya. Anak Kenzie itu kini tengah menjalani masa coasnya di sebuah rumah sakit milik keluarga Ramadhan.
Pertemuan tidak sengaja antara Arsy dan Irzal, anak bungsu dari Elang Ramadhan memicu pertengkaran dan menumbuhkan bibit-bibit kebencian.
"Aduh.. maaf-maaf," ujar Arsy seraya mengambilkan barang milik Irzal yang tidak sengaja ditabraknya.
"Punya mata ngga?!," bentak Irzal.
"Dasar tukang ngomel!"
"Apa kamu bilang?"
"Tukang ngomel! Budeg ya!! Itu kuping atau cantelan wajan?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curcol
“MANA IBU SAYA??!!”
Arsy cukup terkejut melihat reaksi pria di depannya. Lehernya terasa nyeri saat pria itu mencengkeram lehernya sedikit kuat. Namun gadis itu hanya bisa diam tanpa bisa melakukan apa-apa. Mungkin karena perasaan bersalah akibat kelalaiannya.
“Kurang ajar tuh orang!”
Kenan yang geram melihat keponakannya diperlakukan seperti itu hendak mengampiri, namun tangan Abi menahannya. Pria itu menoleh pada sang ayah. Abi hanya meminta Kenan melihat lagi pada Arsy.
Tangan pria yang tengah mencengkeram leher Arsy dicekal keras oleh Irzal, membuat pria itu melepaskan cengekaramannya. Dia langsung mendorong tubuh pria tersebut sedikit menjauh dari Arsy, kemudian Irzal berdiri menghalangi gadis itu.
“Hati-hati dengan sikap anda, pak. Apa bapak sadar yang bapak lakukan?” Irzal menatap tajam pria di depannya.
“Ibu saya hilang gara-gara dia!” pria itu menunjuk pada Arsy.
“Kita bisa cek cctv untuk lihat kemana ibu anda pergi. Bukan melakukan hal ini.”
“Dani..”
Pria itu menoleh ketika suara sang ibu memanggilnya. Sambil berlari dia menghampiri sang ibu yang baru saja datang bersama dengan Daffa.
“Ibu dari mana saja? Ibu tidak apa-apa?”
“Maaf.. ibu pergi tanpa sepengetahuan dokter dan suster. Ibu tidak mau diperiksa.”
Dokter Fabian segera menghampiri Dani dan ibunya. Atas nama petugas medis di IGD dia meminta maaf pada Dani kemudian mengajak ibunya untuk diperiksa. Irzal membalikkan badannya, melihat pada Arsy yang masih bergeming di tempatnya.
“Kamu ngga apa-apa?”
Tangan Irzal menyingkirkan tangan Arsy yang tengah memegangi lehernya. Terlihat tanda kemerahan di leher gadis itu. Terdengar desisan kesal dari mulut Irzal, dia melihat pada Dani yang tengah mendampingi ibunya diperiksa.
“Dasar orang gila. Apa perlu dia melakukan hal ini,” gumamnya pelan.
“Sy.. kamu ngga apa-apa?” tanya Daffa.
“I.. iya dok.”
“Shiftmu sudah selesai kan? Lebih baik kamu pulang.”
“Sebentar, dok.”
Melihat keadaan cucunya baik-baik saja, Abi segera mengajak Kenan untuk pulang. Dia yakin kalau Irzal akan mengantarkan Arsy pulang ke rumah.
“Ayo kita pulang. Urusan Arsy biar Irzal yang mengurus.”
Mendengar ucapan sang ayah, Kenan hanya menurut saja. Sambil memegangi lengan ayahnya, mereka berdua keluar melalui lobi rumah sakit. Sementara itu, Arsy berjalan mendekati Dani dan juga ibunya. Gadis itu berhenti tepat di depan Dani.
“Saya minta maaf atas semua yang terjadi. Maaf karena sudah lalai menjaga orang tua bapak.”
“Ehem.. maaf juga soal lehermu. Ibuku, dia satu-satunya orang tua yang kumiliki. Aku takut kalau terjadi sesuatu padanya.”
“Sekali lagi, saya minta maaf.”
Arsy menundukkan kepalanya sebentar kemudian segera meninggalkan IGD. Daffa mengikuti gadis itu menuju ruang istirahat padra dokter IGD dan juga coas. Dia harus memastikan kalau Arsy akan benar-benar pulang.
Setelah berganti pakaian, Arsy keluar dari ruang ganti sambil menggendong tas ranselnya. Di ruang istirahat dia bertemu dengan Daffa yang duduk menunggunya. Melihat Arsy sudah siap pulang, pria itu berdiri.
“Sudah siap pulang?”
“Iya, dok.”
“Kamu bawa kendaraan?”
“Ngga. Aku pulang bareng daddy.”
“Sepertinya daddy-mu sudah pulang dengan kakek Abi.”
“Kakek sudah boleh pulang? Keadaannya baik-baik aja?”
“Iya.”
“Syukurlah. Kalau begitu aku pulang duluan, dok.”
Daffa hanya menganggukkan kepalanya. Dia memandangi Arsy yang keluar dari ruang istirahat. Dengan langkah pelan, gadis itu keluar dari gedung rumah sakit. Sejenak dia hanya berdiri di depan pintu masuk IGD. Tangannya meraih ponsel untuk memesan layanan taksi online. Namun sebuah mobil berhenti di dekatnya. Saat kaca mobil turun, nampak wajah Irzal dari dalam mobil.
“Ayo naik.”
Untuk beberapa saat gadis itu masih terdiam di tempatnya, namun tak ayal tangannya terulur meraih handle pintu lalu membukanya. Irzal terus memperhatikan Arsy yang tengah memakai sabuk pengaman.
“Di mana rumahmu?”
“Aku lapar.”
Irzal segera menjalankan kendaraannya. Kereta besi itu segera meluncur membelah jalanan kota Bandung yang mulai dipadati kendaraan roda dua dan empat. Pria itu melihat pada Arsy yang masih diam membisu.
“Mau makan di mana?”
“Aku mau makan yang pedas-pedas.”
Otak Irzal berpikir cepat mencari tempat makan sesuai keinginan Arsy. Pria itu mengarahkan kendaraan menuju tempat makan langganannya. Sepuluh menit kemudian dia sudah tiba di tempat makan yang dituju. Arsy membaca nama yang tertera di tenda AYAM DAN BEBEK PANGGANG BU RIKA. Alih-alih membawanya ke restoran bintang lima, Irzal malah membawanya ke warung tenda pinggir jalan.
“Ayo.”
Ajakan Irzal membuyarkan lamunan Arsy. Gadis itu segera membuka pintu mobil lalu turun dari sana. Dia mengikuti langkah Irzal memasuki warung tenda tersebut. Terdapat enam buah meja yang tersusun ala lesehan di dalam tenda. Irzal mengambil meja yang letaknya dekat dengan akses masuk.
“Eh ada mas Bibie. Tumben ke sininya sama perempuan. Pacarnya ya?” goda bu Rika seraya melirik pada Arsy.
“Teman, bu.”
“Oh teman.. tapi mesra nda?”
Irzal hanya tertawa kecil menjawab pertanyaan bu Rika. Wanita berusia empat puluh tahunan tersebut memberikan kertas menu pada keduanya. Arsy membaca menu apa saja yang tersedia di sana.
“Saya pesan bebek panggang level empat,” ujar Irzal.
“Minumnya?”
“Es teh manis.”
“Kalau mba-nya pesen apa?”
“Bebek panggang level 10.”
“Kamu yakin? Jangan pedes-pedes, nanti sakit perut.”
“Aku kuat kok. Level 10 ya, bu.”
“Minumnya?”
“Samain aja.”
Rika mengangguk kemudian segera kembali ke tempatnya untuk menyiapkan pesanan. Sepeninggal pemilik kedai, suasana kembali menjadi hening. Irzal mengambil ponselnya untuk mengecek pekerjaan yang tadi ditinggalkannya karena Abi.
“Terima kasih.”
Irzal mengangkat kepalanya mendengar suara Arsy. Sejenak pria itu menatap gadis di depannya yang masih menundukkan kepalanya. Perlahan Arsy mengangkat kepalanya lalu melihat pada Irzal.
“Terima kasih sudah menolongku tadi.”
“Kamu bisa mengejar copet, bertarung denganku, tapi kenapa kamu diam saja diperlakukan seperti tadi.”
“Karena itu memang salahku.”
“Lalu kamu diam saja? Bagaimana kalau dia sampai tidak bisa menahan diri? Apa kamu tahu kalau tadi kakek dan daddy-mu melihat itu semua?”
“Jadi.. kamu menyelamatkanku karena mereka?”
“Bukan. Aku menyelamatkanmu karena sudah bertindak bodoh dan menyelamatkan pria itu menjadi tersangka penganiayaan.”
“Aku memang ceroboh.”
“Bagus kalau kamu sadar.”
Sebenarnya Arsy kesal mendengar yang dikatakan Irzal. Namun kali ini dia seperti tidak punya tenaga untuk bertengkar dengan Irzal. Selain masalah dengan wali pasien, hatinya masih belum baik-baik saja setelah mendengar pengakuan Aqeel akan Iza.
Bu Rika menaruh pesanan di atas meja. Arsy melihat pesanan miliknya, bebek panggang pesanannya terbanjur sambal yang warnanya merah menyala. Untuk sesaat dia ragu untuk memakannya. Namun sudah terlanjur memesan, mau tidak mau dia harus memakannya.
Beberapa kali Arsy mengusap keringat yang membasahi keningnya. Sambel level 10 yang dipesannya bukan kaleng-kaleng, sudah dua gelas es teh manis diteguknya untuk menemani makannya. Irzal meminta Arsy menghentikan makannya, dia tak tega melihat gadis itu meghabiskan ayam panggang yang rasanya super pedas. Namun gadis itu tak mendengarkan sama sekali.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Irzal setelah mereka berada di dalam mobil.
“Huum..”
Hanya itu jawaban yang terdengar dari mulut Arsy. Gadis itu masih mengatur nafasnya akibat makanan pedas yang dikonsumsinya tadi. Irzal mulai menjalankan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Arsy menarik tisu yang ada di atas dashboard.
SROOTTT
Arsy mengeluarkan semua cairan kental yang sedari tadi ditahannya. Sontak Irzal melihat pada gadis di sebelahnya. Sekali lagi Arsy mengambil tisu lalu mengeluarkan cairan kental yang belum semuanya keluar.
“Haaiisshh.. jorok,” desis Irzal.
“Iya.. aku emang jorok! Aku teledor! Aku juga ngga suka dikritik! Suka nuduh sembarangan! Ngga punya sopan santun!”
“Astaga..” Irzal mengusap dadanya, terkejut mendengar teriakan Arsy.
“Aku juga ngga cantik, ngga anggun, apalagi lemah lembut. Aku ngga ada apa-apanya dibanding perempuan itu. pantas aja dia ngga suka sama aku, huaaaa… hiks.. hiks..”
“Ya ampun dia curcol,” gumam Irzal pelan.
Beberapa kali Arsy menarik tisu untuk menghapus airmata dan ingusnya. Irzal mengarahkan kendaraannya menuju jalan yang cukup sepi. Dia menghentikan mobil di jalan yang tidak dilalui banyak kendaraan. Pria itu membuka sedikit kaca jendela mobilnya.
“Kamu masih mau nangis? Aku keluar atau tetap di sini?”
“Keluar!!”
Tanpa banyak bicara, Irzal keluar dari mobil lalu menutup pintu dengan cukup kencang. Pria itu menyandarkan tubuhnya ke body mobil. Arsy masih meneruskan tangisannya. Dari sela-sela kaca jendela, dia masih bisa mendengar gadis itu memaki dirinya dan membandingkan dirinya entah dengan siapa sambil tak berhenti menangis. Irzal mengambil ponselnya kemudian menghubungi Daffa.
“Assalamu’alaikum mas bro!” jawab Daffa.
“Waalaikumsalam. Eh kut*l, lo tau ngga si Arsy lagi naksir siapa?”
“Dih tumben kepo.”
“Bukan kepo. Dia lagi mewek-mewek di mobil.”
“Hahaha… maklum aja, lagi patah hati dia.”
“Siapa sih yang dia suka?
“Bang Aqeel.”
“Hadeuh.. gue bilang juga apa. Abang lo emang sukanya bikin wafer anak gadis orang.”
“Hahaha… antengin sono bang.”
“Halo.. halo.. dasar kut*l!”
Daffa mematikan sambungan telepon secara sepihak. Dengan kesal Irzal memasukkan kembali ponsel ke saku celananya. Dia mengintip dari sela-sela kaca. Terlihat Arsy sudah mulai tenang. Pria itu masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa bertanya apapun, dia segera menjalankan kendaraannya.
Mobil milik Irzal akhirnya tiba juga di depan kediaman Kenzie. Pria itu ikut turun untuk mengantarkan gadis itu sampai ke depan pintu rumah. Mendengar suara mobil berhenti, Nara hendak membukakan pintu. Namun wanita itu mengurungkan niatnya begitu melihat Irzal ikut mengantarkan. Dia malah menempelkan telinga ke daun pintu. Zar yang melihat itu mengikuti jejak sang mama.
“Ar..” panggil Irzal. Arsy melihat pada Irzal.
“Bang Aqeel menyukai Iza sejak dia menginjakkan kaki di rumahnya. Bang Aqeel tidak memilihmu bukan karena kamu tidak cantik atau alasan lain yang kamu sebutkan tadi. Tapi karena Iza sudah lebih dulu hadir dan mengisi hatinya. Jangan berkecil hati apalagi menganggap dirimu rendah. Aku yakin suatu saat nanti kamu akan menemukan pemilik hatimu. Jangan habiskan airmatamu untuk lelaki yang tidak mencintaimu. Aku yakin kamu gadis yang kuat. Masalah seperti ini tidak akan membuatmu lemah.”
Sebuah senyuman mengakhiri kalimat panjang yang diutarakan pria itu sepanjang Arsy mengenal dirinya. Gadis itu hanya mampu terdiam sambil terus menatap wajah tampan Irzal. Jujur saja, hatinya sedikit menghangat mendengar kata-kata manis itu.
“Aku pulang dulu. Salam untuk kedua orang tuamu juga Zar. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Irzal segera kembali ke mobilnya dan tak lama kemudian kendaraan tersebut melaju pergi. Melihat mobil Irzal sudah pergi, Nara dan Zar bergegas menjauhi pintu. Keduanya terkejut melihat Kenzie sudah berada di belakang mereka. Menatap dengan mata tajamnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Astaga, mas, ngagetin aja.”
“Mama tuh yang nguping, pa. Aku ngintil doang..”
Zar langsung lari ke lantai atas meninggalkan Nara sendiri menghadapi Kenzie. Wanita itu melemparkan senyum manis pada sang suami. Diciumnya pipi suami kesayangannya kemudian masuk ke dalam kamar. Bertepatan dengan itu Arsy masuk ke dalam rumah.
“Papa..” panggil Arsy.
Kenzie memandangi mata Arsy yang sembab. Kemudian pandangannya turun ke arah leher. Tangan Kenzie terkepal erat melihat gurat merah di sana. Kalau tadi Kenan tidak menghubungi dan mengatakan apa yang terjadi di rumah sakit, mungkin dia yang akan datang menghampiri pria yang sudah berani melukai putrinya.
“Kamu pasti lelah. Masuklah..”
“Iya, pa.”
🌸🌸🌸
Beeeuuhhh Irzal alias Bibie bisa manis juga ya🤭