Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#25
[Hari Pertama Bekerja]
Pagi itu, mentari baru saja menampakkan sinarnya, hangat tapi belum terlalu terik. Naysila berjalan dengan langkah penuh semangat menuju tempat barunya bekerja. Ia mengenakan kemeja putih polos dan rok hitam, ditambah jilbab krem yang rapi. Tas selempangnya kecil melengkapi penampilannya yang sederhana.
Ia terlihat sangat manis. Senyumannya terukir jelas di wajah, seolah siap menyambut hari baru dalam hidupnya.
"Ini hari pertamaku kerja. Semoga semuanya berjalan dengan baik," gumamnya dalam hati.
_
Beberapa saat kemudian...
Naysila baru saja tiba di tempat kerjanya.
Di hadapannya, berdiri sebuah toko sepatu berukuran sedang dengan papan nama berwarna biru bertuliskan "Toko Sepatu Sinar Langkah". Toko itu belum ramai, dengan kaca depan yang memperlihatkan deretan sepatu wanita, pria, hingga anak-anak yang ditata rapi di rak pajangan. Ada pula spanduk kecil yang menggantung di atas pintu: "Diskon Spesial Akhir Pekan – Hingga 40%!"
Naysila menghela napas panjang, menenangkan diri. "Bismillah…" gumamnya pelan sebelum melangkah masuk.
Begitu pintu kaca didorong, aroma khas sepatu barulangsung menyeruak, bercampur dengan aroma pengharum ruangan yang membuat suasana nyaman. Toko itu tidak terlalu besar, tapi cukup luas, sekitar ukuran 3 ruko yang digabung menjadi satu. Di sisi kanan, terdapat rak-rak berisi sepatu formal pria; di sisi kiri, deretan sepatu wanita dengan berbagai model; sementara di bagian tengah, ada beberapa meja display untuk sepatu olahraga dan sandal anak-anak.
"Selamat pagi," sapa seorang pria berusia empat puluhan, yang saat itu ia temui. Namanya Pak Surya, pemilik toko. Wajahnya ramah, dengan senyum tulus yang langsung membuat Naysila merasa lebih tenang.
"Selamat pagi, Pak. Saya Naysila, yang saat itu diterima bekerja di sini."
"Ya, saya ingat. Bagus sekali, kamu tepat waktu. Mari, saya kenalkan dengan yang lain."
Naysila mengangguk patuh. Ia mengikuti langkah pria itu menuju ke teman-teman barunya.
Pak Surya membawa Naysila ke bagian belakang, di mana ada sebuah ruangan kecil berfungsi sebagai gudang dan tempat istirahat pegawai. Di sana, sudah ada tiga orang pegawai lain yang sedang bersiap:
Mira, wanita berusia sekitar 25 tahun, ramah dan supel.
Tomi, pemuda berusia 20 tahun, bagian kasir.
Ratna, pegawai senior yang sudah lama bekerja di toko itu, tegas tapi peduli.
"Anak-anak, ini Naysila, karyawan baru di sini. Mulai hari ini dia akan bantu kita di toko," kata Pak Surya memperkenalkan.
"Selamat datang. Salam kenal ya, Nay," sapa Mira sambil tersenyum lebar.
"Iya, selamat bergabung, Kak," tambah Tomi yang tampak lebih pendiam tapi sopan.
Ratna hanya mengangguk, "Kerja di sini gampang kok, asal rajin dan teliti. Nanti kamu bisa ikut aku dulu belajar ya."
Naysila membalas dengan senyum tulus. "Terima kasih semuanya. Mohon bimbingannya ya."
Pak Surya berkata lagi pada yang lain. "Tolong ajari Naysila apa yang harus dia kerjakan. Ingat, dia anak baru, jangan sampai membuatnya tidak betah."
Mereka mengangguk kompak. "Baik, Pak."
Setelah itu, Pak Surya keluar dari ruangan tersebut, membiarkan para pekerjanya untuk bersiap.
Ratna menghampiri Naysila dan memberikan sebuah kaos, baju seragam khas pegawai toko tersebut. "Ini, pakailah. Karena bagian lengannya pendek, kamu bisa pakai hand sock untuk melapisinya."
Naysila menerima kaos berwarna biru biru tua tersebut. "Terima kasih, Mbak Ratna. Di sini ternyata pakai seragam juga ya? Seperti di minimarket."
"Iya, memang. Di sini kita harus berpenampilan rapi. Walaupun tokonya tak begitu besar, tapi Pak Surya selalu ingin terlihat profesional," jawab Mira.
"Betul. Karena kalau kita terlihat profesional, para pembeli pun tidak akan ragu untuk membeli di toko ini," sahut Tomi.
Naysila tersenyum melihat bagaimana sikap teman-teman barunya. Mereka sangat ramah dan baik, sehingga yakin dirinya akan betah bekerja di tempat itu.
Naysila gegas berganti pakaian. Mematuhi aturan yang berlaku di toko tersebut. Ini hari pertamanya, ia tak mau membuat kesalahan yang membuat Pak Surya tak suka padanya di hari pertama.
_
Hari itu, Naysila ditempatkan untuk membantu menata sepatu di rak dan juga melayani pembeli. Awalnya, ia agak canggung, tapi dengan arahan Ratna, ia mulai terbiasa. Setiap kali ada pelanggan datang, ia berusaha memberikan senyum ramah dan membantu mencari ukuran yang pas.
"Ternyata pekerjaan ini menyenangkan juga," batinnya, sambil melayani seorang ibu yang sedang memilihkan sepatu sekolah untuk anaknya.
Meskipun lelah karena harus banyak berdiri dan bolak-balik mengambil sepatu dari gudang, hati Naysila terasa ringan. Ia merasa ada kebahagiaan kecil karena akhirnya bisa bekerja dan menghasilkan sesuatu dengan tangannya sendiri.
Dengan pekerjaan itu pula, Naysila bisa menyibukkan dirinya dan melupakan sejenak segala hal tentang Alden.
Di tempat lain, Alden berbaring di kasurnya yang empuk. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar yang gelap. Lampu kamar dimatikan seluruhnya, bahkan gorden pun tak ia buka sama sekali sejak semalam.
Alden sedang mengurung dirinya. Hari ini, bahkan ia memutuskan untuk tak pergi ke kantor dan meminta asisten meng-handle semuanya.
Penampilan Alden kusut. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya kusam. Alden sama sekali tidak mempedulikan penampilannya di saat suasana hatinya benar-benar kacau.
"Ini uang yang kamu berikan saat itu. Aku kembalikan."
"Kenapa dikembalikan?"
"Seperti yang aku bilang semalam. Jangan buat aku menjelaskan lagi."
Percakapan itu masih terngiang jelas di telinga Alden. Kata-kata Naysila tak bisa ia lupakan sejak hari itu. Uang yang ia berikan pada Naysila dan dikembalikan padanya, membuat perasaan Alden cemas.
Ia khawatir, selamanya Naysila tak akan membuka hati untuknya. Dan kesempatan untuk bisa bersama lagi kemungkinan tak akan pernah ada.
Alden membuang napas kasar. "Kenapa... kenapa serumit ini?"
"Kenapa Naysila seolah menutup pintu hatinya rapat-rapat untukku? Apa aku benar-benar tidak bisa kembali bersamanya?"
Alden berbicara sendiri. Memikirkan nasib cintanya yang harus kandas akibat perbuatannya sendiri.
Alden mengingat kembali setiap hal tentang Naysila di rumah mereka. Setiap hari, wanita itu akan selalu memasak makanan yang enak untuknya, menyiapkan segala keperluannya, menyambutnya pulang dengan senyum hangat, meskipun ia selalu mengabaikannya.
Naysila selalu bersabar menghadapi dirinya yang egois, tapi tak pernah berniat pergi. Ia selalu berusaha sekuat tenaga bertahan dalam pernikahan yang hancur sejak awal. Berusaha mengabdikan diri sepenuhnya pada pria yang bahkan tak pernah mau menatap matanya dengan tatapan cinta.
Alden pun tak menyangka, Naysila akhirnya menyerah dan memilih pergi setelah ia membawa Serena ke rumah. Perbuatan-perbuatan itulah yang mungkin tak bisa dimaafkan oleh Naysila.
Kini, Alden benar-benar menyesal. Sosok Naysila tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya, tepatnya dari hatinya.
Alden akhirnya bangkit. Duduk membungkuk dengan mata terpejam. Rasa malas menguasai dirinya, membuatnya enggan untuk beranjak.
Ponselnya tiba-tiba saja berdering. Alden menoleh sebentar tapi tidak berniat mengambil ponselnya.
Alden hanya bangkit, kemudian pergi ke kamar mandi dengan langkah gontai.
Tak lama, terdengar suara percikan air dari dalam kamar mandi. Alden sedang membersihkan dirinya agar segar kembali.
Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk. Mengeringkan rambut dan meraih ponsel yang tadi sempat berbunyi itu.
Ada beberapa panggilan telepon yang ia abaikan, dan itu adalah panggilan dari Bu Tamara.
"Ada apa Ibu menelepon?" tanyanya pada diri sendiri.
Alden akhirnya menghubungi balik nomor ibunya, khawatir ada sesuatu yang penting atau bisa saja ibunya sakit lagi.
"Halo, Bu," sapanya, setelah panggilan tersambung. "Ada apa Ibu menelepon aku?"
"Kamu gak masuk kantor ya hari ini?" tanya Bu Tamara. "Ayah kamu bilang, kamu tidak ada di kantor hari ini. Padahal, hari ini sedang ada rapat perusahaan."
"Ya, aku memang nggak ke kantor hari ini. Aku kurang enak badan, jadi memutuskan untuk ambil cuti satu hari," jawab Alden berbohong.
"Kamu sakit, Nak?" Suara Bu Tamara terdengar cemas. "Apa Ibu perlu ke sana untuk menjenguk kamu?"
"Nggak. Gak usah, Bu. Aku gak kenapa-kenapa, cuma gak enak badan biasa. Besok aku masuk kantor lagi," sahut Alden cepat. Tak mau ibunya terlalu khawatir padanya.
"Yang benar?"
"Iya, Bu. Kalau aku sakit, pasti aku sekarang gak akan angkat telepon dari Ibu."
"Alhamdulillah kalau memang gak sakit parah. Ibu khawatir."
"Iya."
"Oh iya, Al. Ibu telepon kamu karena ada sesuatu yang penting yang harus ibu sampaikan," ujar Bu Tamara.
"Apa itu, Bu?"
"Kamu ingat, Om Roman mau menikahkan Aura, kan?"
"Ya, memangnya kenapa?"
"Om roman akan menikahkan Aura minggu depan. Kita semua diundang ke acara pernikahan itu. Dan, kalau bisa kamu juga harus datang bersama Naysila."
Alden mengernyit. "Kenapa harus bersama Naysila? Dia jelas nggak akan mau kalau harus pergi denganku."
"Karena kamu dan Naysila masih suami istri, dan Om Roman serta keluarganya belum tahu tentang keretakan hubungan kalian. Kamu tahu sendiri, Om Roman itu sangat mengagumi hubungan kamu dan Naysila. Jadi, sudah seharusnya kalian hadir, supaya Om Roman senang."
"Aku tahu, Bu. Tapi, Ibu juga tahu sendiri situasi hubunganku dan Naysila itu benar-benar buruk. Ibu juga tahu, Naysila nggak suka lagi bertemu denganku, apalagi kalau harus pergi bersamaku ke tempat yang jauh. Aku gak mau cari masalah, aku gak mau mengganggu dia, Bu."
Suara Alden terdengar getir, bahkan lirih di ujung kalimat.
"Tapi, Nak..." Bu Tamara menahan suaranya sebentar. "Justru ini kesempatan untukmu memperbaiki keadaan. Kamu kira Ibu tidak mengerti hatimu? Ibu tahu, Al... kamu menyesal. Kamu masih ingin bersama Naysila, kan?"
Alden terdiam. Kata-kata ibunya menusuk tepat ke dalam relung hatinya. Ia menunduk, menatap kosong lantai kamar.
"Bu... aku tidak pantas," jawab Alden pelan. "Aku sadar, aku tidak pantas lagi berharap padanya. Aku sudah terlalu banyak menyakiti dia. Aku bahkan tidak tahu apakah aku berhak lagi untuk mendampinginya lagi atau tidak."
"Nak, kenapa kamu harus menyerah seperti itu? Selalu ada kesempatan untuk berubah."
"Dan, itu hanya berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah menyakiti pasangannya seperti aku. Kesempatan itu tidak ada untukku, Bu..." timpal Alden putus asa.
Bu Tamara diam sejenak, hingga kemudian ia berkata lagi, "Jadi, kamu menyerah untuk mendapatkan hati Naysila kembali?"
"Entahlah, Bu. Aku... aku benar-benar merasa tidak memiliki kesempatan lagi. Naysila tampaknya sudah menutup pintu hati untukku. Aku merasa... memang sudah tidak ada kesempatan untuk kami bersatu lagi. Aku akan memilih untuk diam, menyerahkan semua keputusan padanya, yang bahkan entah kapan dia akan memutuskan."
"Justru karena itu kamu harus terus mencoba," tegas Bu Tamara. "Kalau kamu terus diam atau bahkan menyerah, selamanya Naysila tidak akan tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan terhadap dirinya. Kamu pikir dia bisa membaca isi hatimu begitu saja? Tidak, Al. Kamu harus tunjukkan. Jangan menyerah seperti itu. Selalu ada kesempatan sebelum Naysila benar-benar bercerai dari kamu."
Alden menggenggam rambutnya, frustasi. "Tapi bagaimana kalau dia benar-benar menolak ajakanku, Bu? Bagaimana kalau dia justru semakin menjauh dariku karena terkesan aku memaksa?"
"Lebih baik mencoba walaupun gagal, daripada tidak mencoba sama sekali," jawab ibunya lembut. "Lagipula, kamu tidak akan sendirian. Ibu akan bantu. Kamu cukup berani bicara dengan dia, minta baik-baik. Urusan dia mau atau tidak, itu urusan nanti."
Alden menarik napas panjang. Ada gejolak antara gengsi, rasa bersalah, dan keinginan untuk memperbaiki. Hatinya sebenarnya ingin sekali bisa duduk berdampingan dengan Naysila lagi, walau hanya sebagai suami istri di hadapan keluarga besar.
"Baiklah, Bu," akhirnya Alden menyerah. "Aku akan coba bicara dengan dia. Tapi harus Ibu yang menghubunginya, karena aku tidak punya nomornya lagi."
"Bagus. Itu baru anak Ibu." Suara Bu Tamara terdengar lebih lega. "Nanti Ibu akan hubungi Naysila dan meminta padanya untuk mau menemui kamu."
Alden mengangguk kecil meski ibunya tak bisa melihat. "Iya, Bu."
Setelah panggilan berakhir, Alden duduk terdiam lama sekali.
Bayangan wajah Naysila hari itu, saat menatapnya dengan senyum tulus setelah insiden hampir menabrak kakek tua, kembali muncul. Begitu juga saat wajah mereka hanya berjarak 10 sentimeter di mobil.
Ia tahu, rasa itu masih ada. Bukan hanya di pihaknya, tapi mungkin juga di hati Naysila, walaupun kecil.
"Ibu benar, aku memang harus terus mencobanya dan gak boleh menyerah, sebelum Naysila benar-benar bercerai dariku." batinnya.
Alden mengangguk yakin. "Ibu benar, selama Naysila belum resmi cerai dariku, maka aku masih memiliki kesempatan dan harus mencobanya tanpa henti."
Sementara itu, di toko sepatu...
Naysila baru saja selesai melayani seorang pelanggan. Ia menaruh kembali beberapa kotak sepatu ke rak, keringat kecil menempel di pelipisnya. Hari pertama ternyata melelahkan, tapi hatinya gembira.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam sakunya. Ia membuka dan melihat sebuah pesan masuk.
Pengirimnya adalah Bu Tamara.
Naysila terdiam sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada apa lagi ibu mertuanya mengirim pesan? Mungkinkah ia sakit lagi?
Naysila segera membuka pesan tersebut dan membacanya dengan teliti.
[Nay, ada sesuatu yang harus disampaikan. Kalau kamu ada waktu, kita bertemu di kafe tempat dulu Ibu sering mengajakmu setelah belanja bersama.]
*****