Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
peringatan
Rumah Arsen malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu ruang tengah menyala terang, tapi tak satu pun memberi kesan hangat. Arsen baru saja menutup pintu setelah pulang sekolah, tasnya masih tergantung di bahu ketika suara berat itu memanggilnya.
“Arsen. Ke ruang kerja Papa. Sekarang.”
Langkah Arsen terhenti. Nada itu—dingin, tegas, sudah cukup membuat dadanya mengeras. Ia menarik napas pelan sebelum melangkah menuju ruangan yang jarang ia masuki, ruangan tempat ayahnya lebih sering bekerja daripada berbicara sebagai seorang papa.
Papa Bramasta menurunkan kertas itu perlahan, matanya menatap Arsen tanpa senyum.
“Arsen,” ucapnya tenang tapi dingin, “kamu tau standar yang Papa tetapkan buat kamu.”
Arsen menelan ludah. “Tau, Pa.”
“Kalau tau,” lanjut Papa Bramasta, “angka-angka ini nggak seharusnya seperti ini.”
Arsen mengepalkan tangannya. “Itu nilai gak terlalu jelek.”
“Bukan jelek,” Papa Bramasta mengangguk tipis, “tapi tidak cukup, untuk penerus seperti kamu."
Kalimat itu jatuh seperti palu.
“Kamu anak Papa satu-satunya,” ucap Papa Bramasta datar. “Calon penerus perusahaan. Papa nggak bisa kasih toleransi untuk hasil setengah-setengah.”
“Aku udah belajar keras, Pa.”
“Belajar bukan cuman tujuannya,” potong papanya. “Hasil. Itu yang bagus Papa butuhkan.”
Arsen mengangkat wajahnya, sorot matanya mulai bergetar.
“Jadi menurut Papa, aku gagal?”
Papa Bramasta terdiam sejenak, lalu berkata,
“Papa belum bilang kamu gagal. Tapi kalau kamu terus seperti ini, kamu belum layak.”
Kalimat itu lebih menyakitkan daripada kata gagal.
“Papa nyiapin perusahaan ini bertahun-tahun bukan buat diserahkan ke anak yang nilainya biasa-biasa aja,” lanjutnya.
“Dunia bisnis nggak mengenal kata cukup. Yang ada cuma yang terbaik atau mungkin tersingkir.”
Arsen tertawa kecil, pahit. “Jadi… seberapa pun usaha aku, selama belum sempurna dimata papa, aku tetap salah?”
Papa Bramasta menatapnya lurus.
“Kalau kamu mau duduk di kursi Papa suatu hari nanti—iya.”
Hening.
“Kamu mulai sekarang fokus,” ucap Papa Bramasta.
“Kurangi nongkrong, kurangi kegiatan nggak penting. Papa nggak mau dengar alasan.”
Arsen mengangguk pelan, suaranya hampir tak terdengar.
“Iya, Pa.”
“Papa nggak benci kamu,” lanjut papanya, lebih pelan.
“Papa cuma nggak mau kamu jadi lemah, dan papa ingin kamu jadi yang terbaik suatu hari nanti."
Arsen membalikkan badan.
“Kalo gitu… maaf karena aku belum jadi anak yang Papa mau.”
Ia pergi ke kamarnya tanpa menunggu jawaban.
★★★
Arsen menjatuhkan diri ke kasur.
Bukan marah yang ia rasakan.
Ia menatap langit-langit kamar, bertanya dalam hati:
Kalau suatu hari aku sempurna… apa Papa akan bangga? Atau standar itu akan naik lagi?
_____
Elara saat ini tengah duduk di sofa ruang keluarga bersama ayahnya. Joystick berada di tangannya, matanya fokus ke layar televisi yang menampilkan game balapan. Sesekali terdengar tawa kecil saat mobil virtualnya menabrak pembatas jalan.
“ish, Papa curang,” protes Elara sambil tertawa.
Papa Samudra hanya tersenyum santai. “Namanya juga permainan.”
Belum sempat Elara membalas, langkah kaki Mama Sekar terdengar mendekat dari arah dapur. Aroma cokelat hangat ikut terbawa.
“El,” panggil Mama Sekar lembut.
Elara menoleh. “Iya, Ma?”
Mama Sekar tersenyum sambil menyodorkan sebuah kotak. “Mama baru aja bikin brownies cokelat. Kamu anterin ke rumahnya Arsen, ya.”
Elara berkedip, sedikit terkejut. “Sekarang, Ma? Udah malam.”
“Tenang,” jawab Mama Sekar santai. “Kamu nggak sendirian. Sama sopir papa. Mama juga nggak bakal ngizinin kamu pergi sendirian.”
Papa Samudra mengangguk setuju. “Iya, El. Biar aman.”
Mama Sekar melanjutkan, nadanya sedikit lebih pelan, “Lagi pula, mamanya Arsen kan lagi nggak ada di rumah. Udah tiga hari. Pasti dia kesepian.”
Entah kenapa, dada Elara terasa sedikit menghangat mendengarnya.
“Iya… juga sih,” gumamnya.
“Berangkat sekarang aja,” ujar Mama Sekar.
Elara berdiri dan menaruh joystick di meja. “Yaudah, El berangkat sekarang ya, Pa, Ma.”
“Hati-hati,” ucap mereka hampir bersamaan.
“Iyaaa,” jawab Elara ceria sambil berlari kecil ke arah pintu.
“Pak, tolong anterin El ke rumahnya Nio,” ujar Elara pada sopir yang sudah menunggu.
“Baik, Non. Silakan naik,” jawab sopir itu sopan.
Tak lama, mobil melaju menembus jalanan malam yang cukup lengang. Elara menatap keluar jendela, pikirannya melayang entah ke mana. Entah kenapa, ia teringat wajah Arsen yang akhir-akhir ini sering terlihat diam dan banyak melamun.
Mobil berhenti tepat di depan rumah Arsen. Lampu teras menyala redup, suasananya tampak lebih sepi dari biasanya.
Elara turun dan menatap rumah itu sejenak.
“Si Nio ada nggak ya di rumah…” gumamnya pelan sebelum akhirnya menekan bel.
Tak lama, pintu terbuka.
Papa Bramasta berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja rumah dengan ekspresi datar khasnya. Elara refleks menegakkan tubuhnya.
“H-hai, Om,” sapa Elara kikuk. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia dan Papa Bramasta memang jarang berbincang—lebih sering hanya bertukar senyum sopan.
“Elara?,” ucap Papa Bramasta singkat.
Elara mengangkat kotak di tangannya. “Ini… El disuruh Mama nganterin brondong ehh maksudnya brownies buatan Mama.” ia tersenyum canggung.
Papa Bramasta mengangkat alis tipis, lalu menerima kotak itu. “Terima kasih.”
“Hm, masuk,” lanjutnya. “Kalau mau ke Arsen, dia ada di atas. Tapi jangan lama-lama. Ini sudah malam.”
“I-iya, Om,” jawab Elara cepat.
Ia melangkah masuk, lalu berjalan menuju tangga dengan langkah agak tergesa. Aura Papa Bramasta selalu membuatnya merasa kecil dan tidak nyaman, seolah sedang diawasi.
“Permisi, Om,” ucapnya sekali lagi sebelum menaiki tangga.
Elara berlari kecil ke atas, napasnya sedikit lega saat jarak dengan ruang bawah semakin jauh.
Kenapa sih aura Om Bramasta serem banget… batinnya.
Di depan kamar Arsen, Elara berhenti. Tangannya terangkat, ragu sejenak sebelum akhirnya mengetuk pelan.
Tok. Tok.
“Nio… ini El.”