NovelToon NovelToon
Senja Garda

Senja Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mengubah Takdir / Action / Dosen / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Daniel Wijaya

Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.

Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.

Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.

Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.

Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.

“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENJAGA PRAMBANAN

Waktu: Rabu, 17 April 2019. Pukul 01.00 WIB.

Lokasi: Perimeter Luar Taman Wisata Candi Prambanan (Sisi Selatan).

Di bawah langit kelam yang tanpa bintang, siluet kompleks Candi Prambanan menjulang bagai barisan raksasa yang sedang bersemedi.

Ini adalah mahakarya arsitektur Hindu terbesar di Indonesia, warisan wangsa Sanjaya dari abad ke-9 yang masih berdiri angkuh menantang zaman. Tiga candi utamanya yang didedikasikan untuk Trimurti—Siwa, Wisnu, dan Brahma—terlihat seperti pasak bumi yang menghubungkan dunia manusia dengan kahyangan.

Di tengah kegelapan, menara utama Candi Siwa mendominasi pandangan. Dengan tinggi mencapai 47 meter, struktur ramping dan runcingnya menusuk langit malam, menciptakan bayangan yang mengintimidasi. Relief-relief kisah Ramayana dan Krishnayana yang terukir di dinding batunya seolah hidup dalam keremangan, menjadi saksi bisu sejarah ribuan tahun—mulai dari kejayaan Mataram Kuno, kehancuran akibat gempa, hingga pemugaran kembali sebagai Situs Warisan Dunia.

Biasanya, tempat ini memiliki aura spiritual yang tenang. Namun malam ini, angin yang berhembus di antara sela-sela batu andesit membawa aroma yang salah. Bukan aroma dupa atau bunga sesajen, melainkan aroma ozon dan listrik statis.

Kedamaian situs purbakala ini terusik.

Mobil Land Cruiser tua itu berhenti mendadak di balik rimbunnya pepohonan mahoni, sekitar 500 meter dari pagar kawat berduri yang mengelilingi kompleks candi. Mesin dimatikan. Lampu dipadamkan.

Keheningan malam langsung menyergap. Namun, ini bukan keheningan yang damai. Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada suara burung malam. Alam seolah menahan napas, takut pada apa yang sedang terjadi di dalam sana.

"Kita jalan kaki dari sini," bisik Aditya, melepas sabuk pengamannya.

Fajar, yang duduk di sampingnya dengan rompi kevlar yang kegedean, sedang sibuk menyesuaikan kacamata Night Vision (NVG) militer yang baru pertama kali ia pakai. Dia terlihat seperti lalat hijau raksasa yang kebingungan.

"Wow," desis Fajar, melihat ke sekeliling. "Dunia jadi hijau semua. Keren. Gue bisa liat semut jalan di dashboard."

"Jangan liat semut. Liat ke depan," perintah Aditya sambil mengecek loading amunisi smoke pellet di sabuknya. "Apa yang lo liat di arah candi?"

Fajar menoleh ke arah timur, ke siluet menara-menara candi yang menjulang di kejauhan.

"Eh... kok aneh ya? Langit di atas candi warnanya bukan hijau. Tapi... ungu campur item? Kacamata gue rusak?"

"Nggak rusak. Itu Distorsi Aether," jelas Aditya dingin. "Energi ritualnya sudah bocor keluar. Sensor elektronik nggak bisa memproses warnanya dengan benar. Realitas di sana sudah tipis."

Aditya membuka pintu mobil. Udara di sini terasa bermuatan listrik statis. Bulu kuduk di lengannya berdiri.

"Ingat aturannya, Jar," kata Aditya saat mereka turun. "Kita mode stealth. Jangan injak ranting kering. Jangan nyalain flash kamera. Dan kalau gue suruh tiarap, lo tiarap sampai cacing tanah iri sama lo."

"Siap, Bos."

Mereka bergerak menembus semak-semak, memotong jalan menuju pagar pembatas sisi selatan.

RING 1: POS PENJAGAAN SELATAN

Di depan gerbang besi kecil yang biasanya dipakai petugas kebersihan, dua orang berseragam satpam berdiri kaku. Mereka tidak memegang senjata api, hanya pentungan karet.

Tapi ada yang salah. Mereka tidak mengobrol. Mereka tidak merokok. Mereka berdiri tegak tanpa berkedip, menatap kosong ke depan.

"Karin, status?" bisik Aditya.

"Detak jantung mereka sinkron, Mas," lapor Karin. "120 bpm. Konstan. Mereka di bawah pengaruh Mantra Pembungkam Jiwa. Mereka sadar, tapi tubuhnya dikendalikan."

"Boneka hidup," gumam Aditya. "Mereka warga sipil. Jangan bunuh. Lumpuhkan saja."

”Ah, iya satu lagi Mas.” Ucap Karin. “Aku sudah meretas jalur komunikasi Deputi VII. Harusnya mereka tidak mengganggu Mas untuk beberapa jam kedepan.”

“Yap, itu akan sangat membantu Rin.

Aditya lalu menoleh ke Fajar. "Tunggu di sini."

Aditya bergerak seperti bayangan. Dia tidak menyerang dari depan. Dia memanjat pohon di atas pos jaga, lalu menjatuhkan diri tepat di belakang satpam pertama.

Dengan gerakan presisi, dia menekan titik saraf di leher satpam itu (Sleeper Hold). Satpam itu lemas seketika.

Satpam kedua menoleh kaku—gerakannya patah-patah seperti robot rusak.

"Maaf, Pak. Bapak butuh tidur," bisik Aditya.

Dia menyapu kaki satpam kedua, lalu menyuntikkan bius mikro dari ujung sarung tangannya ke leher pria itu. Ambruk.

Aditya menyeret kedua tubuh itu ke semak-semak agar tidak terlihat.

"Aman," lapornya. "Fajar, masuk."

Fajar berlari mendekat, napasnya ngos-ngosan. Dia melihat dua satpam yang pingsan itu. "Lo... lo nggak bunuh mereka kan?"

"Cuma tidur nyenyak. Besok pagi mereka bakal bangun dengan sakit kepala hebat dan lupa nama mereka sendiri selama dua jam. Efek samping mantra."

Mereka melompati pagar, masuk ke area taman dalam.

RING 2: TAMAN RUSA (ZONA MILITER)

Suasana di dalam kompleks jauh lebih menekan. Pohon-pohon besar tampak seperti monster yang mengawasi.

Aditya berhenti mendadak di balik sebuah arca batu kecil. Dia menahan dada Fajar.

"Kenapa?"

"Liat ke depan. Jam 12. Di dekat kandang rusa."

Fajar menyipitkan mata lewat NVG-nya. Di sana, berjarak 50 meter, ada empat orang pria.

Mereka bukan satpam. Mereka memakai seragam taktis hitam polos, helm balistik, dan memegang senapan serbu Pindad SS1 yang moncongnya dipasangi peredam suara. Mereka bergerak taktis, saling melindungi blind spot.

"Itu bedil beneran, Dit," bisik Fajar horor. "Laras panjang."

"Tentara bayaran Bayangga," kata Aditya, matanya menyala oranye di balik visora helmnya. "Mantan desersi atau PMC asing. Mereka bukan boneka. Mereka pembunuh bayaran sadar."

"Terus gimana? Kita mundur?"

"Nggak ada jalan mundur. Kita terobos."

Aditya mengambil dua butir bola logam dari sabuknya.

"Fajar, hitungan ketiga, lo lari ke balik pohon beringin itu. Bikin suara gaduh sedikit. Gue butuh mereka nengok ke arah lo selama dua detik."

"Lo jadiin gue umpan peluru?!"

"Mereka pake Night Vision. Mereka bakal liat gerakan lo, tapi butuh waktu buat identifikasi. Gue bakal habisin mereka sebelum mereka narik pelatuk. Percaya sama gue."

Fajar menelan ludah. "Sialan. Satu... Dua... Tiga!"

Fajar lari, sengaja menginjak ranting kering. KRAK!

Keempat tentara bayaran itu langsung menoleh serentak, moncong senjata terarah ke Fajar.

"Kontak! Sektor kiri!"

Itu dua detik yang Aditya butuhkan.

Aditya melempar bola logam itu ke tengah-tengah formasi musuh.

BOOF!

Asap tebal abu-abu meledak instan, menutupi pandangan mereka. Bukan asap biasa, tapi asap yang mengandung serbuk logam untuk mengacaukan sensor panas NVG musuh.

"Buta! NVG offline!" teriak komandan regu mereka.

Aditya melesat masuk ke dalam asap.

Di dalam asap, musuh buta. Tapi Aditya menggunakan LiDAR. Dia bisa melihat bentuk tubuh mereka dengan jelas.

Dia menerjang musuh pertama. Hantaman siku ke pelipis. BUKK. Helm retak. Musuh jatuh.

Musuh kedua menembak buta. Pfyuh! Pfyuh!

Aditya menunduk, menyapu kaki musuh kedua, lalu menendang senjatanya jauh-jauh. Satu pukulan ke ulu hati mengakhiri perlawanan.

Dua lagi.

Mereka berdiri punggung-punggungan, menembak ke segala arah.

Aditya menembakkan kabel winch ke kaki musuh ketiga, menariknya hingga jatuh, lalu menggunakan tubuh musuh itu sebagai tameng saat musuh keempat menembak. Peluru mengenai rompi kevlar temannya sendiri (tidak tembus, tapi sakit).

Aditya melompat dari atas, menghantam kepala musuh keempat dengan lutut.

Hening.

Asap perlahan menipis. Empat tentara bayaran terbaik Bayangga terkapar mengerang di tanah.

"Bersih," kata Aditya, napasnya sedikit memburu. Dia memungut salah satu senapan, melepas magasin pelurunya, dan membuangnya ke semak. "Fajar, lo masih idup?"

"Masih!" seru Fajar dari balik pohon, gemetar tapi memegang kameranya. "Gila... lo barusan kayak Batman tapi lebih brutal."

"Ayo. Rintangan manusia sudah habis. Sekarang tinggal..."

Ucapan Aditya terhenti.

Tanah di bawah kaki mereka bergetar.

DUM... DUM…

Bukan getaran gempa. Itu getaran langkah kaki. Sangat berat.

"Mas!" teriak Karin di telinga Aditya, suaranya panik. "Mundur! Ada lonjakan energi termal raksasa dari bawah tanah! Di depan gerbang pelataran candi!"

"Berapa besar?"

"Tiga objek! Dan mereka bukan manusia!"

Dari balik kegelapan di depan gerbang pelataran Candi Siwa, tanah merekah.

Tiga sosok besar mulai terbentuk dari tanah liat dan bebatuan taman. Mereka naik perlahan, setinggi dua setengah meter.

Mereka berbentuk seperti Dwarapala—patung penjaga gerbang berwajah raksasa—yang hidup. Gada batu besar tergenggam di tangan mereka. Mata mereka menyala ungu.

Fajar mundur selangkah, hampir tersandung akar pohon. "Dit... patung selamat datangnya idup."

"Gue liat."

Aditya menarik Tombak Lipat dari punggungnya. KLAK-ZING. Bilah titanium menyala biru.

"Mereka bukan menyambut, Jar. Mereka mengusir."

Aditya menatap ketiga raksasa itu. Dia lelah. Dia sakit. Tapi dia satu-satunya yang berdiri di antara monster ini dan Fajar.

"Cari tempat sembunyi, Jar. Jangan mati," perintah Aditya.

Salah satu Dwarapala meraung—suara batu bergesekan yang memekakkan telinga—dan mulai berlari menerjang ke arah Aditya.

Malam di Prambanan baru saja dimulai. Dan Komite Penyambutan ini hanyalah hidangan pembuka yang keras.

———————————————————

Berikut gambar Candi Prambanan :

Sumber : https://visitjawatengah.jatengprov.go.id/id/artikel/panduan\-wisata\-di\-candi\-prambanan\-bisa\-beli\-tiket\-via\-online

1
Santi Seminar
lanjutt
Kustri
sambil menyelam minum☕
Kustri
maju teros, ojo mundur Dit, kepalang tanggung, yakin!!!
Kustri
jgn lewatkan, ini karya👍👍👍
luar biasa!!!
Santi Seminar
suka ceritamu thor
Santi Seminar
jodoh kayaknya😍
Kustri
seh kepikiran wedok'an sg duel ro adit ng gudang tua... sopo yo thor, kawan po lawan🤔
tak kirimi☕semangat💪
Kustri
☕nggo pa tio sg meh begadang
💪💪💪thor
Kustri
hahaaa dpt😉 g bs tidur pa dosen
jodoh ya thor🤭
Kustri
apa kau tersepona hai wanita cantik...

makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
Santi Seminar
wow
Kustri
oowh jembatan merah di mimpi adit ternyata di palembang
💪💪💪adit
Kustri
ckckckk... seru tenan!!!
Kustri
serius mocone deg"an
tp yakin sg bener tetep menang
Kustri
☕tak imbuhi dit💪
Kustri
☕ngopi sik dit, bn nambah kekuatanmu💪
Kustri
gempa lokal
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
Kustri
3 raksasa lawan 1 manusia...ngeri" sedap
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit
Kustri
pusaka legend sll ada💪
Daniel Wijaya: Betul banget Kak! Nusantara kita emang gudangnya pusaka sakti. Sayang kalau nggak diangkat jadi cerita! 🔥
total 1 replies
Kustri
qu berharap kau menyelesaikan karyamu ini thor, wlu blm byk yg mampir, tetap semangat berkarya
Daniel Wijaya: Aamiin! Makasih banget doanya Kak 🥹 Justru karena ada pembaca setia kayak Kak Kustri, aku jadi makin semangat buat namatin cerita ini sampai akhir. Tenang aja, perjalanan Adit masih panjang! 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!