Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 UNIVERSE ARUNIKA— Orang Kelima Tidak Selalu Diundang
Setelah peringatan dari Lintang, kami sepakat satu hal:
> Kami boleh kembali ke Arunika.
Tapi kami tidak boleh melibatkan siapa pun.
Karena begitu ada satu orang lain ikut terlibat…
nama itu akan mengisi baris kelima.
Dan setelah baris kelima muncul, semuanya akan berubah menjadi satu hal:
transaksi.
Daftar lengkap \= pintu satu orang akan menutup, dan pintu orang lain akan terbuka menggantikannya.
Kami tidak mau itu terjadi.
Tapi hidup tidak selalu membiarkan manusia menentukan nasibnya sendiri.
---
Kami check-out dari basecamp pagi itu. Tujuannya cuma satu: balik ke kota dulu, kumpulkan kekuatan mental, baru nanti kembali ke Arunika berdua.
Kami naik bis antarkota, duduk berdampingan. Sari bersandar ke jendela, aku menatap lurus ke depan supaya tidak tenggelam ke pikiran sendiri.
Sampai tiba-tiba ada suara dari kursi belakang kami:
“Hei… Raka?”
Aku noleh spontan.
Aku kenal suara itu.
Dan saat mataku bertemu wajahnya, lututku langsung lemas.
Kayla.
Teman kuliah kami.
Teman dekat — dulu jauh lebih dekat daripada seharusnya.
Orang yang sudah lama tidak bertemu, tapi masih mengingat semua tentang kami.
Kayla nyengir lebar. “Gila, kebetulan banget sih! Gue kira salah orang tadi. Lo kemana aja? Ngilang berbulan-bulan. Instagram sepi. WA cuma ceklis satu. Gue pikir lu pindah negara.”
Aku langsung jadi kaku.
Sari menoleh pelan. Tatapannya bukan cemburu… tetapi ketakutan.
Karena kami tahu:
Kalau Kayla ikut terlibat…
kalau Kayla tahu apa yang terjadi…
kalau Kayla ikut dalam perjalanan kami…
Nama kelima akan muncul.
Kayla ambil tempat duduk kosong di dekat kami tanpa ditanya. Rambutnya masih panjang, senyumnya sama seperti dulu, tapi matanya menyimpan sesuatu yang Sari langsung sadari.
Dia nanya dengan santai: “Kalian dari mana? Tampak capek banget dua-duanya.”
Aku bohong cepat: “Liburan ke pantai.”
Kayla ketawa kecil. “Wow, pantai bikin kalian keliatan kayak habis trauma berat ya?”
Sari menunduk.
Aku ingin jawab dengan bercanda… tapi suara Kayla lanjut sendiri setelah menatap kami lama:
“Kalian kelihatan… kayak baru kehilangan seseorang.”
Jantungku langsung berdetak kencang.
Sari buru-burumembalas, “Nggak kok, cuma capek.”
Tapi Kayla menggeleng pelan.
Dia bukan asal bicara — dia membaca kami dengan tepat.
“Aku juga pernah kehilangan orang dekat,” katanya lirih. “Dan matanya… persis kayak mata kalian sekarang.”
Sari menegang sepenuhnya.
Kayla melanjutkan, tanpa sadar betapa bahaya ucapannya bagi kami: “Kalau kalian butuh cerita ke seseorang… gue dengerin. Kalian nggak sendirian.”
Telingaku berdenging.
Itu bukan godaan.
Itu bukan rayuan.
Tapi itu adalah skenario sempurna untuk memunculkan nama kelima.
Seseorang yang:
peduli
dekat
sanggup “menggantikan”
dan bisa jadi tempat bersandar
Gunung tidak selalu memilih korban lemah.
Kadang gunung menawarkan seseorang begitu baik… sampai kita ingin melindunginya.
Sari akhirnya bicara duluan — suaranya dingin, datar: “Kayla, kita nggak ketemu siapa-siapa. Kita nggak kenal siapa-siapa. Dan nggak ada yang hilang.”
Aku refleks menoleh ke Sari — bukan marah, tapi kaget karena matanya berubah tajam, seolah siap menyerang.
Kayla terlihat tersentak sedikit, tapi mencoba tersenyum. “Eh… maaf kalau gue nanya hal yang salah… gue cuma peduli.”
Aku buru-buru meredakan. “Nggak apa-apa, Kay. Kita cuma lagi banyak pikiran.”
Kayla mengangguk, tapi wajahnya jelas terluka.
Dia kemudian turun di terminal pertama — sebelum kami.
Tapi sebelum turun, dia sempat menoleh dan bilang:
“Kalau suatu saat kalian butuh bantuan atau cuma butuh ditemenin… gue ada. Kalian tahu gue akan datang.”
Dan saat dia turun — bis berjalan perlahan — aku melihat sesuatu dari jendela:
Pada gelang biru di tanganku…
Garis kecil terukir, masih samar, tapi aku yakin mataku tidak salah.
Huruf pertama mulai muncul:
K
Sari langsung tarik gelang dari tanganku dan menggenggamnya kuat-kuat, hampir sampai kukunya meninggalkan bekas.
“Ka,” katanya dengan suara rendah penuh ketakutan,
“nama kelima sudah mulai kebuka.”
Aku tidak mampu bicara.
Dan saat bis bergerak semakin jauh dari terminal, Sari berkata kalimat yang membuatku benar-benar ingin muntah:
“Gunung bukan nyari orang kelima… gunung nunggu kita yang memilih.
Dan Kayla adalah pilihan paling mudah.”
Aku menunduk, sakit sampai ke tulang.
Karena aku tahu itu benar.
Dan itu artinya—
Semakin dekat Kayla dengan kami… semakin cepat gelang itu menyelesaikan namanya.
Dengan kata lain:
> Gunung tidak hanya mengejar orang yang takut.
Gunung juga mengejar orang yang peduli.
Dan orang yang peduli paling banyak… biasanya adalah orang pertama yang hilang.
---
Malam itu kami sampai kembali ke kota. Kami berpisah: aku ke rumah, Sari ke kos.
Sebelum pisah, Sari bilang: “Apapun yang terjadi… jangan biarkan Kayla dekat. Jangan biarkan dia ikut. Jangan biarkan dia peduli… demi kita semua.”
Aku mengangguk.
Tapi jam 22:04 malam itu, saat aku duduk sendiri di kamar, HP-ku bergetar.
1 pesan masuk.
Dari nomor Kayla.
> “Raka… kamu nggak harus cerita kalau belum siap.
Tapi ngomong apa pun yang kamu rasain nggak akan bikin aku pergi.”
Aku gemetar sampai jari aku kaku.
Dan saat aku melihat gelang yang tergeletak di meja…
huruf kedua mulai terukir di bawah huruf K.
KA
Kalau aku balas pesan Kayla…
kedekatan itu akan berubah menjadi pintu.
Kalau aku dingin ke Kayla…
rasa bersalahku sendiri bisa menuntunku memilihnya tanpa kusadari.
Sari benar.
Pilihan bukan antara hidup dan mati.
Pilihan adalah siapa yang akan menggantikan kita.
Dan teror terbesar Gunung Arunika bukan hantu, makhluk, atau suara langkah.
Teror terbesar adalah memaksa manusia memilih siapa yang paling boleh hilang.
Dan malam itu, aku baru sadar satu hal:
> Kadang gunung tidak perlu memanggil.
Cukup menunggu sampai kita butuh seseorang… dan kita sendirilah yang memanggilnya.
Dan saat itu terjadi—
Baris kelima akan selesai.
Dan seseorang tidak akan pernah pulang.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor