kanya adalah seorang Corporate Lawyer muda yang ambisinya setinggi gedung pencakar langit Jakarta. Di usianya yang ke-28, fokus hidupnya hanya satu, meskipun itu berarti mengorbankan setiap malam pribadinya.
Namun, rencananya yang sempurna hancur ketika ia bertemu adrian, seorang investor misterius dengan aura kekuasaan yang mematikan. Pertemuan singkat di lantai 45 sebuah fine dining di tengah senja Jakarta itu bukan sekadar perkenalan, melainkan sebuah tantangan dan janji berbahaya. Adrian tidak hanya menawarkan Pinot Noir dan keintiman yang membuat Kanya merasakan hasrat yang asing, tetapi juga sebuah permainan yang akan mengubah segalanya.
Kanya segera menyadari bahwa Adrian adalah musuh profesionalnya, investor licik di balik gugatan terbesar yang mengancam klien firman tempatnya bekerja.
Novel ini adalah kisah tentang perang di ruang sidang dan pertempuran di kamar tidur
Untuk memenangkan kasusnya, Kanya terpaksa masuk ke dunia abu-abu Adrian, menukar informasi rahasia de
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FTA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kotak Cokelat Di Meja
Kanya memasuki ruang kerjanya setelah rapat mingguan yang panjang, berharap menemukan keheningan yang ia butuhkan untuk menyusun berkas tuntutan. Namun, langkahnya terhenti. Di tengah meja mahoninya yang tertata rapi—tepat di atas dokumen kasus Dharma Kencana—terletak sebuah kotak kayu kecil yang elegan.
Kotak itu terbuat dari kayu jati gelap berukir halus, tidak memiliki kartu ucapan, label pengiriman, atau tanda apa pun. Ia sangat mencolok dan terasa sangat asing di tengah lingkungan kantor yang serba steril. Kanya mendekat perlahan, nalurinya sebagai pengacara menyuruhnya untuk tidak menyentuh, tetapi rasa ingin tahunya sebagai wanita yang baru saja dicium Adrian memerintahkannya untuk membuka.
Kanya melihat sekeliling. Asistennya, Maya, sedang tidak ada. Pintu sudah tertutup rapat. Ia mengambil kotak itu. Kotak itu berat, dan saat ia membukanya, aroma cokelat mewah dan pekat langsung menyergap indranya.
Di dalamnya, terdapat beberapa butir truffle cokelat buatan tangan yang cantik. Di antara cokelat-cokelat itu, terselip sebuah sendok perak kecil yang persis sama dengan yang Adrian gunakan untuk menyuapinya Tiramisu dua malam lalu.
Kanya menarik napas tajam. Ini bukan sekadar hadiah; ini adalah manuver psikologis. Adrian telah berhasil menembus keamanan kantornya, tempat yang paling ia anggap sebagai benteng pertahanannya, dan meninggalkan pesan intim serta mengancam.
Tepat di bawah sendok itu, terselip selembar kertas catatan kecil, bukan dari kertas memo, melainkan dari kulit berwarna crimson. Hanya ada dua baris yang diketik rapi,
> Dessert Anda aman, Nona Lawyer.
> Tapi game kita kini bukan lagi off-the-record.
Tangan Kanya gemetar memegang catatan itu. Ia mengabaikan kebohongan pada Dara, ia mengabaikan etika Pak Bram, tetapi ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Adrian tahu di mana ia duduk, apa yang sedang ia kerjakan, dan, yang paling parah, ia tahu keinginan terbesarnya.
Adrian tidak hanya mengumumkan dirinya sebagai musuh; dia mengumumkan bahwa permainan ini akan dimainkan berdasarkan aturannya—campur aduk antara pekerjaan dan hasrat.
Kanya buru-buru meraih smartphone-nya dan mencoba menghubungi Dara, tetapi ia segera menarik kembali tangannya. Ia tidak bisa menceritakan ini pada Dara. Tidak ada jurnalis yang akan percaya bahwa seorang investor besar mempertaruhkan jutaan dolar hanya untuk mengirim cokelat setelah kencan yang berakhir dengan ciuman.
Tiba-tiba, interkom di mejanya berbunyi.
"Kanya, Anda dipanggil Pak Bram dan Pak Wibisono ke ruang rapat utama. Sekarang. Urgent."
Wajah Kanya langsung pucat. Ia melihat ke arah kotak cokelat itu. Apakah ini jebakan? Apakah Pak Bram tahu?
Ia cepat-cepat menyembunyikan kotak itu di laci paling bawah dan mengunci laci tersebut. Kanya membasahi bibirnya, merasakan sisa aftertaste pahit yang samar. Ia memaksakan ekspresi profesionalnya, berbalik, dan berjalan menuju ruang rapat, meninggalkan jejak aroma cokelat mewah di belakangnya.
Saat ia berjalan, pikiran terburuk menghantamnya: Adrian mungkin sengaja mengirim cokelat itu agar ia lengah. Atau, lebih buruk lagi, pesan itu adalah pengalih perhatian dari serangan korporat yang akan terjadi di ruang rapat.
Memasuki ruang rapat, Kanya merasakan ketegangan yang sangat nyata. Pak Bram terlihat marah, sementara Pak Wibisono tampak tertekan. Di atas meja, tergeletak salinan berkas gugatan dari The Vanguard Group yang baru diterima.
"Duduk, Kanya," kata Pak Bram dingin. "The Vanguard Group baru saja mengajukan mosi. Bukan mosi yang membatalkan klaim lahan kita. Mereka justru menargetkan aset likuid PT. Dharma Kencana di Bank Central. Mereka mencoba melumpuhkan klien kita secara finansial sebelum kita bahkan sempat menyerang klaim sengketa mereka."
Mata Kanya terbelalak. Dia tahu betul metode itu. Ini adalah strategi blitzkrieg finansial yang Adrian jelaskan di mobil. Adrian sengaja menghindari pertarungan hukum yang lama dan melelahkan, langsung menyerang jantung finansial kliennya.
"Adrian—" Kanya hampir menyebut nama itu, tetapi berhasil menghentikannya. "Konsultan litigasi mereka bergerak cepat. Ini strategi blitzkrieg finansial."
"Benar," sela Pak Wibisono, nadanya penuh putus asa. "Kita harus memblokir mosi itu dalam 24 jam ke depan, Kanya. Jika dana klien kita dibekukan, mereka tidak bisa membayar kewajiban jangka pendek. Perusahaan ini akan runtuh dalam hitungan hari. Mereka menggunakan kerentanan finansial, bukan hukum. Apa strategi Anda?"
"Mosi mereka valid secara hukum, Kanya," tambah Pak Bram, nadanya kini penuh ancaman. "The Vanguard Group tahu hukum, dan mereka menekan tombol yang paling menyakitkan. Kita tidak bisa mengajukan gugatan balik biasa. Waktunya tidak cukup. Kita harus menggunakan arbitrase darurat, dan itu sangat berisiko. Hanya kasus yang paling mendesak yang bisa disetujui, dan kita harus membuktikan bahwa pembekuan aset ini akan menyebabkan kerugian permanen."
Kanya menarik napas dalam. Adrian telah memberikan Kanya peringatan dalam bentuk cokelat, dan sekarang, dia telah memberikan serangan telak ke jantung kasusnya. Kanya menyadari, ia tidak hanya berjuang untuk karirnya. Ia sedang berjuang untuk membuktikan kepada Adrian bahwa ia bukan pion yang bisa ia cium dan ia benci di saat yang bersamaan.
"Saya akan mencari celah arbitrase darurat, Pak," jawab Kanya, matanya menyala. "Mereka menyerang secara finansial, kita akan membalas dengan legalitas yang paling tidak mereka duga. Saya butuh tim terbaik. Malam ini juga."
Tepat setelah rapat dibubarkan, kantor Wibisono & Partners berubah menjadi sarang lebah yang panik. Kanya mengumpulkan lima junior lawyer terbaik di ruangannya. Ia membagi berkas, memerintahkan mereka untuk mencari preseden arbitrase darurat yang paling kuat, sementara ia sendiri mulai menyusun draf mosi yang agresif. Pintu kantor Kanya tidak pernah ditutup, tetapi kini ia memasang tanda Dilarang Masuk—sebuah tindakan ekstrem di firma yang menjunjung tinggi keterbukaan.
Kanya duduk di mejanya. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Cahaya lampu neon di luar jendelanya adalah satu-satunya saksi. Kelelahan mulai terasa, tetapi setiap kali matanya mulai layu, ia mengingat sendok perak dan rasa Tiramisu yang dibisikkan Adrian.
Kanya membuka laci terkunci dan mengeluarkan kotak kayu itu. Ia mengambil sendok perak kecil itu, memegangnya dengan ibu jari dan telunjuknya. Benda itu dingin, halus, dan merupakan pengingat fisik dari musuh yang ia coba hancurkan.
"Anda ingin bermain di luar aturan, Adrian?" Kanya berbisik ke sendok itu, keheningan kantor yang luas menelan suaranya. "Saya akan menunjukkan kepada Anda bahwa corporate lawyer ini tahu cara bermain lebih kotor. Anda menyerang dana klien saya. Saya akan menyerang validitas seluruh yayasan investasi Anda. Permainan baru saja dimulai, dan kali ini, saya yang memegang kendali atas hasil akhirnya." Kanya meletakkan sendok itu kembali ke laci, menutupnya dengan bunyi klik tegas, dan kembali ke berkasnya. Ia akan bekerja sepanjang malam.
Bersambung...