Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan dari Masa Lalu
Udara subuh terasa lebih menusuk dari biasanya, menembus pori-pori dan langsung ke tulang Raya. Matanya bengkak, sisa tangisan semalaman yang memilukan. Arlan pergi. Pintu apartemen tertutup dengan keheningan yang lebih berat daripada dentuman apa pun. Kata-katanya masih terngiang, menusuk seperti sembilu: “Siapa Langit sebenarnya, Raya?”
Raya bangkit dari ranjang, merasakan beban di dadanya yang tak tertahankan. Ia melangkah perlahan menuju kamar Langit. Putranya terbaring pulas, napasnya teratur, wajahnya damai dalam tidurnya. Sebuah tangan kecil mencengkeram boneka beruang lusuh kesayangannya. Melihat itu, Raya merasakan gelombang cinta yang begitu kuat, menenggelamkan semua rasa sakit dan kebingungan. Langit. Anaknya. Darah atau bukan, dia adalah belahan jiwanya.
“Mama tidak akan menyerah, Sayang,” bisiknya, mengelus rambut halus Langit. “Mama akan mencari tahu segalanya. Mama akan melindungi kamu.”
Tekad itu membakar hatinya, mengusir sedikit rasa putus asa. Ia tahu ini tidak akan mudah. Arlan, cinta dalam hidupnya saat ini, telah meninggalkannya dalam kegelapan yang penuh pertanyaan. Dan Damar, bayangan masa lalunya yang kini terasa seperti mimpi buruk yang menjadi nyata, kemungkinan besar adalah kunci dari semua ini.
Raya duduk di meja kerjanya, menyalakan laptop. Jemarinya gemetar saat membuka folder tersembunyi yang berisi semua hasil penyelidikannya sejauh ini. Foto-foto lama, email usang, catatan telepon yang mencurigakan. Setiap kepingan puzzle terasa semakin jelas membentuk wajah Damar di baliknya. Mantan suaminya yang ambisius, yang selalu ingin memiliki segalanya, selalu ingin mengontrol.
Ia kembali memutar rekaman suara percakapan teleponnya dengan salah satu mantan karyawan klinik fertilitas tempat ia dan Damar menjalani program IVF dulu. Suara wanita itu lirih, penuh ketakutan. “Ada sesuatu yang aneh, Bu Raya… Saya tidak berani bicara banyak. Tapi coba Ibu periksa catatan transfer embrio di klinik utama. Ada nama dokter lain yang tidak biasa terlibat pada saat itu… Dokter S. Dan ada cerita tentang… permintaan khusus.”
Dokter S. Raya mencari nama itu. Ia adalah seorang spesialis embriologi yang terkenal, namun juga memiliki reputasi agak ‘kontroversial’ karena sering dikaitkan dengan kasus-kasus donasi sperma atau program surogasi terselubung untuk klien-klien VVIP. Jantung Raya berdebar kencang. Ia mengingat kembali betapa Damar begitu gencar mendesaknya untuk segera memulai program IVF, bahkan saat ia merasa belum sepenuhnya siap. Damar juga yang memilih klinik itu, bersikeras bahwa mereka adalah yang terbaik.
“Permintaan khusus…” Raya bergumam. Apa permintaan khusus itu? Apakah Damar yang memintanya? Dan untuk apa? Sebuah skenario mengerikan mulai terbentuk di benaknya: Damar, yang sangat ingin memiliki keturunan laki-laki, mungkin saja diam-diam telah menukar embrio, atau menggunakan spermanya sendiri yang entah bagaimana disimpan, lalu ditanamkan pada Raya tanpa sepengetahuannya.
Tidak. Itu terlalu gila. Terlalu keji. Raya menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Tapi, tes DNA Langit telah berbicara. Langit bukan anaknya secara biologis. Dan jika bukan anaknya, lalu anak siapa? Kenapa embrio itu bisa ada di rahimnya? Satu-satunya benang merah yang muncul adalah Damar.
Pandangan Raya tertuju pada sebuah email lama yang ia temukan di arsip email Damar yang ia retas beberapa waktu lalu. Email itu dikirim oleh asisten Damar, beberapa minggu sebelum prosedur transfer embrio Raya. Subjeknya: “Konfirmasi Janji Temu – Klinik Harapan Ibu – Dr. S.”
Klinik Harapan Ibu. Itu bukan klinik tempat Raya dan Damar menjalani IVF. Klinik mereka adalah Klinik Kasih Bunda. Mengapa Damar ada janji temu di Klinik Harapan Ibu dengan Dokter S, sesaat sebelum transfer embrio Raya dilakukan? Sebuah firasat buruk merayapi punggungnya.
Ia meraih ponselnya, mencari nomor telepon Klinik Harapan Ibu. Tangannya berkeringat dingin. Ia harus tahu. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi di sana, apa kaitan Damar dengan Dokter S dan klinik itu. Mungkin di sana Damar menyimpan spermanya, atau merencanakan sesuatu yang jauh lebih gelap.
“Halo, dengan Klinik Harapan Ibu. Ada yang bisa kami bantu?” suara ramah di seberang telepon terdengar.
Raya menarik napas dalam-dalam. “Selamat siang. Saya ingin bertanya tentang… pasien atas nama Damar Prasetya. Saya ingin tahu apakah dia pernah menjadi klien di sana, terutama sekitar delapan tahun yang lalu.” Ia mencoba terdengar tenang, meskipun jantungnya berdentum-dentum.
Hening sejenak. “Mohon tunggu sebentar, Ibu. Akan saya cek database kami.”
Menit-menit berlalu terasa seperti jam. Raya mencengkeram ponselnya erat-erat, matanya terpaku pada layar laptop, di mana wajah Langit tersenyum dalam foto profilnya. Semuanya demi Langit. Ia harus kuat.
“Baik, Ibu. Setelah saya periksa, memang ada catatan nama tersebut di database kami. Beliau tercatat pernah melakukan… penyimpanan sampel, beberapa kali. Terakhir kali pada… delapan tahun yang lalu, ya. Sesuai dengan yang Ibu sebutkan. Dan ada… prosedur khusus yang diajukan oleh beliau.”
“Prosedur khusus? Apa itu?” desak Raya, suaranya tercekat.
“Maaf, Ibu. Kami tidak bisa memberikan detail lebih lanjut mengenai riwayat medis pasien tanpa izin langsung dari yang bersangkutan. Ini menyangkut kerahasiaan data pasien.”
“Tapi… apakah ini ada kaitannya dengan Dokter S?” Raya mencoba peruntungan. “Apakah Dokter S yang menanganinya?”
Hening lagi. Kali ini lebih lama. Raya bisa merasakan ketegangan dari seberang telepon. Wanita itu pasti sedang mempertimbangkan apakah akan menjawab atau tidak. Raya tahu ia telah menyentuh sesuatu yang sensitif.
“Ibu… saya tidak bisa mengonfirmasi itu. Tapi… saya sarankan Ibu datang langsung ke sini. Mungkin ada hal lain yang bisa kami bantu dengan kehadiran Ibu. Ada beberapa catatan yang… agak rumit.”
“Saya akan datang,” Raya memutuskan tanpa ragu. “Bisakah saya membuat janji temu hari ini?”
“Tentu, Ibu. Bagaimana kalau pukul dua siang? Saya akan siapkan berkas yang mungkin relevan, meskipun saya tidak bisa menjamin akses penuh tanpa izin.”
“Pukul dua siang. Terima kasih.” Raya menutup telepon, tangannya masih gemetar. Penyimpanan sampel. Prosedur khusus. Dokter S. Klinik Harapan Ibu. Benang-benang itu kini terjalin menjadi satu, membentuk jaring yang mengerikan.
Ia bangkit, memaksakan diri untuk mandi dan bersiap. Setiap detik terasa berharga. Ia harus mencari tahu. Ia harus mengungkap kebenaran di balik semua ini. Demi Langit, dan demi Arlan. Tapi di mana Arlan sekarang? Apakah ia akan tetap sendirian menghadapi semua ini?
Saat Raya hendak keluar, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia ragu-ragu sejenak, lalu mengangkatnya.
“Halo?”
“Raya. Akhirnya kau mengangkatnya.” Suara itu. Suara yang sudah lama tidak ia dengar, namun masih bisa ia kenali bahkan dalam tidurnya. Suara yang kini membangkitkan rasa jijik dan takut di hatinya. Damar. “Kudengar kau mencariku? Mengapa kau begitu penasaran dengan masa lalu kita, Sayang?”
Dunia Raya terasa runtuh. Napasnya tercekat. Bagaimana Damar tahu? Bagaimana ia bisa menghubunginya setelah sekian lama menghilang? Dan apa maksudnya dengan ‘masa lalu kita’? Apakah ia tahu tentang penyelidikan Raya? Atau, apakah ia memang sengaja menunggu saat yang tepat untuk muncul?
“Apa… apa maumu?” suara Raya bergetar, lebih lemah dari yang ia inginkan.
“Maumu? Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, dan… Langit juga,” jawab Damar, suaranya terdengar terlalu tenang, terlalu licik. “Bagaimana Langit? Apa dia sudah membaik? Aku tahu kau mencemaskannya.”
Jantung Raya berpacu kencang. Bagaimana Damar tahu tentang penyakit Langit? Tidak mungkin. Kecuali… kecuali Damar selalu mengawasi mereka. Selama ini. Dan jika ia tahu tentang Langit, berarti ia tahu tentang tes DNA, tahu tentang Langit bukan darah dagingnya. Apakah ini berarti Damar memang dalang di balik semua ini?
Sebuah firasat dingin mencengkeram Raya. Ia merasa seperti sedang berjalan ke dalam perangkap yang telah disiapkan dengan cermat. “Jangan pernah sebut nama anakku! Jangan pernah mendekati dia!” seru Raya, emosinya meledak.
Damar tertawa pelan. Tawa yang membuat bulu kuduk Raya merinding. “Oh, Raya. Langit bukan hanya anakmu, kan? Aku rasa kau sudah tahu banyak hal sekarang. Aku hanya ingin bilang… Hati-hati. Ada banyak rahasia yang mungkin lebih baik tetap terkubur. Atau kau akan kehilangan segalanya. Termasuk… suamimu yang sekarang.”
Sambungan terputus. Raya menjatuhkan ponselnya, tubuhnya gemetar hebat. Damar tahu. Damar tahu semuanya. Ancaman itu… tidak, itu bukan ancaman. Itu adalah peringatan. Atau lebih tepatnya, sebuah deklarasi perang. Ia tidak hanya tahu tentang Langit, ia juga tahu tentang Arlan. Damar telah mengintai mereka. Ia telah menunggu.
Apakah ini berarti Damar yang akan muncul di Klinik Harapan Ibu nanti? Apakah ia sengaja mengarahkan Raya ke sana untuk konfrontasi? Atau apakah ini hanya bagian dari permainan psikologisnya? Raya merasa seperti terperangkap di antara dua kekuatan besar: masa lalu yang keji dan masa kini yang rapuh. Ia harus mengambil keputusan. Lanjut mencari kebenaran, dengan risiko kehilangan Arlan dan menghadapi Damar, atau mundur dan hidup dalam kebohongan yang menyiksa? Tapi Langit… Langit pantas tahu kebenarannya. Langit pantas mendapatkan perlindungan.
Ia harus pergi. Ia harus menghadapi apa pun yang menantinya di Klinik Harapan Ibu. Meskipun ia tahu, pertemuan itu bisa mengubah segalanya, dan mungkin tidak akan ada jalan kembali.