Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Hampir Ketahuan
Bab 18: Hampir Ketahuan
Langkah pertama memasuki ruang tamu utama Vila Adhitama.
Rasanya bukan seperti masuk rumah.
Tapi masuk ke dalam museum.
Atau set film The Great Gatsby versi lokal.
Hanya lebih mengintimidasi.
Dan lebih dingin.
Udara di dalam diset pada suhu beku.
Mungkin 18 derajat.
Suhu yang hanya nyaman bagi mereka yang memakai jas wol atau selendang bulu.
Bagi Yuni, suhu itu menusuk kulit lengannya yang terekspos.
Udara beraroma campuran yang rumit.
Bunga sedap malam segar yang ditaruh di vas kristal setinggi pinggang.
Lilin aromaterapi mahal berwangi sandalwood.
Dan aroma samar pembersih lantai yang baunya seperti rumah sakit swasta kelas VIP.
Lantai di bawah kakinya adalah marmer Italia.
Putih dengan urat abu-abu.
Sangat mengkilap.
Seolah-olah baru saja dipoles lima menit yang lalu.
Yuni bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di sana.
Wajah yang pucat.
Wajah yang sedang menahan panik.
Sepatu heels barunya berbunyi tak-tak-tak pelan.
Bunyi yang terdengar terlalu keras di telinganya sendiri.
Di dinding sebelah kanan, tergantung lukisan abstrak raksasa.
Coretan warna merah dan hitam yang kacau.
Yuni yakin harganya lebih mahal dari biaya kuliahnya sampai S3.
Suara obrolan sopan berdengung rendah.
Tidak ada tawa lepas.
Tidak ada teriakan.
Hanya gumaman baritone dan tawa sopan soprano.
Semuanya terkontrol.
Seperti orkestra yang membosankan.
"Senyum," bisik Juan.
Suaranya nyaris tak terdengar.
Dia tidak menggerakkan bibirnya.
Keahlian seorang ventriloquist amatir.
Genggaman tangannya mengerat.
Jari-jarinya terasa kering dan hangat, kontras dengan telapak tangan Yuni yang basah oleh keringat dingin.
"Dagu naik. Jangan lihat lantai."
"Lantainya lebih menarik daripada orang-orang ini," batin Yuni.
Tapi dia menurut.
Dia mengangkat dagunya.
Menarik sudut bibirnya.
Memasang senyum tipis yang sudah dia latih di cermin kosan yang retak.
Di sudut ruangan, dekat jendela besar yang menampilkan pemandangan kabut Puncak.
Seorang pria berseragam putih-hitam sedang menuangkan wine ke dalam gelas berkaki panjang.
Cairan merah gelap.
Di sofa tengah, sofa beludru warna cream yang terlihat empuk namun rapuh.
Tiga wanita duduk.
Mereka tertawa kecil.
Menutup mulut dengan tangan yang penuh cincin.
Suara piano Grand Yamaha hitam di pojok ruangan berhenti mendadak.
Pemain pianonya, seorang pria muda bayaran, sedang membalik kertas partitur.
Hening sejenak.
Seseorang menyadari kehadiran mereka.
"Juan!"
Seruan itu memecah udara dingin.
Datang dari sofa tengah.
Wanita itu berdiri.
Gerakannya halus. Tanpa hentakan.
Dia cantik.
Sangat cantik.
Mungkin usianya sudah kepala lima, tapi kulitnya menolak tua.
Terawat sempurna oleh krim malam seharga motor bekas.
Rambutnya disanggul modern, menyisakan sedikit helai di sisi wajah.
Dia mengenakan kaftan sutra berwarna champagne.
Berkilau lembut di bawah lampu gantung kristal.
Bu Linda.
Ibunda Juan.
Halaman 6 File Skenario.
"Mama," sapa Juan.
Suara Juan berubah.
Lebih rendah. Lebih hormat.
Tapi ada nada waspada di sana.
Seperti tentara yang melapor pada komandan.
Bu Linda berjalan mendekat.
Melayang di atas marmer.
Telinganya dihiasi anting mutiara yang besarnya seukuran kelereng.
Matanya.
Mata itu langsung tertuju pada satu titik.
Tangan mereka.
Tautan jari mereka.
Interlocking fingers.
Simpul mati yang dibuat untuk pertahanan diri.
Yuni menahan napas.
Jangan dilepas,batinnya. Tolong jangan dilepas.
"Akhirnya sampai," kata Bu Linda.
Sekarang dia berdiri satu meter di depan mereka.
Aroma Chanel No. 5 menyerbu hidung Yuni.
Kuat. Klasik. Mengintimidasi.
Bu Linda menatap Juan sejenak.
Meneliti wajah putranya.
Mencari cacat. Mencari kelelahan.
Lalu beralih ke Yuni.
Tatapan itu lembut.
Bibirnya tersenyum.
Matanya menyipit ramah.
Tapi Yuni ingat peringatan Juan di mobil tadi.
Itu jebakan.
Itu adalah senyum laba-laba.
"Dan ini pasti..."
Bu Linda menggantung kalimatnya di udara.
Membiarkan Yuni mengisi titik-titiknya.
Sebuah tes inisiatif.
"Yuni, Ma," potong Juan cepat. "Pacar Juan."
Yuni harus bergerak.
Dia mengulurkan tangan kanannya.
Dengan sangat enggan melepaskan genggaman Juan.
Telapak tangannya terasa kosong dan dingin seketika.
"Selamat malam, Tante. Saya Yuni."
Suaranya stabil.
Terima kasih Tuhan.
Bu Linda menatap tangan Yuni yang terulur.
Dia tidak menjabatnya.
Tentu saja tidak.
Jabat tangan terlalu formal. Terlalu berjarak.
Dia memajukan tubuhnya.
Memeluk Yuni.
Pelukan udara.
Pipi kanan bertemu pipi kanan.
Pipi kiri bertemu pipi kiri.
Tubuh mereka tidak bersentuhan sama sekali.
Hanya aroma parfum dan gesekan kain sutra.
Cipika-cipikikhas sosialita Jakarta Selatan.
"Cantik sekali," bisik Bu Linda tepat di telinga Yuni.
Nadanya terdengar tulus.
Manis seperti madu.
Tapi kalimat berikutnya adalah racunnya.
"...pilihan yang menarik, Juan. Sangat berbeda dari biasanya."
Kalimat itu.
Menusuk.
Bu Linda melepaskan pelukan.
Dia memegang kedua bahu Yuni dengan tangannya yang halus.
Kuku-kukunya dicat warna nude sempurna.
Dia menatap Yuni dari atas ke bawah.
Meneliti blazer murah Yuni.
Meneliti kulot kainnya.
Meneliti sepatu yang sedikit kaku.
"Juan bilang kamu dari Sastra ya, Sayang?"
"Pantas... auranya beda."
"Lebih... sederhana."
Kata itu lagi.
"Sederhana".
Diucapkan dengan nada yang sama seperti orang memuji kerajinan tangan anak TK.
Atau vas bunga tanah liat di antara koleksi porselen.
Penghinaan yang dibungkus kertas kado emas.
Yuni menelan ludah.
Dia harus membalas. Sesuai skenario "Framing".
"Terima kasih, Tante," jawab Yuni.
Dia mempertahankan senyumnya.
Tidak goyah.
"Sederhana itu menenangkan, kan?"
Alis Bu Linda terangkat sedikit.
Satu milimeter.
Dia tidak menyangka akan dijawab.
"Betul sekali," kata Bu Linda, memulihkan senyumnya.
"Kami butuh ketenangan di keluarga yang bising ini."
Tiba-tiba.
Cahaya putih menyilaukan.
Blitz.
Menyambar mata Yuni.
Yuni berkedip. Kaget.
Dia menoleh ke arah tangga melingkar yang megah.
Seorang gadis muda berdiri di sana.
Rambutnya di-bleaching ash-grey.
Memakai dress pendek warna hitam.
Tangannya memegang iPhone 15 Pro Max.
Casing-nya berkilauan penuh kristal.
Lampu flash-nya masih menyala.
Bella.
Sepupu Juan.
Si CCTV Digital.
Si Influencer dua juta followers.
"Hai, Kak Juan!" sapa Bella ceria.
Suaranya cempreng. Khas vlogger.
Ponselnya merekam.
Lensa kameranya seperti mata satu yang jahat.
"Akhirnya bawa pacar juga! Hai, Kak... siapa namanya? Say hi dong ke followers aku!"
"Mereka udah kepo banget dari kemarin lho!"
Yuni membeku.
Dia tidak siap masuk internet.
Dia tidak siap dihakimi oleh netizen yang tidak dia kenal.
Juan bertindak.
Refleks. Protektif.
Dia merangkul pinggang Yuni.
Menarik tubuh Yuni mendekat ke tubuhnya.
Melindunginya dari serbuan cahaya kamera.
"Bella, simpan HP-mu," kata Juan datar.
Nadanya tajam.
"Yuni baru sampai. Jangan dijadikan konten."
"Hormati privasi."
Bella cemberut.
Bibirnya yang di-filler sedikit manyun.
"Ih, pelit," cibirnya.
"Biasanya juga pamer."
Dia menurunkan ponselnya. Tapi tidak mematikannya.
"Oma udah nunggu di ruang makan, tuh. Better hurry."
"Kevin udah mulai pamer soal magangnya di London."
"Dia lagi cerita soal hedge fund atau apalah itu."
Tubuh Juan menegang di samping Yuni.
Otot bahunya mengeras.
"Oma... sudah di meja?"
"Udah dari tadi. Mood-nya lagi jelek."
"Supnya kurang asin, katanya."
"Koki baru kena semprot."
Info buruk.
Bos Terakhir sedang marah.
Juan menatap Yuni.
Mencari konfirmasi.
"Siap?" bisiknya.
Yuni menarik napas panjang.
Menghirup aroma sedap malam yang memabukkan.
"Siap," katanya.
Meskipun kakinya gemetar.
Mereka berjalan menuju ruang makan.
Melewati lorong yang dihiasi foto-foto keluarga hitam putih.
Leluhur Adhitama yang menatap galak dari dalam bingkai emas.
Ruang makan itu terbuka di depan mereka.
Lebih mirip ruang konferensi meja bundar PBB daripada tempat makan keluarga.
Meja panjang dari kayu mahoni solid.
Mengkilap gelap.
Bisa memuat dua puluh orang dengan mudah.
Lilin-lilin menyala di tengah meja.
Oma duduk di ujung.
Di kursi dengan sandaran paling tinggi.
Seperti takhta.
Rambut putihnya ditata sanggul rapi. Tanpa cela.
Memakai kebaya encim putih klasik dengan bordir halus.
Dan kain batik tulis motif parang yang warnanya cokelat tua magis.
Dia sedang menyendok sup.
Sup krim jamur.
Aroma truffle oil tercium samar.
Gerakannya lambat.
Sendok perak ke mulut. Tanpa suara.
Presisi.
Tidak ada yang bicara saat Juan dan Yuni masuk.
Hening.
Hanya bunyi denting halus sendok beradu dengan piring porselen.
"Malam, Oma," sapa Juan.
Oma tidak mendongak.
Dia menyelesaikan suapannya.
Mengunyah pelan.
Menelan.
Meletakkan sendok di samping piring.
Mengambil serbet kain linen putih.
Mengelap sudut bibirnya.
Baru kemudian mengangkat mata.
Matanya tajam.
Bening.
Kelabu.
Menusuk seperti jarum.
Dia menatap Juan. Lalu menatap Yuni.
Tanpa ekspresi.
"Duduk," perintahnya.
Suaranya serak, rendah, tapi berwibawa.
Bukan permintaan. Perintah.
Juan menarik kursi untuk Yuni.
Di sebelah kanannya.
Kursi kayu berat dengan bantalan beludru.
Yuni duduk.
Dia meremas roknya di bawah meja.
Jantungnya berdegup begitu kencang.
Dia takut getarannya akan menggoyangkan gelas kristal di depannya.
Pelayan datang.
Wanita berseragam rapi.
Membawa piring pembuka.
Bukan sup.
Tapi canape.
Roti panggang kecil dengan topping.
Yuni menatap piring itu.
Udang.
Udang rebus berukuran sedang, dilumuri saus mangga berwarna oranye cerah.
Dihiasi daun dill kecil.
Terlihat cantik.
Dan mematikan.
Bagi skenario mereka.
Yuni melirik piring Juan.
Sama.
Tiga potong udang besar.
Merah muda. Segar.
Juan mengambil garpu peraknya.
Dia terlihat santai.
Terlalu santai.
Mungkin dia gugup menghadapi Oma, sampai otaknya blank.
Dia menusuk udang itu.
Mengangkatnya.
Membuka mulutnya.
Bersiap memakannya.
Mata Yuni membelalak.
Pupilnya melebar.
Skenario V.3.0.
Halaman 4.
Revisi Merah.
Ditambahkan jam 2 pagi via WhatsApp.
Alergi: Udang.
Kenapa Juan memakannya?
Apa dia lupa?
Apa dia gila?
Atau ini tes?
Otak Yuni berputar cepat.
Jika Juan memakannya dan Yuni diam, Oma akan tahu Yuni tidak perhatian. Pacar macam apa yang membiarkan pasangannya makan racun?
Jika Juan memakannya dan dia beneran alergi, dia bisa mati. Syok anafilaksis di meja makan. Ambulans. Skandal.
Jika Yuni melarangnya tapi ternyata Juan tidak alergi (dan hanya pura-pura di skenario), Yuni akan terlihat bodoh dan Juan akan terlihat bingung.
Waktu melambat.
Seperti slow motion.
Garpu Juan mendekati bibirnya.
Saus mangga menetes sedikit.
Bu Linda memperhatikan dari seberang meja, sambil menyesap wine.
Oma memperhatikan dari ujung meja, matanya menyipit.
Yuni harus bertaruh.
Sekarang.
Dia menyentuh lengan Juan.
Cepat.
Cengkeraman yang sedikit keras.
"Juan," panggilnya.
Juan berhenti.
Udang itu menggantung satu senti dari bibirnya.
Dia menoleh.
Alisnya terangkat. Polos.
"Jangan," kata Yuni.
Suaranya cukup keras.
Memecah keheningan ruang makan.
Semua orang menoleh.
"Kenapa?" tanya Juan.
Dia benar-benar lupa.
Wajahnya bingung.
"Udang," kata Yuni tegas.
Dia menatap mata Juan.
Memberi kode lewat tatapan.
"Kamu lagi batuk minggu lalu. Dokter bilang hindari seafood dulu, kan?"
"Pemicu histamin."
"Ingat?"
Yuni berimprovisasi.
Dia tidak bisa bilang "Kamu alergi" karena takut Juan tidak membawa EpiPen pura-pura.
Alesan "batuk" dan "dokter" lebih aman. Lebih sementara.
Hening di meja makan.
Juan menatap mata Yuni.
Ada kilatan kaget di matanya.
Dia sadar.
Dia lupa.
Dia benar-benar lupa revisi itu karena stres.
Juan menurunkan garpunya perlahan.
Meletakkannya kembali di piring.
Ada butir keringat di pelipisnya.
"Ah," kata Juan.
Dia tersenyum tipis. Canggung.
"Benar. Aku lupa."
"Pikiranku penuh."
Dia menatap Yuni dengan tatapan 'terima kasih'.
"Kamu teliti banget," kata Juan.
Dia mengusap punggung tangan Yuni di atas meja.
Gerakan intim.
Tiba-tiba.
Suara tawa.
Sinis. Pendek.
Dari seberang meja.
Kevin.
Sepupu London.
Dia duduk bersandar, memegang gelas wine.
Memutarnya pelan. Cairan merah itu berpusar.
Dia memakai jam tangan Rolex emas yang menyilaukan.
"Lucu," kata Kevin.
Suaranya malas. Menyeret.
"Seingatku, minggu lalu lo makan Lobster Thermidor waktu kita lunch bareng Om Pras di Plaza Indonesia."
"Satu porsi besar."
Kevin menatap Juan, lalu menatap Yuni. Seringai muncul di wajahnya.
"Dan lo nggak batuk sama sekali, Bro."
"Malah nambah."
Darah Yuni surut dari wajahnya.
Dingin.
Skakmat.
Fakta bertabrakan dengan fiksi.
Kevin membongkar kebohongan itu di detik pertama.
Oma meletakkan serbetnya.
Menatap tajam ke arah Juan.
Lalu ke Yuni.
"Lobster?" tanya Oma.
Suaranya datar. Mematikan.
"Jadi kamu alergi atau tidak, Juan?"
"Atau pacarmu ini..." Oma melirik Yuni, "...berlebihan?"
Juan membeku.
Mulutnya terbuka sedikit, tapi tidak ada kata yang keluar.
Dia tertangkap basah.
Yuni merasakan tangan Juan menegang di bawah meja.
Gemetar.
Yuni harus memperbaikinya.
Sekarang.
Atau mereka diusir sebelum hidangan utama.
Yuni menarik napas.
Dia tertawa kecil.
Tawa yang terdengar santai. Renyah.
Seolah tuduhan Kevin adalah lelucon lucu.
"Mas Juan memang begitu, Oma," kata Yuni.
Suaranya tenang.
Dia menatap Kevin dengan senyum manis.
Senyum yang mematikan.
"Dia kalau ketemu klien atau keluarga penting, gengsinya tinggi."
"Sakit pun ditahan."
"Makan lobster dipaksakan demi sopan santun sama Om Pras. Dia nggak mau nolak rezeki orang tua."
Yuni menoleh ke Juan.
Memasang wajah pacar yang khawatir sekaligus gemas.
Dia merapikan kerah kemeja Juan.
"Pas pulang dari lunch itu, kamu minum obat antialergi dua butir kan di mobil?"
"Sampai ketiduran di jalan?"
"Muka kamu merah semua."
Yuni mengarang bebas.
Menambahkan detail visual. "Muka merah". "Dua butir obat".
"Makanya aku rewel sekarang," lanjut Yuni, kembali menatap Oma.
Berani menatap mata kelabu itu.
"Maaf kalau saya lancang melarang cucu Oma makan."
"Tapi kalau dia sakit lagi, nanti skripsinya terganggu."
"Dan saya yang repot ngurusinnya."
Hening lagi.
Denting jam antik di sudut ruangan terdengar keras.
Tik... tok... tik... tok...
Semua mata tertuju pada Oma.
Hakim Agung sedang menimbang keputusan.
Kevin terlihat kesal.
Dia mau membantah, tapi bingung. Dia tidak tahu apa yang terjadi di mobil setelah makan siang itu.
Oma menatap Yuni lama.
Sangat lama.
Mencari kebohongan.
Yuni tidak berkedip.
Lalu.
Sudut bibir keriput Oma terangkat.
Sedikit sekali.
Hampir tak terlihat.
"Bagus," kata Oma.
Satu kata.
"Laki-laki Adhitama memang keras kepala soal kesehatan. Persis Kakeknya."
"Butuh wanita yang berani mengatur. Bukan cuma yang bisanya yes-man."
Oma melirik Kevin sekilas. Tatapan meremehkan.
Lalu menunjuk piring Juan dengan dagunya.
"Pelayan," panggil Oma.
"Ganti piring Juan."
"Beri dia ayam. Jangan pakai saus aneh-aneh."
Yuni menghembuskan napas yang sejak tadi dia tahan di dada.
Paru-parunya terasa terbakar.
Di bawah meja, di atas lututnya, tangan Juan mencari tangannya.
Menggenggamnya.
Meremasnya erat-erat.
Yuni melirik Juan.
Wajah cowok itu sedikit pucat, tapi matanya memancarkan rasa lega yang luar biasa.
Satu poin untuk tim mereka.
Kevin: 0.
Yuni: 1.
Tapi malam masih panjang.
Dan Bella di ujung meja masih memegang ponselnya.
Merekam semuanya.