kanya adalah seorang Corporate Lawyer muda yang ambisinya setinggi gedung pencakar langit Jakarta. Di usianya yang ke-28, fokus hidupnya hanya satu, meskipun itu berarti mengorbankan setiap malam pribadinya.
Namun, rencananya yang sempurna hancur ketika ia bertemu adrian, seorang investor misterius dengan aura kekuasaan yang mematikan. Pertemuan singkat di lantai 45 sebuah fine dining di tengah senja Jakarta itu bukan sekadar perkenalan, melainkan sebuah tantangan dan janji berbahaya. Adrian tidak hanya menawarkan Pinot Noir dan keintiman yang membuat Kanya merasakan hasrat yang asing, tetapi juga sebuah permainan yang akan mengubah segalanya.
Kanya segera menyadari bahwa Adrian adalah musuh profesionalnya, investor licik di balik gugatan terbesar yang mengancam klien firman tempatnya bekerja.
Novel ini adalah kisah tentang perang di ruang sidang dan pertempuran di kamar tidur
Untuk memenangkan kasusnya, Kanya terpaksa masuk ke dunia abu-abu Adrian, menukar informasi rahasia de
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FTA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retainer Fee
Perjalanan singkat dari hotel menuju penthouse Adrian terasa seperti perpindahan dimensi. Keheningan di dalam mobil mewah itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang mendidih. Kanya menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas dengan cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlebihan. Namun, setiap sentuhan Adrian—jari-jarinya yang sesekali melingkari pergelangan tangannya, atau ibu jarinya yang mengusap punggung tangannya—mengkhianati usahanya.
Adrian mengemudi dengan santai, seolah ia sedang mengantar pulang seorang teman lama, bukan seorang pengacara yang baru saja ia cium, dan yang baru saja ia paksakan untuk masuk ke dalam permainan terlarangnya.
“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melanggar semua etika profesionalnya,” ujar Kanya, suaranya sedikit serak.
Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar di ruang sempit mobil. “Aku tidak melanggar etika. Aku hanya mendefinisikannya ulang, Kanya. Dan kau menyukai definisi baruku. Tadi malam, kau bersedia mempertaruhkan karirmu demi kemenanganku. Hari ini, kau di sini karena menginginkanku. Itu definisi yang sangat jelas bagiku.”
“Aku tidak mempertaruhkan karirku demi dirimu. Aku mempertaruhkan etika-ku demi kemenanganku sendiri,” balas Kanya tegas. Ia menarik tangannya dari genggaman Adrian. “Jangan pernah berpikir kau bisa mengendalikan ambisiku, Adrian.”
Adrian hanya tersenyum tipis, memarkir mobil di basement mewah sebuah menara di kawasan SCBD. “Kita lihat saja. Aku janji, kau akan kesulitan membedakan keduanya saat kau menjadi pengacaraku.”
Mereka naik ke penthouse tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Apartemen Adrian menempati seluruh lantai atas, menawarkan pemandangan 360 derajat Jakarta yang jauh lebih menakjubkan daripada pemandangan dari SKYLITE Bistro. Namun, bukan pemandangan yang menarik perhatian Kanya.
Apartemen itu minimalis, didominasi warna gelap dan high-tech, tetapi terasa dingin—seperti tempat tinggal seorang pria yang tidak pernah benar-benar pulang. Di sudut ruang tamu, sebuah patung perunggu bergaya Romawi, yang menggambarkan pertarungan antara dua sosok, terasa menjadi cerminan sempurna hubungan mereka.
Adrian berjalan ke mini bar, menuangkan single malt Skotlandia ke dalam dua gelas kristal. “Aturan pertama retainer fee-mu,” Adrian memulai, menyerahkan satu gelas kepada Kanya. “Aku tidak pernah berbohong tentang tujuan. Aku ingin kau bekerja denganku, Kanya. Aku akan melindungimu dari Pak Bram dan sistem lamanya, dan kau akan menggunakan keahlian hukummu untuk membantuku.”
“Membantumu apa? Menerapkan blitzkrieg finansial pada perusahaan lain? Memenangkan gugatan berdasarkan konspirasi?” tantang Kanya, menolak sentuhan gelas mereka.
“Membantuku mendominasi. Dan ya, terkadang itu berarti bermain kotor. Tapi bukankah kau sudah membuktikan kau pandai bermain kotor? Kau memeras promosi dari Pak Bram pagi ini, Kanya. Itu bukan etika. Itu adalah politik kekuasaan,” desak Adrian, matanya tajam.
Kanya terdiam. Dia benar. Adrian selalu menyerang kelemahan terbesarnya: keinginan Kanya untuk menang, apa pun caranya.
“Aku tidak bisa mengambil retainer darimu, Adrian. Itu adalah konflik kepentingan yang melanggar kode etik profesi,” kata Kanya, mencoba mencari pijakan moralnya.
Adrian menyeringai. Dia meletakkan gelasnya, dan mendekat. Dia mengambil gelas Kanya, meletakkannya di mini bar, dan menangkup wajah Kanya, memaksa Kanya mendongak.
“Dan sejak kapan kita berbicara tentang kode etik, Kanya? Kau di sini, tanpa blazer, di apartemen musuhmu, hanya beberapa jam setelah kau memenangkan kasus itu dengan bukti yang ia berikan padamu. Kau sudah jauh melampaui etika. Kita berbicara tentang hasrat. Dan hasrat, itu adalah retainer fee yang tidak bisa dibayar dengan uang.”
Jemari Adrian bergerak ke ritsleting gaun sutra Kanya yang tersembunyi. Sensasinya membuat Kanya menarik napas tajam. Pertarungan di antara mereka kini semakin personal.
“Jadi, ini kesepakatannya,” bisik Adrian, suaranya rendah dan penuh janji. “Kau membantuku memenangkan satu proyek yang akan kuberikan. Sebagai imbalan, kau bisa memintaku apa pun. Informasi, uang, atau…” Adrian mencondongkan tubuh, bibirnya menyentuh telinga Kanya, “...apa pun yang kau butuhkan untuk memuaskan ambisimu di tempat tidur dan di ruang sidang.”
Kanya merasakan tubuhnya berkhianat. Hasratnya pada Adrian begitu kuat, hampir menyakitkan.
“Bagaimana dengan Maya?” tanya Kanya tiba-tiba, menarik kembali kendali.
Pertanyaan itu membuat Adrian berhenti. Ketegangan fisik di antara mereka langsung digantikan oleh ketegangan yang dingin. Adrian menjauhkan wajahnya, ekspresinya kembali kaku.
“Maya tidak ada hubungannya dengan kita,” jawab Adrian, nadanya tegas, tetapi ada jeda yang terlalu lama.
“Ponselmu. Notifikasi tadi di mobil. ‘Maya: Semuanya…’,” Kanya mendesak. “Jika aku akan menjadi pengacaramu—bahkan pengacara personal—aku tidak bekerja dengan rahasia.”
Adrian menatap Kanya lama, mengukur apakah Kanya berhak atas jawaban itu. Akhirnya, dia menghela napas, kekalahan kecil terlihat di matanya.
“Maya adalah mantan tunanganku. Dan ya, dia punya kaitan dengan salah satu proyek yang sedang kukerjakan. Proyek yang aku butuh kau bantu untuk diselesaikan,” aku Adrian.
“Terkait hukum?”
“Terkait kepemilikan,” kata Adrian, rahangnya mengeras. "Dan itu adalah rahasia yang akan kupertaruhkan untukmu, Nona Lawyer."
Kanya tidak lagi berpikir tentang etika. Dia berpikir tentang kekuasaan. Memasuki hubungan Adrian berarti memasuki dunia gelap yang mungkin akan menghancurkannya, tetapi juga akan memberinya pengetahuan dan kekuasaan yang ia impikan.
Kanya mengangkat tangannya, meraih dasi Adrian, dan menarik Adrian kembali ke arahnya. “Kalau begitu, Adrian, kita punya kesepakatan. Beri aku rahasia yang tidak bisa dihancurkan di pengadilan, dan aku akan membantumu menang. Sekarang, mari kita bayar retainer fee-nya.”
Adrian tersenyum. Senyum kemenangan seorang predator. Dia tidak perlu diberitahu dua kali.
Dia membungkuk dan mencium Kanya dengan intensitas yang tidak menyisakan ruang untuk negosiasi atau penyesalan.
Ciuman itu menenggelamkan Kanya. Seluruh ruang kerja, Pak Bram, dan bahkan janji promosi, semuanya hilang. Di momen itu, hanya ada hasrat dan pengakuan diam-diam bahwa dia telah menemukan lawannya yang sebanding. Adrian mengangkatnya, dan Kanya secara naluriah melingkarkan kakinya di pinggang pria itu.
Kain sutra gaunnya bergesekan dengan kemeja linen Adrian yang terbuka, menghasilkan desisan lembut di tengah keheningan apartemen yang mewah itu. Adrian membawanya melintasi ruang tamu yang dingin, menuju kamar tidur utama yang lebih diselimuti kehangatan remang-remang lampu. Setiap langkah adalah penegasan atas kesepakatan yang mereka buat: kekuatan ditukar dengan hasrat.
Saat Adrian menjatuhkannya dengan lembut ke tempat tidur, Kanya meraih lehernya, menarik Adrian lebih dekat. Ia tidak lagi memikirkan etika, melainkan memanfaatkan kesempatan ini—kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak, untuk membaca pria itu dari jarak terdekat.
Kanya menarik Adrian, mengunci pandangannya. "Kau ingin aku menjadi pengacaramu?"
"Ya," jawab Adrian, suaranya tercekat.
"Kalau begitu, ini aturan pertama dari pengacaramu," ujar Kanya, memegang wajah Adrian, suaranya tajam meskipun tubuhnya memohon. "Jangan pernah berbohong padaku lagi tentang Maya. Berikan aku semua detailnya, dan aku akan memberimu semua yang kau inginkan."
Adrian menatap Kanya. Ada perjuangan yang nyata dalam matanya, perjuangan antara keinginan untuk mendominasi dan dorongan untuk menyerah pada tuntutan Kanya. Di matanya, Kanya melihat bukan hanya hasrat, tetapi juga sebuah bayangan rasa sakit. Ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini sangat pribadi bagi Adrian.
"Baik," gumam Adrian, akhirnya menyerah. "Aku akan memberitahumu. Tapi tidak sekarang."
Dia menjatuhkan ciumannya ke leher Kanya, memutus percakapan dengan tindakan yang lebih mendesak. Adrian melepaskan gaun sutra Kanya dengan gerakan cepat dan mahir—seolah ia telah menunggu momen ini selama berbulan-bulan.
Saat kain itu meluncur jatuh, Kanya merasakan dinginnya udara penthouse yang kontras dengan panas yang menjalar di kulitnya. Dia meraih kemeja Adrian, merobek kancingnya satu per satu. Kemeja linen hitam itu melayang ke lantai. Di bawahnya, Kanya melihat dada Adrian yang kokoh dan berotot, dan sebuah bekas luka kecil yang samar-samar di tulang selangkanya—sebuah detail yang terasa tidak sesuai dengan citra Adrian yang serba sempurna.
Saat bibir Adrian kembali menuntut, memadamkan semua pertanyaan yang tersisa, Kanya tahu: Dia telah menjual dirinya untuk kekuasaan, dan pembayaran pertamanya jauh lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan. Retainer fee telah dibayarkan.