Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 — Bayangan di Cermin Air
Rendra menarik Dimas keluar dari Balai Desa yang kini menjadi kuburan basah. Mereka berlari menembus kegelapan malam, menyusuri jalan setapak yang kini terasa lebih dingin dan licin karena hujan. Bau amis darah dari Balai Desa menempel di udara, dicampur dengan aroma lumpur basah.
Mereka tahu bahwa manifestasi Yang Basah—makhluk yang membantai para penjaga—masih berkeliaran. Langkah-langkah basah itu mungkin saja mengikuti mereka di antara pepohonan. Rendra terus menoleh ke belakang, tetapi kegelapan dan hujan yang menghalangi pandangan membuatnya tidak bisa membedakan bayangan pohon dengan bayangan entitas.
Dimas bergerak dengan energi yang aneh. Meskipun tubuhnya dingin dan ia terus memuntahkan air keruh, ia berlari tanpa lelah, seolah-olah dipandu oleh insting yang basah. Rendra tahu, Dimas sedang ditarik menuju gubuk Nyai Melati, satu-satunya tempat yang masih memiliki perlindungan spiritual.
Akhirnya, mereka tiba di gubuk Nyai Melati. Gubuk itu tampak seperti mercusuar kecil di tengah kegelapan total, diterangi oleh lampu minyak tunggal di dalamnya.
Rendra mendobrak pintu dan langsung menyeret Dimas masuk.
“Nyai! Kami dikejar! Mereka semua mati di Balai Desa!” seru Rendra, terengah-engah.
Nyai Melati tidak terkejut. Ia duduk di tempatnya, di tengah gubuk, di depan perapian kecil. Ia kini dikelilingi oleh pola rumit yang ia gambar di tanah liat dengan bubuk merah marun—pola yang ia gunakan untuk memperlambat massa.
Di depannya, terletak mangkuk tanah liat kecil, penuh dengan air hujan. Air itu tampak hening dan gelap.
“Aku tahu, Nak Rendra,” kata Nyai Melati, matanya yang putih susu menatap lurus ke arah pintu. “Dia datang. Dia marah karena Ritual Darah mereka terganggu. Dia ingin Dimas. Dimas adalah jembatan yang terlalu berharga untuk mereka korbankan.”
Rendra mendorong Dimas ke belakang Nyai Melati. “Lindungi dia, Nyai. Aku akan menjaga pintu.”
“Duduk, Nak Rendra,” perintah Nyai Melati, suaranya mengandung otoritas yang tidak bisa ditolak. “Menjaga pintu tidak ada gunanya. Dia bisa datang dari air di bawah lantai. Kita harus menghadapinya dengan kebenaran yang kau bawa.”
Rendra yang kelelahan dan ketakutan akhirnya menyerah. Ia duduk di hadapan Nyai Melati, Dimas meringkuk di sampingnya, tubuhnya dingin seperti batu.
Nyai Melati memejamkan mata. Ia mulai merapal mantra dengan suara yang rendah dan bergetar, bahasa kuno yang Rendra tidak mengerti. Udara di dalam gubuk terasa semakin dingin.
“Kau harus tahu apa yang kau lawan, Nak Rendra,” bisik Nyai Melati, tangannya melayang di atas mangkuk air hujan. “Kau melawan ingatan, bukan hantu. Dan ingatan itu ada di adikmu.”
Nyai Melati membuka matanya dan menatap mangkuk air.
“Tunjukkan padanya, Laras. Tunjukkan padanya apa yang telah kau lakukan pada adiknya.”
Perlahan-lahan, permukaan air di dalam mangkuk itu mulai bergetar. Air itu tidak tumpah, tetapi bergejolak, seolah ada energi tersembunyi yang mendidih di dalamnya.
Rendra mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap pantulan di air.
Pada awalnya, ia hanya melihat pantulan wajahnya sendiri, pucat, ketakutan, dan basah.
Namun, pantulan itu mulai berubah.
Wajah Rendra di air beriak. Dan di belakang kepalanya, muncul bayangan lain.
Wajah Laras.
Wajah itu muda, tetapi matanya penuh kesedihan dan kepedihan yang luar biasa. Rambutnya hitam, panjang, basah, dan diselimuti lumpur. Ia tidak berteriak; ia hanya menatap dengan mata yang memohon.
Rendra menarik napas tajam. Itu adalah Laras, Gadis Tumbal.
Lalu, pantulan itu bergeser lagi. Di samping Laras, bahu membahu, muncul wajah yang lain.
Wajah Rani.
Wajah adiknya kini tampak kaku, tidak lagi hidup. Rambutnya juga basah kuyup, menempel di pipinya. Tapi yang paling mengerikan, matanya bukan lagi mata Rani. Matanya adalah dua kolam air yang gelap, tanpa pupil, dan di pipi kirinya, Rendra bisa melihat lumut hijau tipis yang menjalar—tanda bahwa dia sudah menjadi bagian dari air, sama seperti yang ia lihat samar-samar di fotonya.
Laras dan Rani berdiri berdampingan di cermin air, satu terbuat dari dendam yang lama, yang satu lagi terbuat dari penyerahan diri yang baru. Mereka adalah satu.
Laras mengangkat tangannya di dalam air, menunjuk ke arah Rani.
Dan Rani, adiknya, tersenyum. Senyum yang dingin, lebar, dan sama sekali tidak ada kehangatan di dalamnya.
Dari pantulan air itu, Rendra mendengar bisikan yang jelas, namun terdengar sangat dingin, seperti suara air yang menetes di dalam gua. Suara itu adalah perpaduan suara Rani dan Laras, nada sedih bercampur dengan nada menuntut.
“Kau datang untuk menjemputku… tapi aku sudah jadi bagian dari dia.”
“Rani, ini aku! Kakakmu!” teriak Rendra ke mangkuk air.
Pantulan Rani di air menggeleng pelan, senyumnya tetap dingin.
“Sudah terlambat, Mas. Dingin di sini terlalu kuat. Dan kebenaran itu… kebenaran Ayahmu yang kau sembunyikan… kebenaran itu telah mencuciku bersih dari dunia manusia.”
“Aku akan memberikannya! Film itu ada padaku! Aku akan membuktikan siapa pelaku penodaan Laras!”
Pantulan Laras di samping Rani tiba-tiba berubah, matanya yang sedih kini dipenuhi kemarahan yang membara.
“Bukan cuma film! Kau harus mengembalikannya! Kau harus mengembalikan... tubuhku!”
Nyai Melati menekan tangannya ke mangkuk air, membuat pantulan itu beriak dan menghilang.
“Cukup!” kata Nyai Melati, napasnya terengah-engah. “Kau lihat, Nak Rendra? Bukan hanya bukti. Laras menuntut agar tubuhnya—yang dikubur kotor di Sumur Tua—dikembalikan dan dicuci. Dia ingin ritualnya diselesaikan dengan benar.”
Dimas, yang selama ini diam, tiba-tiba mengangkat kepalanya. Matanya yang basah menatap Rendra.
“Dia bilang… dia tahu di mana tubuh Laras dikubur. Di samping Sumur Tua. Bukan di dasar.”
“Bagaimana kau tahu, Dimas?” tanya Rendra, menatap kuku hitam anak itu.
Dimas menggelengkan kepala, air keruh menetes dari mulutnya. “Aku anak air, Kak. Aku bisa mendengarnya.”
Tiba-tiba, gubuk Nyai Melati berderak hebat. Pintu depan terdorong ke dalam.
Di ambang pintu, berdiri sesosok bayangan raksasa. Manifestasi lumpur dan air dari Balai Desa telah menemukan mereka. Makhluk itu tinggi, kurus, dan seluruh tubuhnya meneteskan lumpur merah kental. Matanya adalah dua lubang gelap yang memancarkan dingin yang mematikan.
Di luar gubuk, terdengar suara gerombolan penduduk desa yang selamat. Mereka kembali, didorong oleh Sanusi.
“Nyai Melati! Serahkan anak itu! Kami akan menghentikan amukan Yang Basah!”
Rendra berdiri. “Kita harus pergi sekarang!”
Nyai Melati, meskipun terkejut, tampak tenang. Ia meraih tasbih kayu Rendra.
“Kau pergi ke Sumur Tua. Kau temukan tubuh Laras. Film itu… kau harus mencucinya di air sumur. Bawa Dimas bersamamu. Dia adalah kunci untuk berdialog. Aku akan menahan mereka.”
Nyai Melati kemudian meraih kendi keramik di sampingnya. Ia memecahkannya di lantai, dan bubuk merah marun dari mantra awalnya segera bercampur dengan air yang keluar dari tubuh Dimas di lantai.
Nyai Melati menoleh ke Rendra, matanya penuh tekad yang dingin.
“Pergi, Nak Rendra! Kunci kuningan itu adalah kunci gembok peti tempat Laras dikubur! Pergi dan bayar hutang Ayahmu!”
Rendra menarik Dimas, dan mereka melarikan diri melalui pintu belakang, meninggalkan Nyai Melati yang berhadapan dengan Manifestasi air dan gerombolan penduduk desa.