Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Minggu-minggu terakhir ini, rumah mewah keluarga Sadewo terasa lebih sunyi, namun sekaligus lebih tegang. Ketiadaan Rayyan untuk sesi privat selama lebih dari dua minggu—dikarenakan kesibukannya yang mutlak mempersiapkan kompetisi sains internasional—meninggalkan kekosongan yang aneh bagi Jessy. Kegelisahannya bukan hanya karena tidak ada yang 'diajak berperang', tapi juga karena dalam diam, dia mulai merindukan kehadiran pria dingin itu.
Kekesalannya memuncak justru karena kesibukan Rayyan membuatnya sering kebetulan melihat pria itu di kampus—selalu bersama Rena. Setiap kali melihat mereka berdua berjalan dengan kepala penuh ide, tertawa kecil membahas hal-hal teknis yang tidak dipahaminya, sebuah rasa panas yang tak sedap menyebar di dadanya.
Puncaknya adalah pada sebuah Sabtu pagi yang cerah. Keluarga kecil Sadewo sedang menikmati makan siang mewah di ruang makan mereka yang panoramic. Sinar matahari menari-nari di atas piring-piring berhiaskan emas. Suasana tenang itu tiba-tiba dipotong oleh suara Adi Sadewo.
"Selasa besok, Papi dan Pak Toto akan ke China," ujarnya sambil menyeka mulutnya dengan serbet linen. "Untuk mengantar anak-anak yang ikut kompetisi sains itu." Dia mengambil segelas air. "Perwakilan dari kampus lain juga akan ikut."
Kalimat itu seolah menyetrum Jessy. Kepalanya langsung menoleh, mata yang tadinya sayu kini membelalak penuh perhatian, menatap ayahnya dalam-dalam. Pikirannya berputar cepat. China. Rayyan akan pergi. Bersama Rena.
"Aku ikut, Pih!" serunya cepat, hampir membuatnya tersedak sesuapannya.
Adi mengerutkan kening, menatap putri semata wayangnya yang tiba-tara bersemangat. "Ngapain?" tanyanya, nada suaranya datar dan penuh pertanyaan.
"Paling mau gangguin Mas Rayyan," kekeh Gio dari seberang meja, sendoknya berhenti menyendok sup, wajahnya menyeringai genit.
"Lo anak kecil jangan rese!" Jessy menunjuk ke arah adiknya dengan mata melotot, pipinya memerah karena kesal digoda.
"Ikut ya, Pih," pinta Jessy kembali pada ayahnya, suaranya kini berubah menjadi rengekan yang dipelajari sejak kecil untuk selalu berhasil.
"Mau ngapain ikut?" ulang Adi, mencoba mencari alasan yang logis.
"Belanja," jawab Jessy asal, menghindari tatapan ayahnya yang tajam.
"Bohong!" ledek Gio lagi, tak mau kehilangan kesempatan untuk menjahili kakaknya.
"Gue hajar lo ya!" bentak Jessy, hampir berdiri dari kursinya.
"Kalian berdua tuh kerjanya ribut terus!" gerutu Lina, ibu mereka, meletakkan garpunya dengan sedikit keras. Wajahnya yang cantik menunjukkan kekecewaan. "Makan siang yang tenang aja nggak bisa."
Adi menghela napas berat, meletakkan serbetnya di atas meja. Dia memandangi Jessy yang wajahnya penuh dengan tekad yang tak terbendung. Berdebat dengan anak gadisnya ketika keinginannya sudah mengeras seperti batu selalu memakan energi besar. Dan ini adalah hari Sabtu, waktunya untuk bersantai, bukan berdebat.
Dia bisa melihat di balik alasan "belanja" itu. Dia tahu ini semua tentang Rayyan. Dan meski dia ingin Rayyan fokus, dia juga memahami sedikit tentang gejolak hati putrinya—sesuatu yang mungkin bahkan belum Jessy akui pada dirinya sendiri.
"Papi ngerti mau kamu apa, Jes," ujar Adi akhirnya, suaranya lebih lembut. Jessy langsung terdiam, menunggu. "Oke, kamu boleh ikut."
Wajah Jessy langsung berbinar, senyum kemenangan mulai mengembang.
"Tapi," sambung Adi, suaranya tiba-tara tegas dan penuh wibawa, menunjuk ke arah Jessy dengan garpunya. "Janji, jangan ganggu Rayyan. Biar dia fokus sampai kompetisi selesai. Ini bukan main-main, Jes. Ini menyangkut nama baik dia dan kampus."
Jessy langsung duduk tegak, wajahnya berubah menjadi serius palsu seperti prajurit yang mendapat perintah. "Siap, Bos!" ujarnya cepat, senyum lebar tak terbendung akhirnya merekah, menunjukkan gigi-giginya yang putih dan rapi.
Di dalam hatinya, rencana-rencana sudah mulai disusun. China akan menjadi medan pertempuran yang baru. Dan Jessy Sadewo tidak akan membiarkan Rena—atau siapapun—mengambil apa yang dia anggap miliknya. Perintah ayahnya untuk tidak mengganggu? Itu hanya detail teknis. Baginya, permainan baru saja dimulai.
***
Perbedaan kelas terasa sejak malam pendaratan. Tim Indonesia—termasuk Rayyan, Rena, Dion, dan dosen pembimbing—turun dari pesawat kelas ekonomi dengan mata berkaca-kaca dan otot yang kaku. Mereka dijemput bus standar yang mengantarkan mereka ke hotel berbintang dekat arena kompetisi. Sementara itu, Adi dan Jessy Sadewo melangkah keluar dari pesawat kelas bisnis dengan segar, langsung disambut mobil jemputan mewah yang membawa mereka meluncur ke salah satu hotel termewah di pusat kota, meski Adi dengan bijak telah memesan akomodasi terbaik untuk seluruh tim Indonesia di hotel yang sama.
---
Pagi hari, arena kompetisi di sebuah pusat konvensi modern di China dipenuhi oleh energi internasional. Sebanyak 150 peserta dari berbagai negara—dengan jaket almamater berwarna-warni—berkumpul di antara stan-stan berteknologi tinggi. Lampu sorot menyinari setiap proyek, sementara layar raksasa menampilkan presentasi tim. Suara berbagai bahasa berseliweran di udara, menciptakan simfoni ambisi dan inovasi.
Di stan Indonesia, Rayyan, Rena, dan Dion berdiri dengan percaya diri di samping karya mereka. Judul proyek mereka tertulis dalam huruf tebal: "Surya-Nusantara: Integrated Solar-Wind Smart Microgrid with AI-Powered Energy Distribution for Remote Coastal Communities."
Mereka mempresentasikan sebuah sistem hibrida yang cerdas. Dion dengan lugas menjelaskan panel surya berbahan organik yang lebih efisien dan ramah lingkungan dalam produksinya. Rena mendemonstrasikan algoritma AI yang mampu memprediksi pola angin dan matahari, mengoptimalkan penyimpanan energi dalam baterai daur ulang. Sedangkan Rayyan, dengan suara tenang namun penuh wibawa, memaparkan inti terobosan mereka: "Kami tidak hanya menciptakan energi terbarukan, tetapi sistem yang mampu beradaptasi dengan kondisi ekstrem dan mendistribusikan energi secara adil, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan melindungi ekosistem pesisir dari polusi."
Mereka menunjukkan visualisasi sistem yang diterapkan di sebuah desa nelayan terpencil, di mana listrik yang dihasilkan tidak hanya untuk rumah tangga, tetapi juga untuk menyaring air laut menjadi air minum dan mendukung komunitas budidaya rumput laut yang berkelanjutan. Karya ini bukan hanya tentang teknologi, tapi tentang perlindungan bumi dan pemberdayaan manusia—sebuah solusi holistik yang membuat para juri, termasuk profesor dari MIT dan insinyur dari Siemens, terkesan.
---
Saat pengumuman pemenang, ketegangan memenuhi ruangan. Ketika China diumumkan sebagai juara 1, sorak-sorai menggema. Lalu, saat presenter menyebut "Indonesia!" untuk posisi kedua, seluruh kontingen Indonesia—dosen, official, dan penonton—berdiri dengan riuh tepuk tangan. Rayyan, Rena, dan Dion berpelukan, wajah mereka bersinar dengan kebanggaan dan kelegaan. Medali perak itu menggantung di dada mereka, membuktikan bahwa inovasi dari Indonesia mampu bersaing di panggung dunia.
Dari sudut ruangan, di balik kerumunan, Jessy Sadewo menyaksikan semuanya dengan diam. Dia melihat Rayyan—bukan sebagai mahasiswa miskin yang dia ganggu, tapi sebagai seorang visioner yang baru saja mengukir namanya di kancah internasional. Dia melihat bagaimana cahaya sorot lampu menyinari profil tegasnya, bagaimana senyum kecil yang langgan itu akhirnya muncul, dan bagaimana dia dipeluk oleh Rena dan Dion dalam kebersamaan yang tulus.
Tanpa disadari, tangan Jessy mengepal erat. Bukan karena cemburu kali ini, tapi karena sebuah pengakuan yang dalam dan menghangatkan dadanya. Sebuah rasa bangga yang tak terduga.
"Selamat, Rayyan," gumannya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh applause, namun terasa begitu jujur dan tulus di hatinya yang paling dalam.
***
Malam itu, Adi Sadewo membawa seluruh tim Indonesia ke sebuah restoran mewah bergaya Dinasti Tang. Kristal chandelier berkilauan, dinding dihiasi ukiran kayu rumit, dan meja panjang dipenuhi hidangan istimewa seperti Peking Duck, Dimsum spesial, dan sup sarang burung walet.
"Juara 2 di kompetisi sekelas ini sudah luar biasa!" seru Adi, mengangkat gelas anggurnya. "Kalian adalah kebanggaan Indonesia! Nikmati makan malam ini, besok kita jalan-jalan ke Forbidden City dan kalian bebas belanja—saya yang traktir!"
Sorak-sorai riuh memenuhi ruangan. Rayyan yang biasanya pendiam pun tersenyum lepas, berbagi tawa dengan Rena dan Dion yang sedang memotret setiap hidangan. Suasana penuh kehangatan dan kebanggaan, sejenak melupakan segala tensi akademis.
---
Keesokan harinya, di bawah langit Beijing yang cerah, rombongan mereka berjalan di antara gerbang-gerbang megah Forbidden City. Pemandu wisata menjelaskan dengan fasih sejarah setiap paviliun, sementara para mahasiswa terkagum-kagum pada arsitektur berusia 600 tahun itu. Rena dengan antusias membaca setiap prasasti, sementara Rayyan diam-diam mengagumi presisi teknik konstruksi kuno yang mampu bertahan selama berabad-abad.
Tiba-tiba, dari balik sebuah paviliun dengan atap kuning keemasan, muncul sosok yang membuat napas sebagian orang tercekat.
Jessy.
Dia mengenakan Hanfu berwarna merah marun dengan sulaman naga emas yang rumit. Potongan tradisional itu justru menegaskan lekuk tubuhnya yang sempurna—pinggang yang dipeluk sabuk sutra, leher yang jenjang, dan lengan panjang yang tertutup kain tipis yang berkibar lembut. Rambutnya disasak tinggi dengan hiasan tusuk konde berkilauan, wajahnya didandani natural namun sempurna, membuatnya terlihat seperti putri kekaisaran yang turun dari lukisan kuno.
Rayyan langsung membeku. Tas ranselnya hampir terjatuh dari genggamannya. Semua logika, semua pertahanan, runtuh dalam sekejap. Dia hanya bisa menatap, seperti terhipnotis oleh vision yang tak terduga itu.
"Wow. Cantik banget," gumam Dion, suaranya terdengar jelas dan penuh kekaguman.
"Heh, itu anak Pak Adi," bisik Pak Toto dengan sigap, mengingatkan mereka semua.
Dion dan Rena serempak menganga. "Anak yang punya yayasan?" desis Rena, melihat Jessy dengan pandangan baru.
Rayyan tetap diam, tapi matanya tak bisa berpaling.
Jessy berjalan anggun menghampiri ayahnya, senyum kecil mengembang di bibirnya. "Bagus nggak, Pih?" tanyanya, sambil mata cantiknya melirik ke arah Rayyan—memastikan pria itu sedang memperhatikannya.
"Cantik. Kamu ngapain pakai baju begitu?" tanya Adi, bingung.
"Ada penyewaan kostum di sana buat photoshoot," jelas Jessy santai. "Jadi mau ngajak photoshoot Ray—"
"Papi!" Jessy memotong dengan cepat, wajahnya memerah.
"Oke..." Adi mengunci mulutnya, paham.
Dia lalu berpaling ke rombongan. "Oke, selanjutnya acara bebas! Ini ada uang saku untuk kalian," ujarnya, dan Pak Toto mulai membagikan amplop cokelat tebal kepada setiap peserta.
Sementara para dosen dan Adi berpencar, Rena langsung menyambar lengan Rayyan. "Yuk, Yan, kita jelajahi area timur, tadi pemandu bilang ada koleksi giok langka di sana!" Rayyan terlihat ragu, matanya masih mencuri pandang ke arah Jessy.
Di kejauhan, Dion memberanikan diri mendekati Jessy yang sedang berdiri di bawah pohon tua. "Eh... mau aku bantu fotoin nggak? Latarnya bagus nih," tawarnya dengan suara grogi.
Jessy hanya meliriknya singkat, lalu kembali memandang ke arah Rayyan yang sedang diceramahi Rena tentang sejarah giok. Senyum tipis yang penuh arti muncul di bibirnya. Permainan di bumi Tiongkok ini ternyata semakin menarik..
***
Di bawah naungan pepohonan kuno di kompleks Forbidden City, Dion terbukti adalah seorang pendongeng yang ulung. Dengan gaya santai dan humor yang cerdas, dia membuat Jessy terkikik-kikik dengan cerita tentang kegagalan eksperimennya yang berujung lucu. Jessy, yang biasanya hanya dikelilingi oleh orang-orang yang tunduk padanya, merasa segar dengan keluguan dan keceriaan Dion. Senyumnya lepas, tatapannya tidak lagi sinis, dan untuk sesaat, dia terlihat seperti gadis biasa yang menikmati obrolan ringan.
Dari kejauhan, di balik sebuah paviliun batu, Rayyan menyaksikan pemandangan itu dengan perasaan yang semakin tidak karuan. Rena masih asyik bercerita tentang filosofi arsitektur Tiongkok di sampingnya, tapi telinga Rayyan sama sekali tidak menangkap sepatah kata pun. Matanya, seperti tertambat, mengikuti setiap tawa Jessy, setiap anggukan kepala Jessy pada Dion, setiap senyuman yang seharusnya—dalam benak Rayyan yang kini dipenuhi rasa posesif—hanya ditujukan padanya.
Rasa panas yang tidak mengenakkan menyebar di dadanya. Ini bukan lagi sekadar kecemburuan biasa. Ini adalah sebuah pengakuan. Pengakuan bahwa tanpa disadari, gadis menyebalkan yang dulu ingin dia jauhi itu kini telah menguasai pikirannya. Pengakuan bahwa senyum Jessy pada pria lain terasa seperti pengkhianatan.
Tanpa rencana yang jelas, kakinya mulai bergerak. Dia meninggalkan Rena yang masih asyik berbicara, langkahnya cepat dan penuh tujuan menuju kerumunan di mana Jessy dan Dion berdiri.
Tepat saat dia mendekat, sekelompok turis besar lewat di antara mereka. Dalam keriuhan itu, bahu Rayyan tanpa sengaja bertubrukan dengan Jessy.
"Maaf—" kata Jessy otomatis, sebelum matanya membelalak mengenali Rayyan.
Tapi Rayyan tidak memedulikan permintaan maaf. Tanpa sepatah kata, tangannya yang kuat meraih pergelangan tangan Jessy dengan erat. Ada intensitas liar di matanya yang gelap yang membuat Jessy terkesiap.
"Rayyan, mau kemana...?" tanya Jessy, suaranya bercampur antara bingung dan penasaran, saat dia terpaksa mengikuti langkah cepat Rayyan yang menariknya menjauh dari kerumunan.
Rayyan tetap bungkam. Dia menyusuri koridor batu yang sepi, melewati pintu-pintu lengkung yang tak berpenghuni, menjauh dari suara riuh wisatawan. Tangan nya menggenggam erat, seolah takut Jessy akan menghilang.
"Rayyan..." panggil Jessy lagi, napasnya mulai tersengal karena berjalan cepat dengan hanfu-nya yang sedikit membatasi gerak.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di belakang sebuah paviliun. Sebuah oasis keheningan yang dikelilingi tembok tinggi, dengan pohon persik yang sedang bermekaran dan bangku batu tua. Suara dunia luar tiba-tara mereda.
Di sana, di bawah bayangan pepohonan, Rayyan akhirnya berhenti. Dia melepaskan genggamannya, tapi tubuhnya masih menghadap Jessy, napasnya sedikit memburu.
"Rayyan..." Jessy memanggil namanya untuk ketiga kalinya, suaranya sekarang berbisik, penuh dengan pertanyaan dan sebuah harapan yang tak berani dia suarakan.
Mata mereka saling bertaut. Di mata Jessy, Rayyan melihat keheranan, kerentanan, dan sebuah cahaya yang membuat jantungnya berdegup kencang. Di mata Rayyan, Jessy melihat badai—amarah, kecemburuan, pergulatan batin, dan sesuatu yang lain... sesuatu yang dalam dan membara yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
"Jes..." akhirnya Rayyan bersuara, suaranya serak, seolah kata itu dicabik dari dasar jiwanya.
Mereka terpaku dalam tatapan yang penuh muatan. Udara di antara mereka terasa pekat, bergetar oleh segala yang tak terucapkan. Semua penolakan, semua perlawanan, semua kebencian, seolah menguap digantikan oleh tarikan magnetis yang tak terbendung.
Kemudian, tanpa peringatan, Rayyan menunduk.
Dia menangkap bibir Jessy dalam sebuah ciuman yang dalam, penuh gairah, dan penuh penegasan.
Bukan ciuman lembut seperti yang Jessy berikan sebelumnya. Ini adalah ciuman yang liar, penuh rasa lapar dan klaim. Tangannya meraih pinggang Jessy, menariknya mendekat, menghapus semua jarak yang tersisa. Jessy, yang terkejut sesaat, dengan cepat menyerah pada gelombang emosi yang menggulung itu. Tangannya meraih kerah baju Rayyan, merespons ciuman itu dengan intensitas yang sama, melepas semua topeng dan pertahanan.
Di sudut tersembunyi Forbidden City yang berusia berabad-abad itu, di antara bisik angin yang melewati pepohonan tua, dua dunia yang bertolak belakang akhirnya bertabrakan bukan dalam kemarahan, tetapi dalam sebuah kepasrahan yang membara. Dan untuk pertama kalinya, Rayyan Albar tidak melarikan diri.
kudu di pites ini si ibu Maryam