NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:208
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tuduhan tanpa bukti dan tanpa alasan

Adzan subuh bergema pelan dari masjid di ujung jalan, suaranya melayang masuk melalui celah jendela kamar yang setengah terbuka, bercampur dengan hembusan angin pagi yang membawa aroma embun basah dan daun pohon mangga di halaman depan. Cahaya fajar mulai menyusup ke dalam ruangan sederhana itu, memantul samar di dinding cat krem yang sudah agak pudar, menerangi kasur king-size dengan seprai biru tua yang kusut karena tidur malam tadi. Udara masih terasa lembap dari sisa gerimis semalam, meninggalkan bau tanah basah yang samar bercampur aroma kopi dingin dari gelas yang ditinggalkan di meja samping tempat tidur. Burung gereja di luar mulai berkicau pelan, seperti menyambut hari baru yang seharusnya tenang, tapi di dalam kamar ini, ketenangan itu hanyalah ilusi sementara. Jam dinding analog di dinding berderak pelan, menunjukkan pukul lima lewat sepuluh, sementara angin pagi menggoyang tirai tipis, membuat bayangan bergoyang di lantai kayu yang sudah aus.

Elesa mulai membuka mata perlahan, bulu matanya bergetar seperti baru bangun dari mimpi yang kabur. Kepalanya masih terasa berat, efek mabuk tipis dari anggur semalam yang belum sepenuhnya hilang, membuat pandangannya agak buram dan tenggorokannya kering. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadaran, tapi sesuatu terasa salah—ini bukan kamarnya. Dinding yang tak familiar, bau maskulin samar dari sabun pria, dan suara napas orang lain di sampingnya membuat jantungnya berdegup kencang. Jilbab biru mudanya yang semalam masih rapi, kini agak miring di kepala, rambutnya sedikit berantakan di bawahnya. Ia menoleh ke samping, dan mata hijaunya melebar saat melihat Rom tidur di sebelahnya, tubuhnya setengah telanjang hanya memakai kaus oblong hitam dan celana pendek, napasnya teratur seperti orang yang baru terlelap dalam.

Elesa melotot, wajahnya memerah karena campuran kaget dan kemarahan yang meledak tiba-tiba. Tanpa ragu, tangannya terayun cepat, menampar pipi Rom dengan keras—*Plak!*—suaranya renyah dan nyaring, bergema di kamar kecil itu seperti cambuk yang memecah keheningan pagi. Rom tersentak bangun, matanya terbuka lebar, tangannya langsung menyentuh pipi yang memerah, ekspresinya campur antara kaget dan bingung. “Les? Apa-apaan ini?” gumamnya, suaranya serak karena baru bangun, tubuhnya setengah bangkit dari kasur, selimut tergeser ke samping.

Elesa langsung mundur ke belakang, tubuhnya bergeser ke pinggir kasur, tangannya meraih selimut untuk menutupi badannya meski ia masih berpakaian lengkap—kemeja putih yang kusut dari semalam dan rok panjang yang sedikit naik ke atas lutut. Matanya menyipit tajam, ekspresinya penuh kecurigaan, napasnya memburu seperti orang yang baru saja terperangkap. “Kamu! Apa yang kamu lakuin semalam, Rom?!” bentaknya, suaranya tinggi dan bergetar, bukan karena mabuk lagi tapi karena amarah asli yang membara di dada. Jarinya menunjuk wajah Rom, tangannya gemetar. “Aku... aku bangun di sini! Di kasur kamu! Kamu bawa aku ke rumahmu tanpa bilang?!”

Rom mengusap pipinya yang masih panas, duduk tegak sekarang, matanya melebar karena syok. Ia menggelengkan kepala cepat, tangan kirinya terangkat seperti menenangkan. “Les, tunggu dulu! Jangan langsung nuduh gitu. Semalam kamu mabuk berat di kafe, tertidur di bahuku. Aku nggak bisa bangunin, jadi aku bawa pulang ke sini. Itu aja! Aku tidur di sofa dulu, baru pindah ke kasur pas kamu udah pulas banget. Nggak ada apa-apa!” Suaranya defensif, ekspresinya campur antara kesal dan khawatir, alisnya berkerut dalam.

Elesa tidak langsung percaya, matanya memicing lebih tajam, tubuhnya bergeser lebih jauh ke pinggir kasur sampai kakinya menyentuh lantai dingin. Ia menarik jilbabnya yang miring, menatanya ulang dengan tangan gemetar, seperti mencoba mengumpulkan martabatnya yang terasa tercabik. “Bohong! Kamu pikir aku bodoh?! Aku bangun di kasurmu, Rom! Kamu pasti... pasti lakuin sesuatu! Jujur aja, kamu perkosa aku semalam, ya?!” Tuduhannya meledak seperti bom, suaranya meninggi, wajahnya memucat meski pipinya masih merah sisa mabuk. Tangannya mengepal selimut, gesturnya penuh amarah, bukan main-main atau manja, tapi marah sungguhan yang lahir dari ketakutan dan kekecewaan.

Rom tersentak lagi, matanya melebar lebih lebar, tangannya terangkat lebih tinggi seperti menyerah. “Apa?! Les, kamu gila?! Aku nggak gitu orangnya! Semalam aku gendong kamu ke mobil, bawa pulang karena alamat rumahmu aku nggak tahu—kamu nggak pernah kasih tahu! Aku cuma taruh kamu di kasur, ganti baju kamu nggak! Kamu cek sendiri, pakaianmu utuh!” Ia berdiri sekarang, tubuhnya tegang, langkahnya mundur sedikit dari kasur, ekspresinya penuh frustrasi, tangannya mengusap rambut pendeknya yang berantakan.

Elesa bangkit dari kasur, kakinya menyentuh lantai dengan gerakan kasar, tubuhnya goyah sedikit karena sisa mabuk, tapi ia cepat menstabilkan diri dengan memegang tepi kasur. Matanya menatap Rom dengan tatapan menusuk, seperti pisau yang siap menebas. “Udah, jangan bohong! Kamu cowok, aku cewek, tidur satu kasur—apa nggak mungkin kamu tergoda?! Aku mabuk, kamu bisa lakuin apa aja! Kamu pasti manfaatin situasi!” Suaranya bergetar, tangannya menunjuk dada Rom, gesturnya agresif, ekspresinya penuh kemarahan asli yang tak bisa ditawar. Ia melangkah maju, mendekati Rom, tapi bukan karena ingin dekat—malah seperti ingin menyerang lagi.

Rom mundur lagi, tangannya terangkat defensif, wajahnya memerah karena marah balik. “Les, dengar dulu! Aku sumpah, nggak ada apa-apa. Kamu tertidur pukul 00.00, aku gendong kamu ke sini, taruh di kasur, aku mandi dulu trus tidur di sofa. Baru jam tiga pagi aku pindah ke kasur karena sofa sempit. Aku nggak sentuh kamu lebih dari itu! Kamu bisa tanya tetangga kalau nggak percaya—mereka lihat aku bawa kamu masuk!” Suaranya naik sedikit, ekspresinya campur antara sakit hati dan kesal, alisnya berkerut dalam, tangannya mengepal di samping tubuh.

Elesa menggelengkan kepala keras, tangannya menyilangkan di dada, tubuhnya tegang seperti pegas yang siap meledak. “Nggak! Aku nggak percaya! Kamu pasti bohong. Dua minggu ini kita deket, tapi ini keterlaluan! Kamu pikir aku gampang digituin?!” Ia berbalik, matanya menyapu kamar mencari kamar mandi, napasnya memburu. “Aku mau mandi dulu. Setelah itu, aku pergi! Jangan ikut-ikutan!” Gesturnya cepat, ia melangkah ke arah pintu kamar mandi yang terlihat di sudut kamar, tangannya meraih handuk yang tergantung di pegangan pintu, ekspresinya masih marah, bibirnya mengerucut ketat.

Rom menghela napas panjang, tangannya mengusap wajahnya, tubuhnya ambruk kembali ke kasur, duduk di pinggirnya dengan ekspresi lelah. “Les, please... aku nggak bohong. Kamu bisa cek badanmu sendiri, nggak ada bekas apa-apa. Aku cuma bantu kamu pulang karena mabuk. Itu aja.” Suaranya lebih pelan sekarang, seperti mencoba meredakan, tapi Elesa sudah membuka pintu kamar mandi, melirik Rom sekali lagi dengan tatapan dingin sebelum masuk dan menutup pintu dengan keras—*Bang!*—suaranya bergema seperti akhir dari babak pertama pertengkaran mereka.

Di dalam kamar mandi, air mengalir deras dari shower, suaranya memecah keheningan pagi, bercampur dengan hembusan angin dari ventilasi kecil. Elesa melepas pakaiannya dengan gerakan kasar, tangannya gemetar saat menyabuni tubuhnya, matanya berkaca-kaca karena campuran amarah dan kebingungan. Ia menggosok kulitnya lebih keras dari biasa, seperti ingin menghapus jejak malam semalam yang tak ada. Jilbabnya ia lepas dulu, rambut panjangnya basah oleh air, ekspresinya di cermin kamar mandi penuh kemarahan—alis berkerut, bibir mengerucut, mata merah karena menahan tangis. “Gila, dia pasti bohong,” gumamnya pada diri sendiri, suaranya tenggelam oleh deru air.

Rom di luar, berdiri mondar-mandir di kamar, tangannya memegang ponsel seolah ingin menelepon seseorang tapi urung. Ekspresinya campur antara frustrasi dan khawatir, ia mengusap pipi yang masih memerah dari tamparan tadi, langkahnya pelan di lantai kayu. “Kenapa dia gini? Aku beneran nggak lakuin apa-apa,” gumamnya pelan, suaranya penuh penyesalan. Ia duduk kembali di kasur, menunggu dengan napas berat.

Setelah mandi, Elesa keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya, jilbabnya sudah ia pasang kembali dengan rapi, meski rambutnya masih basah meneteskan air ke bahu. Wajahnya segar tapi ekspresinya masih dingin, matanya menghindari Rom, tangannya meraih pakaian semalam yang tergantung di kursi. “Aku ganti baju dulu,” katanya singkat, suaranya tegas tanpa nada ramah, gesturnya cepat saat ia mengambil rok dan kemeja, lalu kembali ke kamar mandi untuk berganti.

Rom mengangguk pelan, tangannya terlipat di dada, duduk di kasur dengan ekspresi pasrah. “Les, kita bicara dulu yuk. Jangan langsung pergi gini,” pintanya, suaranya lembut tapi Elesa tak menjawab, pintu kamar mandi tertutup lagi dengan pelan kali ini.

Beberapa menit kemudian, Elesa keluar lagi, sudah berpakaian lengkap—kemeja putih yang kusut ia rapikan seadanya, rok panjangnya rapi, jilbab biru mudanya menutupi rambut basah. Matanya masih menyipit, tangannya meraih tas kecilnya yang ditinggalkan di meja samping kasur. “Aku pergi sekarang,” katanya dingin, suaranya tegas seperti perintah, ekspresinya penuh kemarahan yang tak pudar, bibirnya mengerucut ketat.

Rom berdiri cepat, tangannya terulur seperti ingin menghentikan. “Les, tunggu! Kamu mau pulang gimana? Biar aku antar. Dan please, percaya aku—semalam nggak ada apa-apa. Aku sumpah demi apa aja!” Suaranya memohon, ekspresinya penuh keputusasaan, alisnya berkerut, tangannya gemetar sedikit.

Elesa berhenti di depan pintu kamar, menoleh dengan tatapan tajam, tangannya memegang gagang pintu dengan kuat. “Nggak usah! Aku bisa sendiri. Kamu pikir aku percaya gitu aja? Kamu bawa aku ke sini tanpa izin, tidur satu kasur—itu cukup bukti! Jangan hubungi aku lagi!” Bentakannya keras, gesturnya agresif saat ia membuka pintu, langkahnya cepat keluar kamar, menuju pintu depan rumah Rom yang sederhana.

Rom mengikuti dari belakang, langkahnya pelan tapi putus asa, tangannya terulur lagi. “Les, jangan gini! Kita temen sekantor, dua minggu ini kita deket. Jangan rusak gara-gara salah paham!” Suaranya naik, ekspresinya penuh penyesalan, matanya memohon.

Elesa membuka pintu depan, angin pagi menyambutnya dengan dingin, cahaya fajar menyinari wajahnya yang marah. Ia menoleh sekali lagi, mata hijaunya penuh api. “Salah paham? Ini bukan salah paham, Rom! Ini tuduhan! Dan aku nggak mau lagi deket sama orang kayak kamu!” Katanya tegas, tangannya menutup pintu dengan keras—*Bang!*—suaranya bergema di pagi yang baru mulai hidup. Ia melangkah cepat ke jalan, tangannya merogoh tas mencari ponsel untuk pesan taksi, napasnya memburu, ekspresinya masih marah, meninggalkan rumah Rom dengan kemarahan yang membara, tanpa menoleh ke belakang.

Rom berdiri di ambang pintu, tangannya memegang kusen, matanya memandang punggung Elesa yang menjauh, ekspresinya penuh kekecewaan dan kebingungan. Pagi itu, adzan subuh sudah lama usai, tapi pertengkaran mereka baru saja dimulai.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!